14 April, 2016

METODE JARH WATTA'DIL


PENDAHULUAN
Tidak semua hadis itu bersifat terpuji perawinya, dan tidak semua hadis-hadis itu bersifat dhaif perawinya. Oleh karena itu para periwayat mulai dari generasi sahabat sampai generasi mukharijul hadis tidak bisa kita jumpai secara fisik karena mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka dalam periwayatan, maka diperlukanlah informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik para periwayat hadis.
Kritikan para periwayat hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja tetapi juga mengenai hal-hal yang tercela. Hal-hal demikan dapat dikemukakan untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya dengan dapat atau tidak diterimanya riwayat hadis yang mereka riwayatkan. Untuk itulah lebih jelasnya disini pemakalah akan membahas mengenai Imu al  jarh wa ta'dil.
Ilmu al-jarh wa ta’dil  adalah ilmu yang membahas tentang keadaan seorang rawi, dengan menyoroti kesalehan dan kejelekan sifat dari rawi tersebut  sehingga dengan demikian periwayatan hadits yang dilakukannya dapat diterima atau ditolak. Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil mempunyai posisi yang sangat penting dalam disiplin ilmu hadis. Ini dapat dilihat dari posisi ilmu ini yang tidak bisa dipisahan dari kegiatan pentakhrijan suatu hadits. Jika seorang ahli hadis dinyatakan cacat maka periwayatannya ditolak, sebaliknya jika seorang perawi dipuji dengan pujian adil, maka periwayatannya diterima, selama syarat-syarat lain untuk menerima hadis di penuhi. Kedudukan ilmu ini semakin signifikan ketika seseorang hendak melakukan penelitian hadis atau biasa dikenal dengan sebutan Takhrij Al-Hadis.
Para ahli hadis sepakat bahwa untuk menilai kualitas hadis, terlebih dahulu harus dilihat dari segi matan dan sanad-nya. Dalam hubungannya dengan penelitian sanad, yang harus diteliti adalah rangkaian atau persambungan sanad dan keadaan pribadi periwayat (rawi) hadis menyangkut dua hal; pertama, ke-‘adilan yang berhubungan dengan kualitas pribadi peri-wayat dan kedua, ke-dhabitan yang berhubungan dengan kapasitas intelektualnya.[1] Apabila kedua hal tersebut ada pada periwayatan hadis maka periwayat itu dinyatakan tsiqah  dan hadis yang diriwayatkannya, dapat diterima sebagai hujjah. Dalam kajian Ulumul Hadis, pembahasan mengenai keadaan pribadi periwayat hadis, baik mengenai kualitas pribadinya maupun kapasitas intelektualnya, merupakan fokus kajian ilmu Jarh dan Ta’dil.

PEMBAHASAN
Kata Al-Jarh (الجرح) merupakan bentuk dari kata Jaraha-Yajrahu (جرح - يجرح) atau Jariha-Yajrahu (جرح - يجرح) yang berarti dalam kategori ilmu hadits diartikan cacat atau luka.  Sedangkan kata Al-Ta’dil (التعديل) merupakan akar kata dari ‘Addala-Yu’addilu(عدل - يعدل) yang berarti mengadilkan, menyucikan, atau menyamakan.[2] Istilah ini digunakan untuk menunjukkan sifat baik yang melekat pada periwayat, seperti: kuat hafalan, terpercaya, cermat, dan lain sebagainya. Orang yang mendapat penilaian seperti ini disebut ‘adil, sehingga, hadis yang dibawanya dapat diterima sebagai dalil agama. Hadisnya dinilai shahih, Sesuai dengan fungsinya sebagai sumber ajaran Islam, maka yang diambil adalah hadis shahih.[3]
Secara terminologis, Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib mendefinisikan Al-Jarh sebagai berikut:
ظهور وصف في الراوي يثلم عدالته او يخل بحفطه و ضبته مما يتر تب عليه سقوط روايته او ضعفه و ردها               
      “Nampaknya suatu sifat pada seorang  perawi yang dapat merusak nilai keadilannya atau melamahkan nilai hafalan dan ingatan, yang karena sebab tersebut gugurlah periwayatannya atau ia dipandang lemah dan tertolak”.[4]
            Sedangkan Al-Ta’dil didefinisikan sebagai berikut:
تز كية الراوي الحكم عليه بانه عدل او ضابط                                                          
Membersihkan seorang rawi dan menetapkannya bahwa ia adalah seorang yang adil atau dhabit”.
            Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kajian ‘Ilmu Jarh wa Ta’dil terfokus pada penelitian terhadap perawi hadis, sehingga diantara mereka dapat dibedakan antara perawi yang mempunyai sifat-sifat keadilan atau kedhabit-an dan yang tidak memilikinya. Dengan tidak memiliki kedua sifat-sifat itu, maka hal tersebut merupakan indikator akan kecacatan perawi dan secara otomatis periwayatannya tertolak. Sebaliknya bagi perawi yang memiliki kedua sifat-sifat di atas, secara otomatis pula ia terhindar dari kecacatan  dan berimplikasi  bahwa hadis yang diriwayatkannya dapat diterima.
B.  SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU JARH WA AL-TA’DIL
            Pertumbuhan ilmu jarh wa ta’dil seiring dengan tumbuhnya periwayatan hadis. Seperti ketika Nabi SAW. Menyatakan dalam haditsnya “Akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadits kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka” (HR. Muslim). Sejak saat itu para sahabat selalu berhtai-hati dalam menerima suatu hadis.
            Namun perkembangannya yang lebih nyata adalah sejak terjadinya al-fitnah al-kubra atau pembunuhan terhadap khalifah Utsman bin Affan pada tahun 36 H. Pada waktu itu, kaum muslimin telah terkotak-kotak kedalam berbagai kelompok yang masing-masing mereka merasa mamiliki legitimasi  atagitimasi  atas tindakan yang mereka lakukan apa bila mengutip hadis-hadis Rasulullah SAW. Jika tidak ditemukan, mereka kemudian membuat hadis-hadis palsu. Sejak itulah para ulama hadis menyeleksi hadis-hadis Rasulullah SWA, tidak hanya dari segi matan atau materinya saja tetapi mereka juga melakukan kritik terhadap sanad serta para perawi yang menyampaikan hadis tersebut. Diantara sahabat yang pernah membicarakan masalah ini adalah Ibnu Abbas (68 H), Ubaidah Ibnu Shamit (34 H), dan Anas bin Malik (39 H).
       Para ahli hadis sangat berhati-hati dalam memperkatakan keadaan para rawi hadis. Mereka mengetahui apa yang harus dipuji dan apa yang harus dicela. Mereka melakukan ini hanyalah untuk menerangkan kebenaran dengan rasa penuh tanggung jawab.
       Ilmu jarh wa ta’dil yang embrionya telah ada sejak zaman sahabat, telah berkembang sejalan dengan perkembangan periwayatan hadis dalam Islam. Beberapa ulama bekerja mengembangkan dan menciptakan berbagai kaidah, menyusun berbagai istilah, serta membuat berbagai metode penelitian sanad dan matan hadis, untuk “Menyelamatkan” hadis Nabi dari “Noda-noda” yang merusak dan menyesatkan.[5]
       Demikianlah sesungguhnya jarh wa ta’dil adalah kewajiban syar’i yang harus dilakukan. Investigasi terhadap para perawi dan keadilan mereka bertujuan untuk mengetahui apakah rawi itu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti, pada hadis, tidak sering dan tidak peragu. Semua ini merupakan suatu keniscayaan. Kealpaan terhadap kondisi tersebut akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah SAW.
       Jarh dan ta’dil tidak dimaksudkan untuk memojokkan seorang rawi, melainkan untuk menjaga kemurnian dan otentisitas agama Islam dari campur tangan pendusta. Maka hal itu wajar-wajar saja, bahkan merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan. Sebab tanpa ilmu ini tidak mungkin dapat dibedakan mana hadis yang otentik dan mana hadis yang palsu.
       Pada abad ke-2 H, ilmu jarh wa ta’dil mengalami perkembangan pesat dengan banyaknya aktivitas para ahli hadis untuk mentajrih dan menta’dil para perawi. Diantara ulama yang memberikan perhatian pada masalah ini adalah Yahya bin Sa’ad al-Qathtan (189H), Abdurrahman bin Mahdi (198 H), Yazim bin Harun (189 H), Abu Daud at-Thayalisi (240 H), dan Abdurrazaq bin Humam (211 H).[6]
       Perkembangan ilmu jarh wa ta’dil mencapai puncaknya pada abad ke-3 H. pada masa ini muncul tokoh-tokoh besar dalam ilmu jarh wa ta’dil, seperti Yahya bin Ma’in (w.230 H), Ali bin Madini (w.234 H), Abu Bakar bin Abi Syaihab (w.235 H), dan Ishaq bin Rahawaih (w.237 H). Ulama-ulama lainnya adalah ad-Darimi (w.255 H), al-Bukhari (w.256 H), Muslim (w.261 H), al-Ajali (w.261 H), Abu Zur’ah (w.264 H), Abu Daud (w.257 H), Abu Hatim al-Razi (w.277 H), Baqi Ibnu Makhlad (w.276 H), dan Abu Zur’ah ad-Dimasqy (w.281 H).[7]
Kitab-kitab yang membahas masalah al-Jarh wa al-Ta’dil ada yang menghususkan dalam bidang tertentu, di antaranya:

Pembahasan Kitab dan Penulis
Bidang pembahasan
Kitab dan Penulis
-          Membahas tokoh-tokoh terpercaya.
Attsiqat karya Ibnu Qathlubigha (879 H),danAttsiqat karya Khalil bin Syahin.
-          Membahas rawi-rawi dla’if.
Penulis; Al bukhari, Annasa’i, Ibnu Hibban, Addaru Quthni, Al’aqili, ibnul Jauzi, dan Ibnul ‘Adi (kitab yang paling lengkap adalah kitab Ibnul ‘Adi).
-          Membahas tokoh-tokoh, baik yang terpercaya ataupun yangdla’if.
Tarikh al-Bukhori: al-KabirJarh  wa Ta’dil; karya Ibnu Hibban, Jarh Wa Ta’dil karya ibnu Abi Hatim, Arrazi, dan Atthabaqatul Kubro karya Ibnu sa’d.
Sedangkan kitab yang paling utama diantara kitab-kitab dalam bidang ini adalah: At-Takmil fi Mar’atis Tsiqah wa Dluafa wa al-Majahi, karya al-Hafidz Ibnu Katsir. Kitab ini menghimpun dua kitab yang telah ada, yaitu: At-Tadzhibkarya al-Mazi, dan al-Mizan karya addzahabi, disertai tambahan ulasan yang jelas. Kitab ini sangat bermanfa’at bagi ahli hadis dan fiqih di masa berikutnya.[8]

3.       Kegunaan dan Objek/Sasaran Pokok Ilmu al-Jarh Wa al-Ta’dil
Ilmu al-jarh wa al-ta’dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa dierima atau harus ditolak. Apabila seorang rawi “di-jarh” oleh para ahli hadis sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya, bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
Kecacatan rawi itu bisa ditelusuri melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya dikategorikan kedalam lingkup perbuatan: bid’ah[9], mukhalafah[10], ghalath[11] jahalat al-hal,[12] dan da’wat al-inqitha[13].
Adapun informasi al- jarh dan ta’dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan yaitu:
a.          Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang    yang adil, atau rawi yang mempunyai ‘aib. Bagi yang sudah terkenal di kalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan keadilannya, begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan kefasikan  atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
b.         Berdasarkan pujian atau pen-tajrih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil menta’dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadilannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatannya bisa diterima. Begitu juga dengan rawi yang di-tajrih. Bila seorang rawi yang adil telah mentajrih-nya maka periwayatannya menjadi tidak bisa diterima.[14]
Adapun objek/Sasaran pokok dalam mempelajari ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah sebagai berikut:
a)  Untuk menghukumi / mengetahui status perawi hadis
b)  Untuk mengetahui kedudukan hadis / martabat hadis, karena tidak mungkin mengetahui status suatu hadis tanpa mengetahui kaidah ilmu al-jarh wa al-ta’dil       
c)   Mengetahui syarat-syarat perawi yang maqbul. Bagaimana keadilannya, ke-dlabitan-nya serta perkara yang berkaitan dengannya.
Syarat-syarat bagi orang yang menta’dil-kan dan mentajrih-kan yaitu: 1) Berilmu pengetahuan, 2) Taqwa, 3) wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiyat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat/yang dibenci), 4) jujur, 5) menjauhi fanatik golongan, 6) mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan untuk mentajrihkan.[15]
Jika terjadi ta’arudh (pertentangan) antara jarh dan ta’dil pada seseorang perawi, yakni sebagaian ulama’ menta’dilkan dan sebagaian ulama’ yang mentajrihkan, dalam hal itu terdapat empat pendapat:
1)      Pendapat pertama mendahulukan jarh dari ta’dil. Maksudnya, informasi tentang cacatnya periwayat tersebut dipegang, sementara, informasi tentang ke’adilannya dikesampingkan, kendati, jumlah penyacat jauh lebih kecil dari pada yang memujinya sebagai orang ‘adil. Alasannya, pencacat dapat menunjukkan kelemahan periwayat yang tidak kelihatan oleh orang-orang yang memuji tadi.[16]
2)      Pendapat kedua mengambil penilaian yang didukung oleh suara terbanyak. Bila pemujinya lebih banyak, maka periwayat itu dinilai ‘adil, sebaliknya, bila penyacatnya lebih banyak, maka periwayat tersebut dinilai cacat. Alasannya, suara terbanyak lebih mempunyai kekuatan. Pendapat kedua ini ditinggalkan oleh ulama pada umumnya.
3)      Pendapat ketiga mengambil/mendahulukan pujian atas celaan, kecuali apabila celaan disertai penjelasan tentang sebab-sebab cela’an (jarh). Hal ini sesuai dengan adab al-jarh wa al- ta’dil, bahwa untuk memuji seorang periwayat tidak perlu rincian, sementara, untuk menunjukkan cacat, rincian itu diperlukan.
4)      Pendapat keempat menangguhkan penilaian sampai ada bukti lain yang menguatkan apakah periwayat kontroversi itu termasuk orang ‘adil atau orang cacat.[17]

4. Tingkatan Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil
Para perawi yang meriwayatkan hadis bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi ke’adilan dan kedhabitan, dan hafalan mereka sebagaimana yang kami jelaskan sebelumnya. Diantara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil dan amanah, serta ada juga yang berdusta dalam hadis, maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan ulama menetapkan tingkatan jarh dan ta’dil , dan lafadz-lafadz yang menunjukkan pada setiap tingkatan, sehingga tingkatan ta’dil ada enam tingkatan dan tingkatan jarh ada enam juga.[18]

Tingkatan dan Contoh al-Jarh wa al- Ta’dil
No
Tingkatan Ta’dil
dan Contohnya
Tingkatan Jarh
dan Contohnya
1
Ta’dil dengan menggunakan ungkapan / kata pujian yang bersangatan (mubalaghah).
Contohnya: fulanun ilaihi al-muntaha fi at-tatsabbut (si Fulan itu paling tinggi keteguhannya), atau fulanun atsbata an-nas (si Fulan itu termasuk orang yang paling teguh).
Jarh dengan menggunakan ungkapan yang sangat buruk dan sangat memberatkan kepada orang yang di cacat karena kedusta’an-nya.
Contohnya:fulanun layuh tajju bihi (si Fulan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah), atau dla’if (lemah), lahumanakir (dia hadisnya munkar).
2
Ta’dil dengan mengulangi kata pujian, baik dengan kata sama atau mirip.
Contohnya:
tsiqatun tsiqah (orang yang sangat-sangat tsiqah), atau tsiqatun tsabitun (orangnya tsiqah dan teguh).
Jarh dengan menggunakan kata sedikit lebih lunak, juga berkisar pada dusta.
Contohnya: fulanun  layyinun al-hadis (si Fulan hadisnya lunak), atau fihi maqalun (di dalamnya diperbincangkan).
3
Ta’dil dengan menggunakan kata-kata pujian tanpa pengulangan.
Contohnya: tsiqatun (orangnya tsiqah), atau hujjatun (orangnya ahli argumen).
Jarh dengan menggunakan kata yang lebih lunak dari tadi, yang menunjukkan bahwa hadisnya ditolak oleh orang banyak, atau tidak ditulis hadisnya.
Contohnya:
fulanun layuktabu haditsuhu 
(si Fulan hadisnya tidak bisa dicatat), 
la tahillu riwayatu ‘anhu 
(tidak boleh meriwayatkan hadis darinya), 
dla’if Jiddan (amat lemah), 
wahn bi marratin  (orang yang sering melakukan persangkaan).
4
Ta’dil dengan menggunakan kata-kata yang menggambarkan ke-baikan seseorang, tetapi tidak melukiskan kecermatan, atau kekuatan hafalan seperti yang digunakan ta’dil ke-tiga.
Contohnya:
shaduqun (orangnya jujur), atau yang sama kedudukannya dengan shaduq, atau la ba’sa (orangnya tidak punya masalah ­–cacat-).
Jarh dengan menggunakan kata yang lebih lunak lagi.
Contohnya:
fulanun muhtammun bi al-kadzib (si Fulan orang yang dituduh berbuat dusta), atau muthammun bi al-wadl’I (orang yang dituduh berbuat palsu), atau yasriqu al-hadis (yang mencuri hadis), atausaqithun (gugur), atau matruk (ditinggalkan), atau laisa bi tsiqatin (tidaktsiqah).
5
 Ta’dil dengan menggunakan kata yang tidak menunjukkan adanya cela’an.
Contohnya:
fu fulanun syaikhun (si Fulan itu seorang syekh/guru), atau ruwiya ‘anhu an-nas (manusia meriwayatkan dirinya)
Jarh dengan menggunakan kata yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsuan hadis.
Contohnya:kadzdzab (pendusta),atau daj-jal,atau wadla’(pemalsu), atau yukadzdzibu (didustakan), atau yadla’u  (pembuat hadis palsu).
6
Ta’dil dengan menggunakan kata agak dekat pada celaan (jarh).
Contohnya:
fulanun shalih al-hadis (si Fulan orang yang hadisnya shalih), yuktabu hadistuhu (orang yang Hadisnya dicatat).
Jarh dengan menggunakan kata-kata yang menggunakan cacat ringan.
Contohnya:
fulanun akdzabu an-nas (si Fulan itu orang yang paling pendusta), ilaihi al-muntaha fi al-kadzbi (dia orang yang menjadi pangkalnya dusta), 
hawa ruknu al-kadzbi (dia orang yang menjadi penopang dusta)[19]

Hukum tingkatan-tingkatan al-Jarh dan al-Ta’dil
adalah sebagai berikut:
No
Hukum Tingkatan Ta’dil
Hukum Tingkatan Jarh
1
Untuk tingkat pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan hujjah terhadap hadis mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja, dan walaupun orang pada tingkatan kedua lebih rendah dari tingkatan pertama
2
Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadis mereka boleh ditulis, dan diuji kedhabithan mereka dengan membandingkan hadis mereka dengan hadis-hadis para tsiqah yang dhabith. Jika sesuai dengan hadis mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Jadi jika tidak sesuai maka ditolak, meskipun dia dari tingkatan kelima yang lebih rendah dari pada tingkatan keempat.
Sedangkan empat tingkataan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak boleh dianggap sama sekali.[20]
3
Sedangkan tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadis mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja bukan untuk pengujian, karena mereka tidakdhabith.
Dan ta’dil boleh diterima tanpa menyebutkan alasan dan sebabnya menurut pendapat yang shahih dan masyhur, karena sebabnya banyak sehingga sulit menyebutkannya. 
Sedangkan jarh tidak boleh diterima kecuali dengan alasannya, karena hal itu terjadi disebabkan satu masalah dan tidak sulit menyebutkannya. Dan karena setiap berbeda dalam sebab-sebab jarhnya. Ulama yang menjarh seorang perawi karena berdasarkan pada apa yang diyakininya sebagai jarh, belum tentu dapat dijadikan alasan bagi orang lain. Oleh karenanya harus dijelaskan sebabnya untuk dapat dilihat apakah itu benar  suatu cacat atau bukan. 


PENUTUP
Dalam upaya memelihara keautentikan hadis sebagai sumber kedua dari ajaran Islam, maka para ulama terus berusaha dalam menghimpun hadis-hadis Nabi SAW. Dengan cara menilai para periwayat secara jarh atau ta’dil.
       Ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan suatu ilmu untuk menyeleksi para periwayat hadis, apakah ia cacat atau adil sehingga hadis yang diriwayatkannya itu dapat diterima atau ditolak.
       Melalui syarat-syarat al-jarh wa at-ta’dil, lafal-lafal dan kaidah-kaidah tertentu, para ulama hadis menilai para periwayat dari segi jarh (cacat) dan ta’dil (bersih)nya.

















DAFTAR PUSTAKA
Al-Khathib, Ajjaj, Ushul Al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalahuhu,  Beirut: Darul Fikr, 1989
Al-Qaththan, Manna’, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005
Almanar, Abduh, Studi Ilmu Hadis, Jakarta: gaung Persada Press, 2011
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999
Assina’i, Musthafa , Al Hadits Sebagai Sumber Hukum, Bandung: Diponegoro, 1979
Ismail, Syuhudi,  Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Izzan, Ahmad dan Nur, Saifuddin, Ulumul Hadis, Bandung: Tafakur, 2011
Zuhri, Muh., Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis,  Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003





[1] M. Syuhdi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 66
[2] Abduh Almanar, Studi Ilmu Hadis, (Jakarta: gaung Persada Press, 2011), hal. 110
[3] Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis,  (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 121
[4]  Abduh Almanar, Studi Ilmu Hadis, (Jakarta: gaung Persada Press, 2011), hal. 111
[5] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995),  hlm.52
[6] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1998),  hlm. 13
[7] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1998),  hlm. 116
[8] ,  Musthafa Assiba’i, Al-Hadits sebagai sumber Hukum, (Bandung: Diponegoro, 1979), hlm. 109
[9] Bid’ah, yakni melakukan tindakan tercela atau di luar ketentuan syariah.
[10] Mukhalafah, yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqqah.
[11] Ghalath, yakni banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadis. 
[12] Jahalat al-hal, yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap. 
[13] Da’wat al-inqitha’, yakni diduga penyandaran (sanad)-nya tidak bersambung.
[14] Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis,  (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 120

[15] Ahmad Izzan dan Saifuddin Nur, Ulumul Hadis, (Bandung: Tafakur, 2011), hlm. 125
[16] Ahmad Izzan dan Saifuddin Nur, Ulumul Hadis, (Bandung: Tafakur, 2011), hlm. 126
[17] Ahmad Izzan dan Saifuddin Nur, Ulumul Hadis, (Bandung: Tafakur, 2011), hlm. 127
[18] Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 88

[19] Dikutip dari karya ilmiah (skripsi) Etey Qomariyah, Analisis Metode Ilmu Jarh Watta’dil (Pendekatan Ontologi dan epistimologi).
[20] Dikutip dari karya ilmiah (skripsi) Etey Qomariyah, Analisis Metode Ilmu Jarh Watta’dil (Pendekatan Ontologi dan epistimologi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar