15 April, 2016

CORAK TAFSIR IZZAH DARWAZAH








PENDAHULUAN

Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk tentunya memiliki segudang rahasia yang terkandung didalamnya, baik yang sudah mulai terungkap maupun segala hal yang masih diperdebatkan tentang penafsirannya. Tafsir Al-Qur’an sebagai salah satu media untuk memudahkan umat dalam memahami Al-Qur’an masih terus berkembang sesuai keadaan zaman. Sehingga dengan tafsir ini, satu persatu rahasia dibalik kata-kata Al-Qur’an yang bisu dapat terungkap.
Salah satu metode penafsiran yang relatif baru dalam dunia tafsir  adalah penafsiran al-Qur’an berdasarkan kronologi turun surat-suratnya. Metode ini diperkenalkan oleh Muhammad ‘Izzah Darwazah, mufasir asal Palestina, melalui karya tafsirnya, Al-Tafsir al-Hadits: al-Suwar Murattabah Hasba al-Nuzul. Bila karya tafsir konvensional seperti Tafsir al-Thabari, Ibnu Katsir, atau yang kontemporer seperti al-Tafsir al-Munir terikat dalam susunan surat al-Qur’an dalam mushaf, maka kitab al-Tafsir al-Hadits karya Darwazah ini tidak terikat susunan surat tersebut. Karya Tafsir ini justru menjadikan urutan turun surat-surat al-Qur’an sebagai metode dan  karakteristik penafsirannya.
            Corak penafsiran dengan mengguanakan metode asbab nuzul ini sempat menjadi favorit bagi para orientalis pada pertengahan abad 19, tentu dengan metode mereka sendiri. Dikalangan ilmuan muslim sebetulnya sudah ada sejak tabi’in. Hal ini terbukti dengan banyaknya kitab asbabunnuzul yang dikarang oleh para tabi’in saat itu. Untuk lebih jelasnya berikut penulis akan jelaskan mengenai tafsi dengan menggunakan metode kronologi turunyya ayat karya izzat darwazah.[1]







PEMBAHASAN

A.    Biografi Izzat Darwazah
Muhammad Izzat Bin Abdul Hadi Darwazah lahir di kota Neblus, salah satu kawasan terpadat di Palestina, pada 1887 M, dan wafat di Damaskus-Suriah pada 1984 M. Kakek-kakeknya berasal dari kota Ajloûn, bagian timur Yordania, yang sudah berpindah ke kawasan Neblus sekitar 3 abad sebelum kelahiran Darwazah. Tradisi berpindah-pindah tempat (layaknya bangsa nomaden) sudah biasa dilakukan kabilah-kabilah Arab masa itu, sebagaimana ditulisnya sendiri dalam Tarîkh al-Jinsi al-Araby (sejarah ras Arab).[2]
Dalam hidupnya, Darwazah berhasil menulis puluhan buku berjilid tebal dan menerjemah beberapa menuskrip berbahasa Turki ke dalam bahasa Arab. Konsentrasi Darwazah diantaranya dalam tafsir dan ilmu terkait, sejarah—meliputi; sejarah bangsa Arab, Arab Islam dan Yahudi- selain sejarah modern tentang konflik Palestina-Israel.
Dalam dunia politik, Darwazah bukan sekedar pengamat tapi praktisi. Layaknya tokoh-tokoh yang lahir di masa itu, ia tak mau berpangku tangan menyaksikan bangsanya dijajah kaum Zionis. Ia terlibat dalam beberapa gerakan pro kemerdekaan Palestina. Pada 1916 M misalnya, Darwazah bergabung dengan “Gerakan Nasional Pemuda Arab” dan pada 1919 M, ia menjadi salah seorang penggagas konferensi Arab Palestina. Pada 1932 M, Darwazah berinisiatif mendirikan gerakan bersenjata “Pemuda Palestina”, termasuk dalam barisan anggotanya; Seikh Izzuddin al-Qassâm, yang sampai saat ini masih dicatat sebagai seorang martir Palestina yang namanya diabadikan sebagai nama brigade bersenjata “al-Qassâm”, yang berafiliasi pada faksi Hamâs.

B.   Karakterisitik Penafsiran Izzat Darwaza
1.      Gambaran Umum
Izzat Darwazah memulai tafsirnya dengan memberi pendahuluan sebelum menafsirkan ayat. Setelah menulis ayat yang hendak ditafsirkan, Izzat Darwazah memberikan makna pada tiap mufrodat yang hendak ditafsirkan. Pemberian makna tiap mufrodat ini disusun seperti menulis footnote dalam makalah. Setelah itu, dilanjutkan memberi penjelasan terhadap ayat tersebut, baik berupa uslub, pendapat mufassir lain, dan lebih banyak penafsiran beliau sendiri. Beliau juga mencantumkan ayat al-quran dan hadits penjelas untuk memperkuat argumen penafsirannya. Di antara ayat-ayat itu diberikan tema berupa ta’liq-ta’liq yang merupakan penjelasan ayat.
Tafsir ini ditulis pada tahun 1380 H dan dicetak pertama kali di Kairo oleh Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah pada tahun 1381 H/ 1962 M. Tafsir ini terdiri dari 12 juz dalam 6 jilid. Cetakan kedua ditangani oleh penerbit ‘Isa al-Babiy al-Halabiy, dkk pada tahun 1383 H, dalam 12 jilid.[3] Tafsir ini dimulai dari Surat al-Fatihah, kemudian Surat al-‘Alaq dan seterusnya hingga Surat terakhir turun, Surat an-Nasr. Penyusunan ini berdasarkan tartib nuzul al-Quran. Penyusunan ini sangat unik mengingat hanya ada dua kitab tafsir yang disusun demikian, yaitu al-Tafsir al-Hadits karya Izzat Darwazah dan Kitab Bayan al-Ma’ani karya Abdul Qadir al-Malahuisy ali Ghazi al-Ma’ani`[4]
Ide menulis tafsir yang komprehensif didapat Darwaza setelah keluar dari penjara di Damaskus. Sebelumnya, ia juga menulis tiga karya tentang al-Quran ketika dalam penjara di Damaskus. Keluar dari penjara tidak membuat Darwaza boleh kembali ke Palestina karena Inggris menahannya. Ia kemudian diberangkatkan ke Turki dan tinggal di sana. Kekayaan bahan pustaka di Turki inilah yang membuat Darwaza bisa menyelesaikan draft awal tafsirnya. Setelah menyelesaikan draft awal tersebut, ia menulis satu kitab lagi yang diberi judul Al-Quran al-Majid. Kitab ini merupakan pengantar tafsirnya yang diberi judul al-Tafsir al-Hadits.[5]
2.      Metodologi Penafsiran
Tafsir ini ditulis dengan metode bayani dan tahlili. [6] Disebut menggunakan metode bayani karena dalam tafsir ini dikaji dari aspek kebahasaannya dan melihat peristiwa ketika ayat diturunkan (dirasah ma haula al-Quran dan dirasah ma fi al-Quran).  Adapun disebut tahlili, karena pada tafsir ini seluruh ayat dalam al-Quran ditafsirkan, walaupun tidak sesuai dengan tafsir kebanyakan yang ditulis berdasarkan urutan juz dalam al-Quran. Metode tafsir dengan memperhatikan kronologis turunnya surat inilah yang menurut Darwaza merupakan cara terbaik untuk menafsirkan al-Quran.
Dari cara ini pembaca diharapkan bisa terlibat penuh dalam peristiwa-peristiwa dan kondisi pewahyuan. Pembaca diharapkan bisa merasakan kearifan al-Quran dalam perubahan, penggantian, dan penghapusan sejumlah ayat.[7] Ada 10 metode yang ditawarkan Darwazah dalam menafsirkan al-Quran, diantaranya: 1. Mengklasifikasi ayat dalam beberapa tema, dengan mengacu pada korelasi kalimat, sub-pembahasan, dan sisi-sisi integral ayat lainnya, 2. Menjelaskan kalimat-kalimat dan istilah-istilah yang gharib dengan tidak berlarut-larut dalam aspek lughawi, nahwu, dan ­balaghahnya, kecuali jika itu penting untuk diungkapkan, 3. Membawa ayat ke dalam sejarah hidup Nabi. Hal ini diperlukan untuk menggali al-maqashid al-quraniyyah ketika ayat itu turun.[8]
Darwazah memberikan pengantar tafsirnya dalam kitab Al-Quran al-Majid. Pengantar ini mengandung 4 bab, yaitu: 1. Al-Quran: uslub, wahyu, dan atsarnya, 2. Kompilasi dan susunan al-Quran dalam mushaf, 3. Metodologi dalam memahami al-Quran dan Tafsirnya, 4. Komentar-komentar terhadap karya mufassir dan metodologinya.
Pada bab pertama, diungkapkan hubungan erat al-Quran dengan sejarah kenabian dan kondisi Arab pra islam. Darwazah menegaskan bahwa al-Quran merefleksikan biografi Nabi dalam dua hal; hubungan Nabi dengan wahyu sebagai penerima wahyu dan Hubungan Nabi dengan manusia dalam seruannya menyembah Allah yang Maha Esa. Selanjutnya, Darwaza membicarakan pewahyuan al-Quran. Ia menegaskan, bahwa hakikat wahyu berkaitan intim dengan rahasia kenabian. Darwaza mengutip al-Quran yang menyatakan bahwa wahyu diturunkan ke dalam hati Nabi.[9] Ia mengabaikan banyak hadits Nabi yang menjelaskan pengalaman Nabi menerima wahyu secara fisik, kecuali satu hal, Nabi pernah melihat wujud malaikat dalam wujud manusia yang berkomunikasi dengannya. Ia kemudian menfasirkan bahwa penglihatan Nabi pada Malaikat sebagai salah satu bentuk persepsi mental.[10]
Bab kedua membahas tentang kompilasi dan penyusunan al-Quran. Dalam hal ini, terdapat tiga pokok permasalahan:
1.      Nabi wafat dan al-Quran belum terkumpul dalam satu mushaf. Kompilasi dan penyusunan dilakukan setelah Nabi wafat.
2.      Mushaf para sahabat berbeda-beda, bukan hanya pada susunannya, tetapi juga pada jumlah ayat dan suratnya.
3.      Terlepas dari kedua hal di atas, beberapa riwayat mengatakan bahwa al-Quran sudah disusun dan sudah ditentukan tartib surat dan ayatnya sesuai dengan perintah Nabi.[11]
Darwaza menghindari penisbatan kompilasi al-Quran kepada Nabi. Hal ini dikarenakan adanya teori nasakh. Pernyataan Darwaza dan kesimpulannya adalah ia tidak dapat menjamin bahwa mushaf tersebut, telah mencakup semua wahyu yang diturunkan kepada Nabi.[12] Argumentasinya didasarkan pada ayat al-Quran sendiri:
1.      Al-Baqarah: 106
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Ayat yang Kami naskh (hapus) atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?
2.      An-Nahl: 101
وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْلَمُونَ
Dan apabila Kami mengganti suatu ayat dengan ayat yang lain, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) hanya mengada-ada saja.” Sebenarnya kebanyakan mereka tidak mengetahui.



  1. Contoh Penafsiran Darwaza dalam al-Tafsir al-Hadits [13]
            Berikut akan dipaparkan contoh penafsiran Darwaza dalam al-Tafsir al-Hadits karya Muhammad Izzat Darwaza:
KESIMPULAN
Dilihat dari empat metode penafsiran yang dikenal umum, yaitu metode Tahlili,ijmaliy, muqaran, maudhui, maka metode penafsiran Darwazah dalam al-Tafsir al-Hadits ini,  bukan salah satu dari empat metode tersebut. Metode penafsirannya tergolong ‘mazhab baru’ dalam penafsiran karena menjadikan susunan surat al-Quran berdasarkan turunnya sebagai pedoman dalam penafsiran.




Daftar Pustaka
Al-Wahidi,  Asbab al-Nuzûl, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1991,
Darwazah, Muhammad ‘Izzat. Al-Tafsir al-Hadits. Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah. Jilid 2. Cetakan 2. 2000
En. Wikipedia.org/wiki/izzat_darwazah
_________, Tadwin al-Quran al-Majid. Dar al-Syiar. tt. Cetakan  1. 2004
Iyazi, Muhammad ‘Ali. Al-Mufassirun: Hayatuhum wa Manhajuhum. Iran: Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Islam. 1977
Saenong, Faried F, dkk. Jurnal Studi al-Quran. Vol. 1 No. 1. Januari 2006




[1] Al-Wahidi,  Asbab al-Nuzûl, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1991, cet. I

[2]En. Wikipedia.org/wiki/izzat_darwazah
[3] Muhammad Ali ‘Iyazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, (Iran: Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Islam, 1977), h. 452. Di antara penerbit tentunya terjadi perbedaan jumlah jilid dan konten kitabnya
[4]Lihat fihris dalam Muhammad Ali ‘Iyazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, (Iran: Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Islam, 1977), h. 837
[5] Ismail K. Poonawala, Faried F. Saenong (Penj.), “Hermeneutika Al-Quran”; Mengenal al-Tafsir al-Hadits Karya ‘Izzat Darwazah, Jurnal studi Al-Quran Vol. 1 no 1, Januari 2006, h. 126-128
[6]Muhammad Ali ‘Iyazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, (Iran: Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Islam, 1977), h. 454
[7] Ismail K. Poonawala, Faried F. Saenong (Penj.), “Hermeneutika Al-Quran”; Mengenal al-Tafsir al-Hadits Karya ‘Izzat Darwazah, Jurnal studi Al-Quran Vol. 1 no 1, Januari 2006, h. 130-131
[8] Lebih lanjut bisa dilihat dalam Muhammad ‘Izzat Darwazah, Tadwin al-Quran al-Majid, (Dar al-Syi’ar, 2004, tt), cet.1, h. 192-193
[9] QS. Asy-Syu’ara`: 192-195 dan Al-Najm: 11
[10] Ismail K. Poonawala, Faried F. Saenong (Penj.), “Hermeneutika Al-Quran”; Mengenal al-Tafsir al-Hadits Karya ‘Izzat Darwazah, Jurnal studi Al-Quran Vol. 1 no 1, Januari 2006, h. 128-129
[11] Lebih lanjut dapat dilihat dalam Muhammad ‘Izzat Darwazah, Tadwin al-Quran al-Majid, (Dar al-Syi’ar, 2004, tt), cet.1, h.36-49. Disitu dijelaskan adanya banyak riwayat, antara lain ditemukan adanya dua surat yang dihapus (mansukh), yaitu surat al-Hafd dan al-Khal’ yang terdapat dalam mushaf Ubay bin Ka’b, dan diriwayatkan pula ada dalam mushaf salah satu sahabat tidak terdapat surat mu’awwidzatain, dan dikatakan dua surat itu bukan bagian dari al-Quran
[12] Ismail K. Poonawala, Faried F. Saenong (Penj.), “Hermeneutika Al-Quran”; Mengenal al-Tafsir al-Hadits Karya ‘Izzat Darwazah, Jurnal studi Al-Quran Vol. 1 no 1, Januari 2006, h. 129-130
[13] Contoh penafsiran pada bab ini diambil dalam Muhammad Izzat Darwazah, Al-Tafsir al-Hadits, (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, 2000), jilid 7, cet. 2, h. 195-197

Tidak ada komentar:

Posting Komentar