PENDAHULUAN
Tidak semua hadis itu bersifat terpuji
perawinya, dan tidak semua hadis-hadis itu bersifat dhaif perawinya. Oleh
karena itu para periwayat mulai dari generasi sahabat sampai generasi mukharijul
hadis tidak bisa kita jumpai secara fisik karena mereka
telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan mereka, baik kelebihan maupun
kekurangan mereka dalam periwayatan, maka diperlukanlah informasi dari berbagai
kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik para periwayat hadis.
Kritikan para periwayat hadis
itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja tetapi juga mengenai
hal-hal yang tercela. Hal-hal demikan dapat dikemukakan untuk dijadikan
pertimbangan dalam hubungannya dengan dapat atau tidak diterimanya riwayat
hadis yang mereka riwayatkan. Untuk itulah lebih jelasnya disini pemakalah akan
membahas mengenai Imu al jarh wa ta'dil.
Ilmu al-jarh wa ta’dil adalah
ilmu yang membahas tentang keadaan seorang rawi, dengan menyoroti
kesalehan dan kejelekan sifat dari rawi tersebut sehingga dengan demikian periwayatan hadits
yang dilakukannya dapat diterima atau ditolak. Ilmu Al-Jarh wa
Al-Ta’dil mempunyai
posisi yang sangat penting dalam disiplin ilmu hadis. Ini dapat dilihat dari posisi ilmu ini yang tidak bisa dipisahan dari
kegiatan pentakhrijan suatu hadits. Jika seorang ahli hadis dinyatakan cacat maka
periwayatannya ditolak, sebaliknya jika seorang perawi dipuji dengan pujian
adil, maka periwayatannya diterima, selama syarat-syarat lain untuk menerima
hadis di penuhi. Kedudukan ilmu
ini semakin signifikan ketika seseorang hendak melakukan penelitian hadis atau
biasa dikenal dengan sebutan Takhrij Al-Hadis.
Para ahli hadis sepakat bahwa untuk menilai
kualitas hadis, terlebih dahulu harus dilihat dari segi matan dan sanad-nya. Dalam
hubungannya dengan penelitian sanad, yang harus
diteliti adalah rangkaian atau persambungan sanad dan keadaan
pribadi periwayat (rawi) hadis menyangkut dua hal; pertama,
ke-‘adilan yang berhubungan dengan kualitas pribadi peri-wayat dan kedua, ke-dhabitan
yang berhubungan dengan kapasitas intelektualnya.[1] Apabila
kedua hal tersebut ada pada periwayatan hadis maka periwayat itu
dinyatakan tsiqah dan hadis
yang diriwayatkannya, dapat diterima sebagai hujjah. Dalam
kajian Ulumul Hadis, pembahasan mengenai keadaan
pribadi periwayat hadis, baik mengenai kualitas pribadinya maupun kapasitas
intelektualnya, merupakan fokus kajian ilmu Jarh dan Ta’dil.
PEMBAHASAN
Kata Al-Jarh (الجرح)
merupakan bentuk dari kata Jaraha-Yajrahu (جرح - يجرح)
atau Jariha-Yajrahu (جرح - يجرح)
yang berarti dalam kategori ilmu hadits diartikan cacat atau luka. Sedangkan
kata Al-Ta’dil (التعديل)
merupakan akar kata dari ‘Addala-Yu’addilu(عدل - يعدل)
yang berarti mengadilkan, menyucikan, atau menyamakan.[2] Istilah ini
digunakan untuk menunjukkan sifat baik yang melekat pada periwayat, seperti:
kuat hafalan, terpercaya, cermat, dan lain sebagainya. Orang yang mendapat
penilaian seperti ini disebut ‘adil, sehingga, hadis yang dibawanya
dapat diterima sebagai dalil agama. Hadisnya dinilai shahih, Sesuai dengan
fungsinya sebagai sumber ajaran Islam, maka yang diambil adalah hadis shahih.[3]
Secara
terminologis, Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib mendefinisikan Al-Jarh sebagai
berikut:
ظهور وصف في
الراوي يثلم عدالته او يخل بحفطه و ضبته مما يتر تب عليه سقوط روايته او ضعفه و
ردها
“Nampaknya
suatu sifat pada seorang perawi yang dapat merusak nilai keadilannya
atau melamahkan nilai hafalan dan ingatan, yang karena sebab tersebut gugurlah
periwayatannya atau ia dipandang lemah dan tertolak”.[4]
Sedangkan Al-Ta’dil didefinisikan
sebagai berikut:
تز كية الراوي
الحكم عليه بانه عدل او ضابط
“Membersihkan seorang rawi dan menetapkannya
bahwa ia adalah seorang yang adil atau dhabit”.
Dari
beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kajian ‘Ilmu Jarh wa
Ta’dil terfokus pada penelitian terhadap perawi hadis, sehingga
diantara mereka dapat dibedakan antara perawi yang mempunyai sifat-sifat
keadilan atau kedhabit-an dan yang tidak memilikinya. Dengan tidak memiliki
kedua sifat-sifat itu, maka hal tersebut merupakan indikator akan
kecacatan perawi dan secara otomatis periwayatannya tertolak. Sebaliknya bagi
perawi yang memiliki kedua sifat-sifat di atas, secara otomatis pula ia
terhindar dari kecacatan dan berimplikasi bahwa hadis
yang diriwayatkannya dapat diterima.
B. SEJARAH
DAN PERKEMBANGAN ILMU JARH WA AL-TA’DIL
Pertumbuhan ilmu jarh wa ta’dil seiring
dengan tumbuhnya periwayatan hadis. Seperti ketika Nabi SAW.
Menyatakan dalam haditsnya “Akan ada pada umatku yang terakhir
nanti orang-orang yang menceritakan hadits kepada kalian apa yang belum pernah
kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah
terhadap mereka dan waspadailah mereka” (HR. Muslim). Sejak
saat itu para sahabat selalu berhtai-hati dalam menerima suatu hadis.
Namun
perkembangannya yang lebih nyata adalah sejak terjadinya al-fitnah
al-kubra atau pembunuhan terhadap khalifah Utsman bin Affan pada tahun
36 H. Pada waktu itu, kaum muslimin telah terkotak-kotak kedalam berbagai
kelompok yang masing-masing mereka merasa mamiliki
legitimasi atagitimasi atas tindakan yang mereka lakukan
apa bila mengutip hadis-hadis Rasulullah SAW. Jika tidak ditemukan, mereka
kemudian membuat hadis-hadis palsu. Sejak itulah para ulama hadis menyeleksi hadis-hadis
Rasulullah SWA, tidak hanya dari segi matan atau materinya saja tetapi mereka
juga melakukan kritik terhadap sanad serta para perawi yang menyampaikan hadis
tersebut. Diantara sahabat yang pernah membicarakan masalah ini adalah Ibnu
Abbas (68 H), Ubaidah Ibnu Shamit (34 H), dan Anas bin Malik (39 H).
Para
ahli hadis sangat berhati-hati dalam memperkatakan keadaan para rawi hadis.
Mereka mengetahui apa yang harus dipuji dan apa yang harus dicela. Mereka
melakukan ini hanyalah untuk menerangkan kebenaran dengan rasa penuh tanggung
jawab.
Ilmu jarh
wa ta’dil yang embrionya telah ada sejak zaman sahabat, telah
berkembang sejalan dengan perkembangan periwayatan hadis dalam Islam. Beberapa
ulama bekerja mengembangkan dan menciptakan berbagai kaidah, menyusun berbagai
istilah, serta membuat berbagai metode penelitian sanad dan matan hadis, untuk
“Menyelamatkan” hadis Nabi dari “Noda-noda” yang merusak dan menyesatkan.[5]
Demikianlah
sesungguhnya jarh wa ta’dil adalah kewajiban syar’i yang
harus dilakukan. Investigasi terhadap para perawi dan keadilan
mereka bertujuan untuk mengetahui apakah rawi itu seorang yang amanah, alim
terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti, pada hadis, tidak sering dan tidak
peragu. Semua ini merupakan suatu keniscayaan. Kealpaan terhadap kondisi
tersebut akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah SAW.
Jarh dan ta’dil tidak
dimaksudkan untuk memojokkan seorang rawi, melainkan untuk menjaga kemurnian
dan otentisitas agama Islam dari campur tangan pendusta. Maka hal itu
wajar-wajar saja, bahkan merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan. Sebab
tanpa ilmu ini tidak mungkin dapat dibedakan mana hadis yang otentik dan mana
hadis yang palsu.
Pada abad ke-2
H, ilmu jarh wa ta’dil mengalami perkembangan pesat dengan
banyaknya aktivitas para ahli hadis untuk mentajrih dan menta’dil para
perawi. Diantara ulama yang memberikan perhatian pada masalah ini adalah Yahya
bin Sa’ad al-Qathtan (189H), Abdurrahman bin Mahdi (198 H), Yazim bin Harun
(189 H), Abu Daud at-Thayalisi (240 H), dan Abdurrazaq bin Humam (211 H).[6]
Perkembangan
ilmu jarh wa ta’dil mencapai puncaknya pada abad ke-3 H. pada
masa ini muncul tokoh-tokoh besar dalam ilmu jarh wa ta’dil, seperti
Yahya bin Ma’in (w.230 H), Ali bin Madini (w.234 H), Abu Bakar bin Abi Syaihab
(w.235 H), dan Ishaq bin Rahawaih (w.237 H). Ulama-ulama lainnya adalah
ad-Darimi (w.255 H), al-Bukhari (w.256 H), Muslim (w.261 H), al-Ajali (w.261
H), Abu Zur’ah (w.264 H), Abu Daud (w.257 H), Abu Hatim al-Razi (w.277 H), Baqi
Ibnu Makhlad (w.276 H), dan Abu Zur’ah ad-Dimasqy (w.281 H).[7]
Kitab-kitab yang membahas masalah al-Jarh
wa al-Ta’dil ada yang menghususkan dalam bidang tertentu, di
antaranya:
Pembahasan
Kitab dan Penulis
Bidang pembahasan
|
Kitab dan Penulis
|
- Membahas
tokoh-tokoh terpercaya.
|
Attsiqat karya Ibnu Qathlubigha (879
H),danAttsiqat karya Khalil bin Syahin.
|
- Membahas
rawi-rawi dla’if.
|
Penulis; Al bukhari, Annasa’i, Ibnu Hibban,
Addaru Quthni, Al’aqili, ibnul Jauzi, dan Ibnul ‘Adi (kitab yang paling
lengkap adalah kitab Ibnul ‘Adi).
|
- Membahas
tokoh-tokoh, baik yang terpercaya ataupun yangdla’if.
|
Tarikh al-Bukhori: al-Kabir, Jarh wa
Ta’dil; karya Ibnu Hibban, Jarh Wa Ta’dil karya ibnu Abi
Hatim, Arrazi, dan Atthabaqatul Kubro karya Ibnu sa’d.
|
Sedangkan kitab yang paling utama diantara
kitab-kitab dalam bidang ini adalah: At-Takmil fi Mar’atis Tsiqah wa
Dluafa wa al-Majahi, karya al-Hafidz
Ibnu Katsir. Kitab ini menghimpun dua kitab yang telah ada, yaitu: At-Tadzhibkarya
al-Mazi, dan al-Mizan karya addzahabi, disertai tambahan
ulasan yang jelas. Kitab ini sangat bermanfa’at bagi ahli hadis dan fiqih di
masa berikutnya.[8]
3. Kegunaan
dan Objek/Sasaran Pokok Ilmu al-Jarh Wa al-Ta’dil
Ilmu al-jarh wa al-ta’dil ini
dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa
dierima atau harus ditolak. Apabila seorang rawi “di-jarh” oleh para
ahli hadis sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak.
Sebaliknya, bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang
lain dipenuhi.
Kecacatan rawi itu bisa
ditelusuri melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya
dikategorikan kedalam lingkup perbuatan: bid’ah[9], mukhalafah[10], ghalath[11] jahalat
al-hal,[12] dan da’wat
al-inqitha’[13].
Adapun informasi al- jarh dan ta’dilnya
seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan yaitu:
a. Popularitas para perawi di kalangan para
ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang yang adil,
atau rawi yang mempunyai ‘aib. Bagi yang sudah terkenal di kalangan ahli ilmu
tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan keadilannya,
begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan kefasikan atau
dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
b. Berdasarkan pujian atau pen-tajrih-an
dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil menta’dilkan seorang rawi
yang lain yang belum dikenal keadilannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut
bisa menyandang gelar adil dan periwayatannya bisa diterima. Begitu juga dengan
rawi yang di-tajrih. Bila seorang rawi yang adil telah mentajrih-nya
maka periwayatannya menjadi tidak bisa diterima.[14]
Adapun objek/Sasaran pokok dalam mempelajari ilmu al-jarh
wa al-ta’dil adalah sebagai berikut:
a) Untuk menghukumi / mengetahui
status perawi hadis
b) Untuk mengetahui kedudukan hadis
/ martabat hadis, karena tidak mungkin mengetahui status suatu hadis tanpa
mengetahui kaidah ilmu al-jarh wa al-ta’dil
c) Mengetahui syarat-syarat
perawi yang maqbul. Bagaimana keadilannya, ke-dlabitan-nya serta perkara
yang berkaitan dengannya.
Syarat-syarat bagi orang
yang menta’dil-kan dan mentajrih-kan yaitu: 1) Berilmu
pengetahuan, 2) Taqwa, 3) wara’ (orang yang selalu menjauhi
perbuatan maksiyat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil
dan makruhat/yang dibenci), 4) jujur, 5) menjauhi fanatik golongan,
6) mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan untuk mentajrihkan.[15]
Jika terjadi ta’arudh (pertentangan)
antara jarh dan ta’dil pada seseorang perawi,
yakni sebagaian ulama’ menta’dilkan dan sebagaian ulama’ yang mentajrihkan,
dalam hal itu terdapat empat pendapat:
1) Pendapat
pertama mendahulukan jarh dari ta’dil. Maksudnya,
informasi tentang cacatnya periwayat tersebut dipegang, sementara, informasi
tentang ke’adilannya dikesampingkan, kendati, jumlah penyacat jauh lebih
kecil dari pada yang memujinya sebagai orang ‘adil. Alasannya, pencacat
dapat menunjukkan kelemahan periwayat yang tidak kelihatan oleh orang-orang
yang memuji tadi.[16]
2) Pendapat
kedua mengambil penilaian yang didukung oleh suara terbanyak. Bila pemujinya
lebih banyak, maka periwayat itu dinilai ‘adil, sebaliknya, bila
penyacatnya lebih banyak, maka periwayat tersebut dinilai cacat. Alasannya,
suara terbanyak lebih mempunyai kekuatan. Pendapat kedua ini ditinggalkan oleh
ulama pada umumnya.
3) Pendapat
ketiga mengambil/mendahulukan pujian atas celaan, kecuali apabila celaan
disertai penjelasan tentang sebab-sebab cela’an (jarh). Hal ini sesuai
dengan adab al-jarh wa al- ta’dil, bahwa untuk
memuji seorang periwayat tidak perlu rincian, sementara, untuk menunjukkan
cacat, rincian itu diperlukan.
4) Pendapat
keempat menangguhkan penilaian sampai ada bukti lain yang menguatkan apakah
periwayat kontroversi itu termasuk orang ‘adil atau orang
cacat.[17]
4. Tingkatan
Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil
Para perawi yang meriwayatkan hadis bukanlah
semuanya dalam satu derajat dari segi ke’adilan dan kedhabitan,
dan hafalan mereka sebagaimana yang kami jelaskan sebelumnya. Diantara mereka
ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan
ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil dan
amanah, serta ada juga yang berdusta dalam hadis, maka Allah menyingkap
perbuatannya ini melalui tangan ulama menetapkan tingkatan jarh dan ta’dil ,
dan lafadz-lafadz yang menunjukkan pada setiap tingkatan, sehingga
tingkatan ta’dil ada enam tingkatan dan tingkatan jarh ada
enam juga.[18]
Tingkatan dan Contoh al-Jarh
wa al- Ta’dil
No
|
Tingkatan Ta’dil
dan Contohnya
|
Tingkatan Jarh
dan Contohnya
|
1
|
Ta’dil dengan menggunakan ungkapan
/ kata pujian yang bersangatan (mubalaghah).
Contohnya: fulanun ilaihi al-muntaha
fi at-tatsabbut (si Fulan itu paling tinggi keteguhannya),
atau fulanun atsbata an-nas (si Fulan itu
termasuk orang yang paling teguh).
|
Jarh dengan menggunakan ungkapan
yang sangat buruk dan sangat memberatkan kepada orang yang di cacat karena
kedusta’an-nya.
Contohnya:fulanun layuh tajju bihi (si
Fulan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah), atau dla’if (lemah), lahumanakir (dia
hadisnya munkar).
|
2
|
Ta’dil dengan mengulangi kata
pujian, baik dengan kata sama atau mirip.
Contohnya:
tsiqatun tsiqah (orang
yang sangat-sangat tsiqah), atau tsiqatun tsabitun (orangnya tsiqah dan
teguh).
|
Jarh dengan menggunakan kata
sedikit lebih lunak, juga berkisar pada dusta.
Contohnya: fulanun layyinun
al-hadis (si Fulan hadisnya lunak), atau fihi maqalun (di
dalamnya diperbincangkan).
|
3
|
Ta’dil dengan menggunakan kata-kata
pujian tanpa pengulangan.
Contohnya: tsiqatun (orangnya tsiqah),
atau hujjatun (orangnya ahli argumen).
|
Jarh dengan menggunakan kata yang
lebih lunak dari tadi, yang menunjukkan bahwa hadisnya ditolak oleh orang
banyak, atau tidak ditulis hadisnya.
Contohnya:
fulanun layuktabu haditsuhu
(si Fulan hadisnya tidak bisa dicatat),
la tahillu riwayatu ‘anhu
(tidak boleh meriwayatkan hadis
darinya),
dla’if Jiddan (amat
lemah),
wahn bi marratin (orang
yang sering melakukan persangkaan).
|
4
|
Ta’dil dengan menggunakan kata-kata
yang menggambarkan ke-baikan seseorang, tetapi tidak melukiskan kecermatan,
atau kekuatan hafalan seperti yang digunakan ta’dil ke-tiga.
Contohnya:
shaduqun (orangnya
jujur), atau yang sama kedudukannya dengan shaduq, atau la
ba’sa (orangnya tidak punya masalah –cacat-).
|
Jarh dengan menggunakan kata yang
lebih lunak lagi.
Contohnya:
fulanun muhtammun bi al-kadzib (si
Fulan orang yang dituduh berbuat dusta), atau muthammun bi al-wadl’I (orang
yang dituduh berbuat palsu), atau yasriqu al-hadis (yang
mencuri hadis), atausaqithun (gugur), atau matruk (ditinggalkan),
atau laisa bi tsiqatin (tidaktsiqah).
|
5
|
Ta’dil dengan menggunakan
kata yang tidak menunjukkan adanya cela’an.
Contohnya:
, fu fulanun syaikhun (si
Fulan itu seorang syekh/guru), atau ruwiya ‘anhu an-nas (manusia
meriwayatkan dirinya)
|
Jarh dengan menggunakan kata yang
menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsuan hadis.
Contohnya:kadzdzab (pendusta),atau daj-jal,atau wadla’(pemalsu),
atau yukadzdzibu (didustakan), atau yadla’u
(pembuat hadis palsu).
|
6
|
Ta’dil dengan menggunakan kata agak
dekat pada celaan (jarh).
Contohnya:
fulanun shalih al-hadis (si Fulan
orang yang hadisnya shalih), yuktabu hadistuhu (orang yang
Hadisnya dicatat).
|
Jarh dengan menggunakan kata-kata
yang menggunakan cacat ringan.
Contohnya:
fulanun akdzabu an-nas (si
Fulan itu orang yang paling pendusta), ilaihi al-muntaha fi al-kadzbi (dia
orang yang menjadi pangkalnya dusta),
hawa ruknu al-kadzbi (dia
orang yang menjadi penopang dusta)[19]
|
Hukum tingkatan-tingkatan al-Jarh dan al-Ta’dil
adalah sebagai
berikut:
No
|
Hukum Tingkatan Ta’dil
|
Hukum Tingkatan Jarh
|
1
|
Untuk tingkat pertama, dapat dijadikan
hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
|
Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa
dijadikan hujjah terhadap hadis mereka, akan tetapi boleh ditulis
untuk diperhatikan saja, dan walaupun orang pada tingkatan kedua lebih
rendah dari tingkatan pertama
|
2
|
Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak
bisa dijadikan hujjah, tetapi hadis mereka boleh ditulis, dan diuji kedhabithan mereka
dengan membandingkan hadis mereka dengan hadis-hadis para tsiqah yang dhabith.
Jika sesuai dengan hadis mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Jadi jika tidak
sesuai maka ditolak, meskipun dia dari tingkatan kelima yang lebih rendah
dari pada tingkatan keempat.
|
Sedangkan empat tingkataan terakhir tidak
boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak boleh dianggap
sama sekali.[20]
|
3
|
Sedangkan tingkatan keenam, tidak bisa
dijadikan hujjah, tetapi hadis mereka ditulis untuk dijadikan sebagai
pertimbangan saja bukan untuk pengujian, karena mereka tidakdhabith.
|
Dan ta’dil boleh
diterima tanpa menyebutkan alasan dan sebabnya menurut pendapat yang shahih dan
masyhur, karena sebabnya banyak sehingga sulit menyebutkannya.
Sedangkan jarh tidak
boleh diterima kecuali dengan alasannya, karena hal itu terjadi disebabkan satu
masalah dan tidak sulit menyebutkannya. Dan karena setiap berbeda dalam
sebab-sebab jarhnya. Ulama yang menjarh seorang perawi
karena berdasarkan pada apa yang diyakininya sebagai jarh, belum
tentu dapat dijadikan alasan bagi orang lain. Oleh karenanya harus dijelaskan
sebabnya untuk dapat dilihat apakah itu benar suatu cacat atau
bukan.
PENUTUP
Dalam upaya
memelihara keautentikan hadis sebagai sumber kedua dari ajaran Islam, maka para
ulama terus berusaha dalam menghimpun hadis-hadis Nabi SAW. Dengan cara
menilai para periwayat secara jarh atau ta’dil.
Ilmu al-jarh
wa at-ta’dil merupakan suatu ilmu untuk menyeleksi para periwayat
hadis, apakah ia cacat atau adil sehingga hadis yang diriwayatkannya itu dapat
diterima atau ditolak.
Melalui
syarat-syarat al-jarh wa at-ta’dil, lafal-lafal dan kaidah-kaidah
tertentu, para ulama hadis menilai para periwayat dari segi jarh (cacat) dan
ta’dil (bersih)nya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khathib, Ajjaj, Ushul Al-Hadis
Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Darul Fikr, 1989
Al-Qaththan, Manna’, Pengantar Studi
Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005
Almanar, Abduh, Studi Ilmu Hadis, Jakarta:
gaung Persada Press, 2011
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999
Assina’i, Musthafa , Al Hadits Sebagai
Sumber Hukum, Bandung: Diponegoro, 1979
Ismail, Syuhudi, Hadis
Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insani
Press, 1995
Izzan, Ahmad dan Nur, Saifuddin, Ulumul
Hadis, Bandung: Tafakur, 2011
Zuhri, Muh., Hadis Nabi: Telaah
Historis dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003
[1]
M. Syuhdi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), hlm. 66
[3] Muh.
Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 121
[5]
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan
Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1995), hlm.52
[6]
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1998), hlm. 13
[7] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
1998), hlm. 116
[14]
Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 120
[19] Dikutip dari karya ilmiah (skripsi) Etey Qomariyah, Analisis Metode Ilmu
Jarh Watta’dil (Pendekatan Ontologi dan epistimologi).
[20] Dikutip dari karya ilmiah (skripsi) Etey Qomariyah, Analisis Metode Ilmu
Jarh Watta’dil (Pendekatan Ontologi dan epistimologi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar