ISLAM KONTEMPORER SOSIAL-KEAGAMAAN
PENDAHULUAN
Islam sebagai agama yang satu yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah ternyata menimbulkan perlbagai versi penafsiran yang bervariatif. Hal ini wajar saja dikarenakan setiap orang pasti memilki perspektiynya sendiri dalam mengartikan, memaknai serta menafsirkan segala sesuatu termasuk didalamnya al-Quran maupun as-Sunnah (sumber syariat Islam). Perbedaan perpektif inilah yang kemudian menimbulkan pemahaman-pemahaman yang beranekaragam pula. Adapun faktor yang kemungkinan mempengaruhi adanya perbedaan pandangan dalam pengintrepretasikan sumber syariat itu disebabkan oelh beberapa faktor diantaranya situasi sosiologis, kultural, dan intelektual.
Perbedaan keadaan lingkungan sangat erat pengaruhnya dalam membentuk karaktek suatu masyarakat. Masyarakat yang hidup di daerah pantai berbeda dengan kondisi yang hidup di daerah pegunungan. Begitu pula masyarakat yang hidup di daerah yang gersang atau panas berbeda dengan masyrarakat yang hidup pada masyarakay yang hidup di daerah dengan kondisi alam yang subur dan begitu seterusnya. Selain faktor sosiologis tersebut, kultural pun tidak dapat dipisahkan dari ikan yang membentuk karakter suatu masyarakat. Walisongo misalnya yang berdakwah di daerah yang sangat kental dengan budayanya maka dengan menyesuaikan dengan budaya tersebut akan menjadi hal yang padu tentunya dengan ajaran Islam. Tingkat intelektual yang merata pada masyarakat pun menjadi salah satu faktor terbentuknya pemahaman terhadap nilai-nilai agama Islam.
Akibat dari terjadinya keberagaman dalam memahami ajaran Islam inilah yang kemudian memunculkan pelbagai aliran-aliran dalam Islam/mazhab baik dalam bidang fiqih (hokum Islam), teologi, filsafat, dan berbagai organisasi sosial, serta organisasi politik.[2]
PEMBAHASAN
a. Pola Pemikiran Keislaman di Indonesia
Setiap zaman memiliki sejarah yang berbeda, pemikiran-pemikiran yang berbeda dan tokoh-tokoh yang berbeda juga. Seiring berjalannya waktu dan perbedaan tempat serta kondisi yang ada akan menghasilkan produk pemikiran yang berbeda dengan daerah lainnya atau pada waktu tertentu.
Proses pengislaman atau sering disebut dengan istilah “Islamisasi” di Nusantara tercinta ditandai oleh akomodasi dan pemahaman terhadap nilai-nilai ajaran agama yang bervariatif. Masuknya isme-isme yang yang belakangan ini muncul merupakan bukti bahwa pemikiran terhadap Islam sudah sangat maju. Perkembangan pemikiran Islam kontemporer yang luar biasa saat ini, sesungguhnya, dapat diklasifikasikan dalam 5 model kecenderungan. Pertama, fundamentalis. Yaitu, model pemikiran yang sepenuhnya percaya pada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif bagi kebangkitan Islam dan manusia. Mereka biasanya dikenal sangat commited pada aspek religius budaya Islam. Bagi mereka, Islam telah mencakup segala aspek kehidupan sehingga tidak memerlukan segala teori dan metode dari luar, apalagi Barat. Garapan utamanya adalah menghidupkan kembali Islam sebagai agama, budaya sekaligus peradaban, dengan menyerukan untuk kembali pada sumber asli (al-Qur'an dan Sunnah) dan mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan Rasul dan Khulafa' al-Rasyidin. Tradisi dan Sunnah Rasul harus dihidupkan kembali dalam kehidupan modern sebagai bentuk kebangkitan Islam
Kedua, , tradisionalis ( salaf ). Yaitu, model pemikiran yang berusaha berpegang pada tradisi-tradisi yang telah mapan. Bagi mereka, segala persoalan umat telah diselesaikan secara tuntas oleh para ulama terdahulu. Tugas kita sekarang hanyalah menyatakan kembali atau merujukkan dengannya. Perbedaan kelompok ini dengan fundamentalis terletak pada penerimaannya pada tradisi. Fundamentalis membatasi tradisi yang diterima hanya sampai pada khulafa' al-rasyidin , sedang tradisionalis melebarkan sampai pada salaf al-shalih , sehingga mereka bisa menerima kitab-kitab klasik sebagai bahan rujukannya. Hasan Hanafi pernah mengkritik model pemikiran ini. Yaitu, bahwa tradisionalis akan menggiring pada ekslusifisme, subjektivisme dan diterminisme.
Ketiga, reformis. Yaitu, model pemikiran yang berusaha merekonstruksi ulang warisan budaya Islam dengan cara memberi tafsiran baru. Menurut mereka, Islam telah mempunyai tradisi yang bagus dan mapan. Akan tetapi, tradisi ini tidak dapat langsung diaplikasikan melainkan harus harus dibangun kembali secara baru dengan kerangka berpikir modern dan prasyarat rasional. sehingga bisa survive dan diterima dalam kehidupan modern. Karena itu, mereka berbeda dengan tradisionalis yang menjaga dan menerima tradisi seperti apa adanya.
Keempat, postradisionalis. Yaitu, model pemikiran yang berusaha mendekonstruksi warisan Islam berdasarkan standar modern. Model ini sesungguhnya sama dengan reformis yang menerima tradisi dengan interpertasi baru. Perbedaannya, postadisionalis mempersyaratkan dekonstruktif atas tradisi, bukan sekedar rekonstruktif, sehingga yang absolut menjadi relatif dan yang ahistoris menjadi historis.
Kelima, moderinis. Yaitu, model pemikiran yang hanya mengakui sifat rasional-ilmiah dan menolak kecenderungan mistik. Menurutnya, tradisi masa lalu sudah tidak relevan, sehingga harus ditinggalkan. Karakter utama gerakannya adalah keharusan berpikir kritis dalam soal keagamaan dan kemasyarakatan. Mereka ini biasanya banyak dipengaruhi cara pandang marxisme. Meski demikian, mereka bukan sekuler. Sebaliknya, mereka bahkan mengkritik sekuler selain salaf. Menurutnya, kaum sekuler telah bersalah arena berlaku eklektif terhadap Barat, sedang kaum salaf bersalah menempatkan tradisi klasik pada posisi sakral dan shalih likulli zaman wa makan. Sebab, kenyataannya, tradisi sekarang berbeda dengan masa lalu. Modernis menjadikan orang lain (Barat) sebagai model, sedang salaf menjadikan masa lalu sebagai model. Keduanya sama-sama ahistoris dan tidak kreatif, sehingga tidak akan mampu membangun peradaban Islam ke depan.
b. Corak pemikiran Sosial-Keagamaan Islam di Indonesia
Corak pemikiran Islam mewarnai munculnya kelompok-kelompok Islam. Kelompok tersebut muncul sebagai respon umat terhapap perkembangan kehidupan. Menurut Muhammad Khalid (1994), beberapa kelompok Islam tersebut antara lain Ikhwanul Muslimin dan Tanzimul Jihad di Mesir, Jama’ah Tabligh di India dan Pakistan, Hizbullah di Libanon, Hizbut Tahrir di Yordania, Jabhatul Inqadz Al Islami FIS di Aljazair, Partai Islam PAS di Malaysia, Al Liqaa Al Islamy di Beirut, Al Ijtihadul Islamiy di Tunisia, dan lainnya. Fenomena kemunculan kelompok-kelompok Islam sebagai respon terhadap kemunduran umat Islam terjadi pula di Indonesia yang memunculkan beberapa organisasi seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Menyebarnya corak pemikiran Islam yang beranekaragam itu merebak ke kampus dengan adanya fenomena kegiatan mahasiswa Islam dan maraknya wacana mengenai berbagai corak pemikiran Islam di kampus. Corak pemikiran Islam tersebut mewudkan dirinya dalam bentuk kegiatan atau gerakan Islam. Selanjutnya corak pemikiran Islam itu menyatu dengan idealisme dan pemikiran mahasiswa mereka yang kritis. Sehingga tidak mengherankan berbagai corak pemikiran Islam cukup familiar dan disambut antusias oleh mahasiswa. Bahkan dalam beberapa perkembangan, sebagian corak pemikiran Islam kontemporer menjadi pilihan mahasiswa dalam melakukan gerakan yang berbasis kampus.
Gerakan Islam kultural yang menekankan dialog dan keterbukaan telah memunculkan kebangkitan Islam yang ditopang dengan munculnya berbagai pemikiran pembaruan dari para intelektual aktivis Islam. [3] Peran pemikir muslim sangat diperlukan dalam melakukan reorganisasi internal umat islam sehingga pola-pola religiositas yang mereka wariskan tetap menjadi kekuatan besar dalam upaya membangun terbentuknya masyarakat muslim kontemporer yang memahami dan dapat beradaptasi dengan budaya modernitas.[4]
Adanya pegumulan antara Islam dan dinamika modernitas telah mendorong munculnya para pemikir muslim, yang oleh John L. Esposito dan John O. Voll disebut sebagai intelektual aktivis berorientasi Islam.[5] Mereka yang terlibat dalam gerakan kultural untuk transformasi sosial ini adalah para pemikir muslim yang memahami aspek pelajaran tradisional Islam, memiliki integritas intelektual yang mumpuni yang ditandai dengan kemampuan menetapkan serta mengekspresikan konsep-konsep dan simbol-simbol serta menjadi aktivis yang terlibat langsung dalam persoalan sosial-keagamaan.
Para intelektual aktivis yang hadir dengan alternative-alternatif baru yang melahirkan era baru di dalam pemikiran Islam dan gerakan Islam. Para intelektual aktivis berpendidikan modern hadir dalam pola baru yaitu komitmen terhadap transformasi masyarakat muslim, tetapi pemikiran masih tetap dalam kerangka ideologi dan program yang gerakannya masih bisa dikenali sebagai murni berbasis Islam.[6] para intelektual aktivis muslim walaupun dalam berbagai hal memiliki perbedaaan, tetapi mereka memilki karakteristik penting yang sama, yaitu menyajikan sintesis pemikiran dan gerakan islam transformatif berbasis islam yang kuat. Peran para intelektual itu cukup besar dalam membentuk kehidupan masyarakat kehidupan masyarakat Islam Kontemporer.[7]
Di Indonesia, semenjak tahun 1970-an sampai tahun 1990-an wacana keagamaan telah berkembang menuju wacana kultural. Islam di Indonesia tidak luput dari dinamika pemikiran Islam. Ide-ide baru telah mewarnai corak pemikiran islam di Indonesia. Antusiasme kalangan intelektual islam dalam wacana pemikiran Islam sosial-keagamaan begitu tinggi sehingga sering disebut sebagai masa “antusiasme intelektual”. [8] Para intelektual aktivis ini diakui oleh para pemikir sesudahnya sebagai intelektual yang memiliki kepedulian yang besar pada problematika umat Islam Indonesia dan segenap anak bangsa. [9] Akan tetapi, di antara para Intelektual aktivis Indonesia ini terdapat perbedaan isu-isu khas yang dikembangkan, seperti isu Abdurrahman Wahid tentang pribumisasi islam,[10] Nurkholis Majid mengembangkan sekularisasi,[11] Kuntowijoyo juga mengembangkan Islam peradaban (teologi pembangunan),[12] M. Amin Rais justru menganjurkn dilakukannya uapaya Islamisasi Ilmu Pengetahuan, reIslamisasi bangsa Indonesia, demokrasi Islam, dan rekonstruksi system zakat menuju terciptannya keadilan sosial.[13] Sedangakan A. Syafi’I Ma’arif lebih menekankan pada gagasan “membumikan Islam”.[14]
ANALISIS
Berdasarkan dengan adanya fakta-fakta yang ada yaitu dengan munculnya aliran-aliran baru dalam Islam menunjukan bahwa pemikiran Islam atau kegiatan untuk memahami Islam selalu mengalami pergulatan. Ada beberapa faktor yang khususnya terkait dengan munculnya pelbagai aliran-aliran dalam Islam. Diantara faktor yang mempengaruhinya diantaranya faktor diantaranya situasi sosiologis, kultural, dan intelektual.
Selain beberapa faktor tersebut, corak pemikiran yang banyak berkembangan di masyarakat sebagaimana yang telah dipaparkan diatas turut memainkan andil yang besar dalam mempengaruhi pemikiran Islam di Indonesia. Masuknya faham-faham dari luar negeri yang kemudian banyak diambil oleh sementara masyarakat yang dengannya mereka dapat memilih aliran-aliran mana yang sesuai dengan kehendak hati dan dirasa paling mudah dalam pelaksanaan. Yang perlu digarisbawahi ialah dengan semakin menjamurnya aliran-aliran yang saat ini menyebar di Indonesia, hendaklah memilih dengan seksama dan lebih arif dalam menyikapi masuknya pelbagai aliran tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa tidak menutup kemungkinan tidak semua faham dan aliran tersebut membawa ajaran yang benar. Maka, haruslah berhati-hati dalam membentengi diri dari segala aliran yang menyimpang dari ajaran agama supaya tidak terjerumus dalam ajaran yang sesat dengan mengatasnamakan agama.
KESIMPULAN
Setelah beberapa argument-argumen akan bukti pemikiran Islam kontemporer di Indonesia mengalami berbagai antusiame dari para kaum Intelektual atau yang sering disebut dengan “aktivis intelektual”. Mereka menggali lebih mendalam akan nilai-nialai yang terkandung dalam ajaran agama Islam dari berbagai macam sudut pandang dan perspektif. Sehingga timbul berbagai macam aliran dalam memahami Islam dalam konteks agama. Misalnya aliran Islam Liberal yang diprakasai oleh Ulil Absar, Islam Rasional yang ditokohi oleh Harun Nasution, Islam Saintifik oleh M. Mukti Ali, Islam Pribumi oleh Gus Dur, Islam Reaktualisasi oleh Munawir Sadzali, Islam Integratif oleh A. Kahar Muzakkir, A. Baiquni, Imaduddin Abdurrahim, Islam Ekslusif, Islam Inklusif-Pluralis.[15]
Dengan demikian, seiring berputarnya waktu maka proses Islamisasi di Nusantara pun semakin mendapatkan antusiame yang tinggi dan di respon aktif oleh masyrarakat pada umumnya. Namun, yang harus digarisbawahi yakni tidak semua aliran itu benar maka hendaklah melakukan tinjauan secara mendalam terhadap pemahaman atau aliran yang bermunculan sehingga pada akhirnya tidak terjerus pada kesesatan.
DAFTAR PUSTAKA
· Abdurrahman,Muslim, Islam Transformatif, Jakarta : Pustaka Firdaus , 1997.
· Bakri ,Syamsul dan Mudhofir, Jombang Kairo, Jomban- Chicago: Sintesis Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaruan Islam di Indonesia Studi Islam, Solo: Tiga Serangkai, 2004.
· Esposito, L dan O. Voll ,John, Tokoh-Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer. Terj. Sugeng Haryanto , Jakarta Raja Grafindo Persada, 2002
· Kuntowijoyo, paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1988.
· Majid, Nurcholis, Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan. Bandung: Mizan, 1987.
· Sularno, Hand Out Mata Kuliah Pemikiran dan Peradaban Islam, Jogjakarta: FIAI UII, 2010.
· Ma’arif, Syafi’I, Membumikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1995.
· Wahid, Abdurrahman, “Presiden dan Agama” dalam Politik Demi Tuhan, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
[1] Penulis adalah Mahasiswa Aktif jurusan Hukum Islam pada Fakultas Ilmu Agama Islam di Universitas Islam Indonesia
[2] Sularno, Hand Out Mata Kuliah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Jogjakarta: FIAI UII, 2010), h, 36.
[3] Syamsul Bakri dan Mudhofir, Jombang Kairo, Jomban- Chicago: Sintesis Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaruan Islam di Indonesia Studi Islam, (Solo: Tiga Serangkai, 2004) cet. 1.
[4] Ibid, h. 9.
[5] Lihat John L. Esposito dan John O. Voll, Tokoh-Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer.Terj. Sugeng Haryanto. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. Xxxv.
[6] John L. Esposito dan John O. Voll, op. cit. hlm. xxxiv.
[7] Syamsul Bakri dan Mudhofir,. Op.cit. hlm, 10
[8] Ibid,
[9] Muslim Abdurrahman, Islam Transformatif, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1997, hlm, 13
[10] Pribumisasi Islam dimaksudkan sebagai gerakan untuk membumikan Islam dalam konteks ke-Indonesiaan sebagai lawan dari Arabisasi dan modernisasi. Lihat Abdurrahman Wahid, “Presiden dan Agama” dalam Politik Demi Tuhan, Pustaka Hidayah, Bandung, 1999, hl, 308-309.
[11] Sekulerisasi adalah upaya menduniawikan nalai-niali yang semstinya duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan menyakralkan. Lihat Nurcholis Majid, Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan. Mizan, Bandung, 1987, hlm, 207
[12] Lihat Kuntowijoyo, paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1988, hlm, 308
[13] Muslim Abdurrahman, op.cit, hlm, 308
[14] Lihat Syafi’I Ma’arif, Membumikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hlm, 69.
[15] Sularno,. Op.cit. h, 37-28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar