Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk tentunya memiliki segudang
rahasia yang terkandung didalamnya, baik yang sudah mulai terungkap maupun
segala hal yang masih diperdebatkan tentang penafsirannya. Tafsir Al-Qur’an
sebagai salah satu media untuk memudahkan umat dalam memahami Al-Qur’an masih
terus berkembang sesuai keadaan zaman. Sehingga dengan tafsir ini, satu persatu
rahasia dibalik kata-kata Al-Qur’an yang bisu dapat terungkap.
Salah satu metode penafsiran yang relatif baru dalam dunia
tafsir adalah penafsiran al-Qur’an
berdasarkan kronologi turun surat-suratnya. Metode ini diperkenalkan oleh
Muhammad ‘Izzah Darwazah, mufasir asal Palestina, melalui karya tafsirnya, Al-Tafsir al-Hadits: al-Suwar
Murattabah Hasba al-Nuzul. Bila
karya tafsir konvensional seperti Tafsir al-Thabari, Ibnu Katsir, atau yang
kontemporer seperti al-Tafsir al-Munir terikat dalam susunan surat al-Qur’an
dalam mushaf, maka kitab al-Tafsir al-Hadits karya
Darwazah ini tidak terikat susunan surat tersebut. Karya Tafsir ini justru
menjadikan urutan turun surat-surat al-Qur’an sebagai metode dan
karakteristik penafsirannya.
Corak penafsiran dengan mengguanakan metode asbab nuzul ini sempat
menjadi favorit bagi para orientalis pada pertengahan abad 19, tentu dengan
metode mereka sendiri. Dikalangan ilmuan muslim sebetulnya sudah ada sejak
tabi’in. Hal ini terbukti dengan banyaknya kitab asbabunnuzul yang dikarang
oleh para tabi’in saat itu. Untuk lebih jelasnya berikut penulis akan jelaskan
mengenai tafsi dengan menggunakan metode kronologi turunyya ayat karya izzat
darwazah.[1]
PEMBAHASAN
A. Biografi Izzat Darwazah
Muhammad Izzat Bin Abdul Hadi
Darwazah lahir di kota Neblus, salah satu kawasan terpadat di Palestina, pada
1887 M, dan wafat di Damaskus-Suriah pada 1984 M. Kakek-kakeknya berasal dari
kota Ajloûn, bagian timur Yordania, yang sudah berpindah ke kawasan Neblus
sekitar 3 abad sebelum kelahiran Darwazah. Tradisi berpindah-pindah tempat
(layaknya bangsa nomaden) sudah biasa dilakukan kabilah-kabilah Arab masa itu,
sebagaimana ditulisnya sendiri dalam Tarîkh al-Jinsi al-Araby (sejarah
ras Arab).[2]
Dalam hidupnya, Darwazah berhasil menulis
puluhan buku berjilid tebal dan menerjemah beberapa menuskrip berbahasa Turki
ke dalam bahasa Arab. Konsentrasi Darwazah diantaranya dalam tafsir dan ilmu
terkait, sejarah—meliputi; sejarah bangsa Arab, Arab Islam dan Yahudi- selain
sejarah modern tentang konflik Palestina-Israel.
Dalam dunia politik, Darwazah bukan sekedar
pengamat tapi praktisi. Layaknya tokoh-tokoh yang lahir di masa itu, ia tak mau
berpangku tangan menyaksikan bangsanya dijajah kaum Zionis. Ia terlibat dalam
beberapa gerakan pro kemerdekaan Palestina. Pada 1916 M misalnya, Darwazah
bergabung dengan “Gerakan Nasional Pemuda Arab” dan pada 1919 M, ia menjadi
salah seorang penggagas konferensi Arab Palestina. Pada 1932 M, Darwazah
berinisiatif mendirikan gerakan bersenjata “Pemuda Palestina”, termasuk dalam
barisan anggotanya; Seikh Izzuddin al-Qassâm, yang sampai saat ini masih
dicatat sebagai seorang martir Palestina yang namanya diabadikan sebagai nama
brigade bersenjata “al-Qassâm”, yang berafiliasi pada faksi Hamâs.
B. Karakterisitik Penafsiran Izzat Darwaza
1. Gambaran Umum
Izzat
Darwazah memulai tafsirnya dengan memberi pendahuluan sebelum menafsirkan ayat.
Setelah menulis ayat yang hendak ditafsirkan, Izzat Darwazah memberikan makna
pada tiap mufrodat yang hendak ditafsirkan. Pemberian makna tiap mufrodat ini
disusun seperti menulis footnote dalam makalah. Setelah itu, dilanjutkan
memberi penjelasan terhadap ayat tersebut, baik berupa uslub, pendapat
mufassir lain, dan lebih banyak penafsiran beliau sendiri. Beliau juga
mencantumkan ayat al-quran dan hadits penjelas untuk memperkuat argumen
penafsirannya. Di antara ayat-ayat itu diberikan tema berupa ta’liq-ta’liq yang
merupakan penjelasan ayat.
Tafsir
ini ditulis pada tahun 1380 H dan dicetak pertama kali di Kairo oleh Dar
Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah pada tahun 1381 H/ 1962 M. Tafsir ini terdiri
dari 12 juz dalam 6 jilid. Cetakan kedua ditangani oleh penerbit ‘Isa
al-Babiy al-Halabiy, dkk pada tahun 1383 H, dalam 12 jilid.[3]
Tafsir ini dimulai dari Surat al-Fatihah, kemudian Surat al-‘Alaq dan
seterusnya hingga Surat terakhir turun, Surat an-Nasr. Penyusunan ini
berdasarkan tartib nuzul al-Quran. Penyusunan ini sangat unik mengingat
hanya ada dua kitab tafsir yang disusun demikian, yaitu al-Tafsir al-Hadits
karya Izzat Darwazah dan Kitab Bayan al-Ma’ani karya Abdul Qadir
al-Malahuisy ali Ghazi al-Ma’ani`[4]
Ide
menulis tafsir yang komprehensif didapat Darwaza setelah keluar dari penjara di
Damaskus. Sebelumnya, ia juga menulis tiga karya tentang al-Quran ketika dalam
penjara di Damaskus. Keluar dari penjara tidak membuat Darwaza boleh kembali ke
Palestina karena Inggris menahannya. Ia kemudian diberangkatkan ke Turki dan
tinggal di sana. Kekayaan bahan pustaka di Turki inilah yang membuat Darwaza
bisa menyelesaikan draft awal tafsirnya. Setelah menyelesaikan draft awal
tersebut, ia menulis satu kitab lagi yang diberi judul Al-Quran al-Majid. Kitab
ini merupakan pengantar tafsirnya yang diberi judul al-Tafsir al-Hadits.[5]
2. Metodologi Penafsiran
Tafsir ini ditulis dengan metode bayani
dan tahlili. [6] Disebut
menggunakan metode bayani karena dalam tafsir ini dikaji dari aspek
kebahasaannya dan melihat peristiwa ketika ayat diturunkan (dirasah ma haula
al-Quran dan dirasah ma fi al-Quran). Adapun disebut tahlili, karena pada
tafsir ini seluruh ayat dalam al-Quran ditafsirkan, walaupun tidak sesuai
dengan tafsir kebanyakan yang ditulis berdasarkan urutan juz dalam al-Quran. Metode
tafsir dengan memperhatikan kronologis turunnya surat inilah yang menurut
Darwaza merupakan cara terbaik untuk menafsirkan al-Quran.
Dari cara ini pembaca diharapkan bisa
terlibat penuh dalam peristiwa-peristiwa dan kondisi pewahyuan. Pembaca diharapkan
bisa merasakan kearifan al-Quran dalam perubahan, penggantian, dan penghapusan
sejumlah ayat.[7] Ada 10
metode yang ditawarkan Darwazah dalam menafsirkan al-Quran, diantaranya: 1.
Mengklasifikasi ayat dalam beberapa tema, dengan mengacu pada korelasi kalimat,
sub-pembahasan, dan sisi-sisi integral ayat lainnya, 2. Menjelaskan
kalimat-kalimat dan istilah-istilah yang gharib dengan tidak
berlarut-larut dalam aspek lughawi, nahwu, dan balaghahnya, kecuali
jika itu penting untuk diungkapkan, 3. Membawa ayat ke dalam sejarah hidup
Nabi. Hal ini diperlukan untuk menggali al-maqashid al-quraniyyah ketika
ayat itu turun.[8]
Darwazah memberikan pengantar tafsirnya
dalam kitab Al-Quran al-Majid. Pengantar ini mengandung 4 bab, yaitu: 1.
Al-Quran: uslub, wahyu, dan atsarnya, 2. Kompilasi dan
susunan al-Quran dalam mushaf, 3. Metodologi dalam memahami al-Quran dan
Tafsirnya, 4. Komentar-komentar terhadap karya mufassir dan
metodologinya.
Pada bab pertama, diungkapkan hubungan
erat al-Quran dengan sejarah kenabian dan kondisi Arab pra islam. Darwazah
menegaskan bahwa al-Quran merefleksikan biografi Nabi dalam dua hal; hubungan
Nabi dengan wahyu sebagai penerima wahyu dan Hubungan Nabi dengan manusia dalam
seruannya menyembah Allah yang Maha Esa. Selanjutnya, Darwaza membicarakan
pewahyuan al-Quran. Ia menegaskan, bahwa hakikat wahyu berkaitan intim dengan
rahasia kenabian. Darwaza mengutip al-Quran yang menyatakan bahwa wahyu
diturunkan ke dalam hati Nabi.[9]
Ia mengabaikan banyak hadits Nabi yang menjelaskan pengalaman Nabi menerima
wahyu secara fisik, kecuali satu hal, Nabi pernah melihat wujud malaikat dalam
wujud manusia yang berkomunikasi dengannya. Ia kemudian menfasirkan bahwa
penglihatan Nabi pada Malaikat sebagai salah satu bentuk persepsi mental.[10]
Bab kedua membahas tentang kompilasi dan
penyusunan al-Quran. Dalam hal ini, terdapat tiga pokok permasalahan:
1. Nabi wafat dan al-Quran belum terkumpul
dalam satu mushaf. Kompilasi dan penyusunan dilakukan setelah Nabi wafat.
2. Mushaf para sahabat berbeda-beda, bukan
hanya pada susunannya, tetapi juga pada jumlah ayat dan suratnya.
3. Terlepas dari kedua hal di atas,
beberapa riwayat mengatakan bahwa al-Quran sudah disusun dan sudah ditentukan tartib
surat dan ayatnya sesuai dengan perintah Nabi.[11]
Darwaza menghindari
penisbatan kompilasi al-Quran kepada Nabi. Hal ini dikarenakan adanya teori nasakh.
Pernyataan Darwaza dan kesimpulannya adalah ia tidak dapat menjamin bahwa
mushaf tersebut, telah mencakup semua wahyu yang diturunkan kepada Nabi.[12]
Argumentasinya didasarkan pada ayat al-Quran sendiri:
1. Al-Baqarah: 106
مَا نَنْسَخْ
مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ
تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Ayat yang
Kami naskh (hapus) atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan
yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu?
2. An-Nahl: 101
وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ
قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْلَمُونَ
Dan apabila
Kami mengganti suatu ayat dengan ayat yang lain, padahal Allah lebih mengetahui
apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) hanya
mengada-ada saja.” Sebenarnya kebanyakan mereka tidak mengetahui.
- Contoh
Penafsiran Darwaza dalam al-Tafsir al-Hadits [13]
Berikut
akan dipaparkan contoh penafsiran Darwaza dalam al-Tafsir al-Hadits karya
Muhammad Izzat Darwaza:
KESIMPULAN
Dilihat dari empat metode
penafsiran yang dikenal umum, yaitu metode Tahlili,ijmaliy, muqaran, maudhui, maka
metode penafsiran Darwazah dalam al-Tafsir al-Hadits ini, bukan salah satu dari empat metode tersebut.
Metode penafsirannya tergolong ‘mazhab baru’ dalam penafsiran karena menjadikan
susunan surat al-Quran berdasarkan turunnya sebagai pedoman dalam penafsiran.
Daftar Pustaka
Al-Wahidi, Asbab al-Nuzûl, Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, Beirut, 1991,
Darwazah,
Muhammad ‘Izzat. Al-Tafsir al-Hadits. Kairo: Dar Ihya al-Kutub
al-‘Arabiyyah. Jilid 2. Cetakan 2. 2000
En.
Wikipedia.org/wiki/izzat_darwazah
_________, Tadwin
al-Quran al-Majid. Dar al-Syiar. tt. Cetakan 1. 2004
Iyazi,
Muhammad ‘Ali. Al-Mufassirun: Hayatuhum wa Manhajuhum. Iran: Kementerian
Kebudayaan dan Pendidikan Islam. 1977
Saenong,
Faried F, dkk. Jurnal Studi al-Quran. Vol. 1 No. 1. Januari 2006
[3] Muhammad Ali ‘Iyazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, (Iran:
Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Islam, 1977), h. 452. Di antara penerbit
tentunya terjadi perbedaan jumlah jilid dan konten kitabnya
[4]Lihat fihris dalam Muhammad Ali ‘Iyazi, Al-Mufassirun
Hayatuhum wa Manhajuhum, (Iran: Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Islam,
1977), h. 837
[5] Ismail K. Poonawala, Faried F. Saenong (Penj.), “Hermeneutika
Al-Quran”; Mengenal al-Tafsir al-Hadits Karya ‘Izzat Darwazah, Jurnal studi
Al-Quran Vol. 1 no 1, Januari 2006, h. 126-128
[6]Muhammad Ali ‘Iyazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, (Iran:
Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Islam, 1977), h. 454
[7] Ismail K. Poonawala, Faried F. Saenong (Penj.), “Hermeneutika
Al-Quran”; Mengenal al-Tafsir al-Hadits Karya ‘Izzat Darwazah, Jurnal studi
Al-Quran Vol. 1 no 1, Januari 2006, h. 130-131
[8] Lebih lanjut bisa dilihat dalam Muhammad ‘Izzat Darwazah, Tadwin
al-Quran al-Majid, (Dar al-Syi’ar, 2004, tt), cet.1, h. 192-193
[9] QS. Asy-Syu’ara`: 192-195 dan Al-Najm: 11
[10] Ismail K. Poonawala, Faried F. Saenong (Penj.), “Hermeneutika
Al-Quran”; Mengenal al-Tafsir al-Hadits Karya ‘Izzat Darwazah, Jurnal studi
Al-Quran Vol. 1 no 1, Januari 2006, h. 128-129
[11] Lebih lanjut dapat dilihat dalam Muhammad ‘Izzat Darwazah, Tadwin
al-Quran al-Majid, (Dar al-Syi’ar, 2004, tt), cet.1, h.36-49. Disitu
dijelaskan adanya banyak riwayat, antara lain ditemukan adanya dua surat yang
dihapus (mansukh), yaitu surat al-Hafd dan al-Khal’ yang terdapat dalam
mushaf Ubay bin Ka’b, dan diriwayatkan pula ada dalam mushaf salah satu sahabat
tidak terdapat surat mu’awwidzatain, dan dikatakan dua surat itu bukan
bagian dari al-Quran
[12] Ismail K. Poonawala, Faried F. Saenong (Penj.), “Hermeneutika
Al-Quran”; Mengenal al-Tafsir al-Hadits Karya ‘Izzat Darwazah, Jurnal studi
Al-Quran Vol. 1 no 1, Januari 2006, h. 129-130
[13] Contoh penafsiran pada bab ini diambil dalam Muhammad Izzat
Darwazah, Al-Tafsir al-Hadits, (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah,
2000), jilid 7, cet. 2, h. 195-197
Tidak ada komentar:
Posting Komentar