20 April, 2016

TAFSIR NUSANTARA "MARAH LABID"

REVISI MAKALAH

TAFSIR MARAH LABID KARYA AL-BANTANI
DANI MUHAMAD RAMDANI
USHULUDIN IV
PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN JAKARTA





PENDAHULUAN


Al-Qur’an merupakan kitab istimewa yang diberikan Allah kepada manusia. Sampai saat ini tidak sedikit ulama-ulama yang berusaha keras untuk menfsirkan dan memberikan pemahamannya terhadap kitab ini. Sebagai kitab suci dan pedoman hidup bagi umat manusia, Al Qur'an mempunyai peran penting dalam kehidupan setiap individu yang senantiasa ingin berjalan pada jalan benar demi menggapai keridhoan Allah SWT. Maka pemahaman isi Al Qur'an menjadi satu kepentingan yang tidak bisa lagi dielakkan. Atas dasar kepentingan tersebut, munculah berbagai macam produk tafsir yang kerap berbeda satu dan yang lainnya.
Perbedaan penafsiran yang terjadi seharusnya menjadi satu tolak ukur untuk menjadikan wawasan yang lebih luas, karena tak jarang perbedaan itu dapat menimbulkan pemahaman yang relative berbeda. Maka dari itu, kita harus senantiasa berusaha untuk mengetahui berbagai metode yang dipakai dan latar belakang dari setiap mufassir karena latar belakang dari para mufassir itu sendiri dapat menimbulkan perbedaan yang tidak bisa dipungkiri lagi.
Indonesia adalah salah satu negara yang para ulamanya juga memberikan sumbangan pemikiran kepada dunia melewati penafsiran-penafsiran mereka terhadap al-Qur’an. Kami baru menyadari bahwa ada banyak sekali kitab tafsir yang telah ditulis oleh para ulama’ Indonesia dan kami tentunya sangat bangga akan hal itu . Salah satu kitab tafsir itu adalah kitab yang bernama Marah Labid atau juga dikenal dengan tafsir al-Munir yang ditulis oleh seorang ulama agung yang berasal dari desa Tanara, Banten. Kitab tafsir inilah yang akan kami coba paparkan dalam makalah ini. Walaupun analisis yang kami lakukan untuk mengkaji kitab karya Syeikh Nawawi al-Bantani masih sangat dangkal dikarenakan kelemahan bahasa Arab kami, namun hal ini tetap tidak meredam semangat kami untuk mengkaji kitab tersebut.

Jakarta, 14 Februari 2015


PEMBAHASAN
TAFSIR MARAH LABID (TAFSIR MUNIR)
Sejarah mencatat bahwa disiplin ilmu di Indonesia sudah terbangun cukup lama. Ini dapat kita lihat dari beberapa intelektual muslim yang sudah berkomunikasi secara sinergis dengan para ulama timur tengah sehingga banyak tokoh-tokoh Islam Nusantara juga terkenal di dunia arab. Sejak zaman kolonial, tradisi belajar ke Timur Tengah telah kuat. Ada sebagian umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji sekaligus belajar agama di tanah suci itu selama bertahun-tahun. Bahkan ada yang menjadi guru dan wafat di sana. Tradisi inilah yang membentuk jaringan intelektual Nusantara dengan Timur Tengah menjadi kuat.
Namun disisi lain, proses belajar al-qur’an di Nusantara masih sangat minim dan tardisional, semuanya masih berkutat pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan keilmuan yang merujuk ke penjelasan lisan. seperti tauhid, fiqh, tasawuf, dan lain-lain, serta disajikan dalam bentuk amaliyah sehari-hari. Contoh populer adalah istilah molimo yang dikemukakan Sunan Ampel (w. 1478 M) yang berarti emoh main (tidak mau judi),  emoh ngombe (tidak mau minuman keras), emoh madat (tidak mau mengisap candu), emoh maling (tidak mau mencuri), danemoh madon (tidak mau berzina), yang merupakan tafsir dari surat al-Maidah 38, 39, 90, serta al-Isra’ 32. Lama kelamaan mulai muncul para ulama’ yang menulis karya tafsir dalam bentuk tertulis, baik dalam bentuk terjemah, maupun karya tafsir mandiri. Diantaranya adalah syaikh Nawawi albantani.[1]

A.     Biografi singkat Syaikh Nawawi Al-Bantani
Muhammad bin Umar al-Nawawi al-Bantani al-Jawi (1230 H/1813 M- 1314 H/1897 M) atau masyarakat  yang lebih mengenalnya dengan nama Syekh Nawawi al-Bantani adalah salahseorang ulama’ Melayu-Indonesia abad ke-19 yang paling masyhur dan menonjol. Dari namanya dapat diketahui bahwa ia berasal dari Banten. Ayahnya, Umar bin Arabi, adalah pejabat penghulu kecamatan di Tanara, Banten. Adapun ibunya, Khadijah, adalah seorang wanita religius yang juga warga Tanara. Sebelum  belajar kepada guru-guru ternama di Haramain. Nawawi al-Bantani bersama dua orang saudara kandungnya, Tamim dan Ahmad, telah membekali pengetahuan agama dengan belajar ilmu kalam, nahwu, tafsir,  dan fiqh dari dari ayah mereka sendiri  (seorang ulama’ masyhur di Banten pada saat itu), dan kemudian dari Raden Yusuf di Purwakarta, Karawang, Jawa Barat.[2]
Pada usia 15 tahun, al-Bantani berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan menetap di sana selama 3 tahun untuk belajar. Ia belajar pada Sayyid Ahmad bin Sayyid Abdurrahman al-Nawawi, Sayyid Ahmad Dimyati, dan Sayyid Zaini Dahlan. Sedangkan di Madinah, ia belajar pada Syekh M Khatib Sambas al-Hanbali. Selain itu, ia juga belajar pada guru dari Mesir, yaitu Yusuf Sumulaweni, Nahrawi, dan Abdul Hamid Dagastani. Pada tahun 1833 ia kembali ke Banten dan mengajar di Pesantren milik ayahnya. Namun pada tahun 1855 ia kembali lagi ke Mekkah serta hidup dan meniti karir keilmuan di Haramain hingga akhir hayatnya.
 Murid Nawawi selama di Hijaz tidak kurang dari 200 orang setiap tahunnya. Diantara murid Indonesia-nya adalah KH Hasyim Asy’ari, KHM Kholil Bangkalan,  KH Ilyas Serang Banten, dan Tubagus KH M. Asnawi Caringin, Jawa Barat. Mereka inilah yang pada gilirannya melanjutkan transmisi gagasan pengetahuan keislaman dari Timur Tengah ke wilayah Melayu-Indonesia.[3]
Banyak sekali kitab-kitab karya beliau yang tersebar luas bukan hanya ditanah arab, namun juga mencapai seluruh dunia. Namun demikian,  karyanya yang paling populer dikalangan pesantren di Indonesia adalah kitab ‘Uqud al-Lujain yang berbicara tentang hak-hak dan terutama kewajiban isteri. Kitab ini menjadi bacaan wajib bagi santri puteri di banyak pesantren.

B.     Metode Penafsiran Kitab Tafsir Marah Labid
Nama Tafsir Syekh Nawawi adalah “al-Munir li Ma’alim at-Tanzil” atau dalam judul lain “Marah Labid Likasyfi Ma’na Qur’an Majid”. Tafsirnya yang berhalaman 985 atau 987 beserta daftar isinya. Tafsir al-Munir terdiri dari 2 jilid, jilid pertama berjumlah 510 atau 511 halaman beserta daftar isinya dan jilid kedua berjumlah 475 atau 476 halaman beserta daftar isinya.
Albantani adalah ulama Nusantara yang menulis tafsir secara utuh, setelah sebelumnya Abdurrauf singkel hanya menulis tafsir dalam bentuk terjemahan. Penulisannya dilakukan di Mekkah dan selesai pada hari Rabu, 5 Rabi’ul Akhir 1305 H. Sebelumnya, naskahnya disodorkan pada ulama’ Makkah dan Madinah untuk diteliti, lalu naskahnya dicetak di negeri itu. Atas kecemerlangannya dalam menulis tafsir itu, oleh ulama’ Mesir, Nawawi diberi gelar Syeikh al-Hijaz (pemimpin ulama’ Hijaz).[4]
Albantani dalam pengantarnya mengatakan bahwa ia butuh waktu lama membangun keberanian untuk menulis tafsir ini sekalipun dorongan yang bertubi-tubi datang dari berbagai pihak. Ia khawatir terjerumus pada ancaman Nabi yang mengatakan “barang siapa berbicara tentang Al-Qur’an dengan ra’yunya, maka silahkan mengambil tempat di neraka”. Setelah berhasil membangun keberanian, Nawawi akhirnya memutuskan untuk menulis tafsir ini. Ia menyebutnya sebagai upaya meneladani para ulama’ salaf yang senantiasa  menulis dan membukukan pemikiran-pemikirannya.[5]
Kitab Al-Munir (Tafsir Marah Labiddimana kitab ini menjadi salah satu rujukan masyarakat. Tafsir ini tergolong masyhur, bahkan pada masa kemunculannya tafsir ini dikenal juga oleh ulama di negeri arab sendiri. Di Indonesia terutama di pesantren, tafsir ini tidak kalah masyhurnya dengan tafsir Jalalain. Metodologinya tahlili. Uraiannya sederhana. Tapi lebih panjang dan lebih banyak dibandingkan dengan tafsir Jalalain. Jika tafsir “Jalalain” hanya menjelaskan kata kata muradif, maka pada tafsir “Marah Labid” Syekh Nawawi akan menjelaskan maksud ayat tersebut secara sederhana. Tidak banyak mendiskusikan persoalan. Bahkan jika mengetengahkan pendapat beliau tidak menyebutkan dalil setiap pendapat. Pengarang cenderung untuk tidak menarjihkan diantara pendapat tersebut. Uraian bahasa, cukup mendominasi. Unsur balaghah juga banyak, begitu juga ilmu nahwu, shorof, Qira’at, Rasm Usmani, dan lain sebagainya. Beliau sengaja menyederhanakan tafsirnya, agar pembaca langsung memahami inti persoalan. Tanpa harus dibawa ke metode ijtihad dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dalam hal periwayatan, tafsir ini banyak menukil hadits, perkataan sahabat dan tabi’in tanpa sanad. Dilihat dari sudut ini tafsir ini kombinasi dari tafsir riwayah dan dirayah.
Tafsir al-munir ini dapat digolongkan sebagai salah satu tafsir dengan metode ijmali (global). Dikatakan ijmali karena dalam menafsirkan setiap ayat, Syeikh Nawawi menjelaskan setiap ayat dengan ringkas dan padat, sehingga mudah dipahami. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan masa Nabi  sampai tabi’in, terkadang pula diisi dengan uraian kebahasaan dan materi khusus lainnya. Para mufassir tidak seragam dalam mengoperasionalkan metode ini. Ada yang menguraikannya secara ringkas, ada pula yang menguraikannya secara rinci.

Penulisan ayat dalam tafsir ini tidak menggunakan nomor atau pun tanda akhir ayat. Adapun pemisah antar surat ditandai dengan penulisan basmalah,-- kecuali antar surat al-Anfal dan al-Tawbah--, disertai penjelasan tentang nama surat, kelompok Makkiyah/Madaniyah, dan jumlah ayat, kalimat, serta huruf. Pada surat-surat tertentu yang masih diperselisihkan Makkiyah/Madaniyah-nya, Nawawi selalu menuliskan “Makkiyah atau Madaniyah”,  seperti pada surat al-Fatihah. Pada surat-surat tertentu, dimana sebagian ayatnya termasuk kelompok yang berbeda, Nawawi juga memberikan penjelasan, sebagaimana pada surat al-Tawbah dimana dua ayat terakhirnya Makkiyah, sekalipun al-Tawbah termasuk kategori Madaniyah.[6]
Penulisan ayat tidak mesti  satu ayat langsung ditulis utuh, tetapi didasarkan pada kalimat yang hendak ditafsiri. Q.S. 23:1 adalah contoh  ayat yang langsung ditulis utuh dan  dirangkaikan dengan tafsirnya, yaitu  قد افلح المؤمنون   . Sedangkan contoh ayat yang tidak langsung ditulis utuh adalah Q.S. 5:3. Pada pertengahan ayatnya, ditulis  اليوم اكملت لكم دينكم kemudian dijelaskan tafsirnya, lalu dilanjutkan dengan rangkaian ayat berikutnya, yaitu واتممت عليكم نعمتي , dijelaskan tafsirnya, dan dilanjutkan dengan rangkaian ayat berikutnya, ورضيت لكم الاسلام دينا, kemudian dijelaskan tafsirnya.[7]
Kedua; pada ayat-ayat tertentu yang memiliki perbedaan qira’at, setelah penulisan ayat  dilanjutkan dengan menjelaskan adanya perbedaan qira’at sekaligus menisbatkan masing-masing bacaan kepada imamnya. Misalnya pada Q.S. 4:94, yaitu لا يستوى القعدون من المؤمنين غير اولى الضرر. Disebutkan bahwa Ibn Katsir, Abu Amr, Hamzah, dan Ashim membaca rafa’ pada lafadz ghair sebagai badal dari lafadz  qa’iduna, sementara Nafi’, Ibnu Amir, al-Kisa’i serta baqu al-qurra’ membaca nasab sebagai hal, sedangkan A’masy membacanya jar sebagai sifat dari lafadz mu’minin[8]
Ketiga; pada ayat yang memiliki sabab nuzul, sebelum dilakukan penafsiran, disebutkan dulu sabab nuzul ayat dimaksud, misalnya pada Q.S 2:189. Disebutkan bahwasanya ayat tersebut turun berkaitan dengan adanya sekelompok sahabat dari suku Kinanah dan Khuza’ah. Mereka memasuki rumah dari (pintu) belakang ketika dalam keadaan ihram sebagaimana biasa mereka lakukan pada masa jahiliyah, sehingga turunlah ayat وليس البر بان ثاءتوا البيوت من ظهورها .
Langkah-langkah Nawawi dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak berbeda dengan mufassir pada umumnya. Pertama; menafsirkan ayat dengan ayat. Misalnya, pada Q.S 6:82. Lafadz dzulm pada ayat tersebut ditafsirkan dengan syirk, sebagaimana penjelasan yang terdapat dalam Q.S. 31:13.
 Kedua; Menafsirkan ayat dengan hadits. Misalnya pada Q.S. 6:84 (وكذالك نجزى المحسنين  ). Nawawi menjelaskan pengertian  ihsan  berdasarkan hadits Nabi, yakni “beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, kalaupun engkau tidak melihatNya, maka sesungguhnya Ia melihatmu”. Namun demikian, dalam menyebutkan hadits, Nawawi tidak menyebutkan rangkaian sanadnya, serta tidak pula mengemukakan kualitas haditsnya.
Ketiga; menafsirkan ayat dengan  pendapat sahabat dan atau tabi’in. Misalnya Q.S. 2:226 tentang  sumpah ila’ (bersumpah untuk tidak menyetubuhi isterinya). Berdasarkan pendapat Ibnu Abbas, Nawawi menafsirkan ayat tersebut dengan “jika seseorang meng-ila’ isterinya, kemudian menarik sumpahnya sebelum empat bulan, maka ia boleh menyetubuhi isterinya kembali dengan disertai membayar kaffarat, tetapi bila telah mencapai masa empat bulan, maka otomatis jatuh talak satu.”[9] 
Keempat; menggunakan pendekatan ra’yu yang didasarkan pada analisis bahasa serta kaidah-kaidahnya. Secara umum, pendekatan inilah yang digunakan Nawawi dalam tafsirnya, sehingga tafsir ini lebih tepat disebut sebagai tafsir bi al-ra’yi  yang mahmud. Disebut mahmud karena ia mengkombinasikan kaidah bahasa dengan syari’at. Misalnya ketika menjelaskan makna al-Rahman pada Q.S. 1:3. Nawawi menafsirkannya dengan “Yang Maha Pengasih, baik kepada orang yang taat maupun yang tidak taat, yaitu memberi rizki di dunia ini”. Penjelasan ini sejalan dengan firman Allah dalam Q.S. 2:126. Demikian juga makna al-Rahim pada lanjutan ayat yang ditafsirkan dengan “Yang memberi rahmat dan memasukkan ke dalam sorga orang-orang mukmin”. Penjelasan ini sejalan dengan firman Allah dalam Q.S.33:43.

C.     Corak Penafsiran Tafsir Marah Labid
Mengenai corak yang digunakan oleh Syekh Nawawi adalah bahwa tafsir ini dikategorikan dalam corak riwayah/ mat’sur. Karena tafsir ini belum memenuhi persyaratan untuk dikaitkan menempuh corak bi rayi, atau dengan kata lain tafsir ini lebih banyak mengedepankan pendapat riwayat daripada ijtihad Albantani sendiri. Pernyataan ini dapat disimpulkan karena dalam permulaan pernyataan di dalam tafsirnya pada bab pembukaan, Imam Nawawi mengatakan bahwa ia takut menafsirkan al-Quran dengan tafsir pemikiran murninya (bil rayi) saja. Hal ini terbukti dalam praktisnya bahwa Imam Nawawi banyak mengutip hadis-hadis rasulullah saw, pendapat sahabat, tabiin, atau para tokoh yang dianggapnyamutabar dalam menjelaskan ayat tertentu. Hal ini diperkuat dengan disebutkannya nama beberapa sahabat dan tabi’in  seperti Abu Bakar, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, al-Dahak, dan Qatadah dalam menafsirkan ayat tertentu.[10]
Mengingat bahwa tafsir marah labid ini ditulis dalam bahasa Arab yang tidak lain berarti menggunakan bahasa asing. Penggunaan bahasa asing di sini memberikan nilai positif dan negatifnya. Nilai positif dan negatifnya yaitu bahwa Literatur-literatur tafsir al-Quran yang muncul dari tangan para muslim nusantara, dengan keragaman bahasa dan aksara yang digunakan, mencerminkan adanya “hirarki”, baik “hirarki tafsir” itu sendiri di tengah-tengah karya-karya tafsir lain, maupun “hirarki pembaca” yang menjadi sasarannya. Misalnya penggunaan bahasa Arab, seperti yang ditemuh oleh Imam Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid, dari segi sasaran –dengan memperimbangkan bahasa Arab- tafsir ini lebih mudah diakses oleh para peminat kajian al-Quran international, namun pada posisi yang lain, yakni dalam konteks Indonesia sendri karya tafsir ini tentu lebih bersifat elistis. Sebab, seperti kita tahu bahwa tidak semua muslim Indonesia mahir berbahasa Arab.
Meskipun tafsir ini bersifat umum dan menekankan masalah bahasa dan kaidah-kaidahnya, tetapi ada satu arah yang dituju oleh tafsir ini, yakni ingin memberikan penanaman keimanan yang kuat, baik kepada Allah maupun ajaran-ajaranNya.[11] Secara madzhabi, ia beraliran Sunni. Lebih spesifik lagi, dalam persoalan hukum ia lebih berwajah Syafi’iyah karena ia memang bermadzhab Syafi’i.
Ketika terjadi  khilaf dalam persoalan hukum tidak selalu disikapi Nawawi dengan menilai pendapat yang lebih kuat. Pada tempat-tempat tertentu, beliau hanya sekedar menunjukkan adanya khilafiyah diantara ulama’ madzhab, sementara pada tempat-tempat tertentu, beliau melakukan penilaian pendapat yang dinilainya lebih kuat.   Dalam persoalan hukum basmalah, misalnya. Nawawi hanya mengatakan bahwa ayat ketujuh adalah صراط الذين انعمت عليهم ….dst bagi yang berpendapat bahwa basmalahmerupakan bagian dari al-fatihah, sementara bagi ulama’ yang mengatakan bahwabasmalah bukan merupakan bagian dari al-fatihah, maka ayat ketujuh adalah غير المغضوب عليهم …dst .[12]
Namun demikian, pada bagian lain, ia memberikan penilaian terhadap pendapat yang dinilainya lebih kuat, misalnya ketika menafsirkan  Q.S. 5:6 tentang mengusap kepala pada waktu wudlu’. Secara tegas Nawawi mendukung pendapat Syafi’i yang menafsirkan ayat tersebut dengan “mengusap sebagian kepala”. Ia mengatakan bahwasanya ba’ pada lafadz bi ru’usikum mengandung makna fi’il, yaitu menempelkan (ilshaq), sehingga ayat tersebut memiliki arti “tempelkanlah usapan pada kepala kalian”. Sementara menempelkan usapan tidak harus seluruhnya. Ia memberi contoh kalimat, “saya mengusap tangan saya dengan sapu tangan”. Siapa pun akan memahami bahwasanya  pernyataan tersebut mengandung pengertian bahwasanya mengusap tangan dengan sebagian saja dari saputangan tersebut sudah cukup. Berbeda dengan kalimat “saya mengusap sapu tangan”.   Pernyataan “saya mengusap sapu tangan (tanpa bi/dengan)” harus diartikan mengusap sapu tangan secara  keseluruhan.[13]
Bagi dunia tafsir di Indonesia, tafsir ini menjadi lebih istimewa karena ia merupakan karya tafsir pertama yang ditulis secara utuh oleh putera Indonesia. Lewat karyanya tersebut Nawawi memberikan inspirasi yang teramat besar bagi putera bangsa lainnya untuk mengikuti jejaknya. Ia juga telah berjasa mendobrak kevakuman dalam dunia tafsir di Indonesia dimana selama dua abad pasca  Singkel tidak ada satu pun karya tafsir (lengkap 30 juz) yang dihasilkan putera Indonesia.


























KESIMPULAN

Tafsir Al-Munir adalah salah satu kitab tafsir kebanggaan Nusantara yang hadir pada abad ke 19 atau disebut juga dengan masa pra-modern. Tafsir al-Munir adalah kitab tafsir kedua setelah Turjuman al-Mustafid  yang menafsirkan al-Qur’an 30 juz secara lengkap. Pengarang tafsir ini bernama Nawawi al-Bantani yang mana telah merantau ke negara-negara Arab dan mengarungi lautan intelektual ke-islaman selama 30 tahun. Kitab tafsir ini ditulis dengan menggunakan bahasa Arab yang terdiri dari dua jilid.
Tafsir ini menggunakan metode ijmali (pembahasannya global), tahlili (yang tergambarkan melalui susunan tafsirnya yang berurutan dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nas). Tafsir ini lebih condong pada corak sufi karena dengan melihat bahwa sang penulis kitab seorang sufi dan pemimpin tarekat yang besar di nusantara, akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga coraknya itu corak fikih dan fikih kitab ini murni fiqih syafi’i. Kitab tafsir al-Munir juga dipeljari dipesantren-pesantren di Indonesia khususnya pulau Jawa. Ini membuktikan bahwa kitab ini diterima oleh masyarakat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
·         Abror, Indal Potret Kronologis Tafsir Indonesia( Jurnal Esensia, 2002)
·         Azra, Azyumardi, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol. 5 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, t.t.)
·         Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002)
·         Nawawi, Muhammad al-Jawi, Marah Labid Tafsir al-Nawawi, vol. 1 (Surabaya: Al-Hidayah, t.t.)
·         Amin, Samsul Munir Sayyid Ulama’ Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani.
·         Syafruddin, Didin,Ilmu Al-Qur’an sebagai Sumber Pemikiran” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol.4 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve)

REVISI MAKALAH
1.       Metodologi Tafsir Marah Labid
Pada dasarnya tafsir ini tidak jauh berbeda dari tafsir lain pada umumnya. Namun berikut penulis tampilkan metodologi yang digunakan Al-Bantani dalam penulisan tafsir Marah Labid ini.
Penulisan ayat tidak mesti  satu ayat langsung ditulis utuh, tetapi didasarkan pada kalimat yang hendak ditafsiri. Q.S. 23:1 adalah contoh  ayat yang langsung ditulis utuh dan  dirangkaikan dengan tafsirnya, yaitu  قد افلح المؤمنون   . Sedangkan contoh ayat yang tidak langsung ditulis utuh adalah Q.S. 5:3. Pada pertengahan ayatnya, ditulis  اليوم اكملت لكم دينكم kemudian dijelaskan tafsirnya lalu dilanjutkan dengan rangkaian ayat berikutnya, yaitu واتممت عليكم نعمتي , dijelaskan tafsirnya, dan dilanjutkan dengan rangkaian ayat berikutnya, ورضيت لكم الاسلام دينا, kemudian dijelaskan tafsirnya. 
Kedua; pada ayat-ayat tertentu yang memiliki perbedaan qira’at, setelah penulisan ayat  dilanjutkan dengan menjelaskan adanya perbedaan qira’at sekaligus menisbatkan masing-masing bacaan kepada imamnya. Misalnya pada Q.S. 4:94, yaitu لا يستوى القعدون من المؤمنين غير اولى الضرر. Disebutkan bahwa Ibn Katsir, Abu Amr, Hamzah, dan Ashim membaca rafa’ pada lafadz ghair sebagai badal dari lafadz  qa’iduna, sementara Nafi’, Ibnu Amir, al-Kisa’i serta baqu al-qurra’ membaca nasab sebagai hal, sedangkan A’masy membacanya jar sebagai sifat dari lafadz mu’minin
Ketiga; pada ayat yang memiliki sabab nuzul, sebelum dilakukan penafsiran, disebutkan dulu sabab nuzul ayat dimaksud, misalnya pada Q.S 2:189. Disebutkan bahwasanya ayat tersebut turun berkaitan dengan adanya sekelompok sahabat dari suku Kinanah dan Khuza’ah. Mereka memasuki rumah dari (pintu) belakang ketika dalam keadaan ihram sebagaimana biasa mereka lakukan pada masa jahiliyah, sehingga turunlah ayat وليس البر بان ثاءتوا البيوت من ظهورها 
Langkah-langkah Nawawi dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak berbeda dengan mufassir pada umumnya. Pertama; menafsirkan ayat dengan ayat. Misalnya, pada Q.S 6:82. Lafadz dzulm pada ayat tersebut ditafsirkan dengan syirk, sebagaimana penjelasan yang terdapat dalam Q.S. 31:13. Kedua; Menafsirkan ayat dengan hadits. Misalnya pada Q.S. 6:84 (وكذالك نجزى المحسنين  ). Nawawi menjelaskan pengertian  ihsan  berdasarkan hadits Nabi, yakni “beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, kalaupun engkau tidak melihatNya, maka sesungguhnya Ia melihatmu”. Namun demikian, dalam menyebutkan hadits, Nawawi tidak menyebutkan rangkaian sanadnya, serta tidak pula mengemukakan kualitas haditsnya.
Ketiga; menafsirkan ayat dengan  pendapat sahabat dan atau tabi’in. Misalnya Q.S. 2:226 tentang  sumpah ila’ (bersumpah untuk tidak menyetubuhi isterinya). Berdasarkan pendapat Ibnu Abbas, Nawawi menafsirkan ayat tersebut dengan “jika seseorang meng-ila’ isterinya, kemudian menarik sumpahnya sebelum empat bulan, maka ia boleh menyetubuhi isterinya kembali dengan disertai membayar kaffarat, tetapi bila telah mencapai masa empat bulan, maka otomatis jatuh talak satu.”  Terjadinya khilaf tidak selalu dikemukakan oleh Nawawi sebagaimana contoh di atas. Namun, pada tempat lain, adanya khilaf juga ditampilkan. Misalnya ketika menafsirkan shalat al wustha. Dijelaskan bahwa sebagian berpendapat bahwa shalat al wustha adalah shalat shubuh. Pendapat ini merupakan pendapat  Ali, Umar, Ibn Abbas, Jabir, Abi Umamah al-Bahili dari kalangan sahabat, serta Thawus, ‘Atha’, Ikrimah, serta Mujahid dari kalangan Tabi’in dan merupakan pendapat madzhab Syafi’i. Pendapat lain mengatakan bahwa shalat al wustha adalah shalat ‘ashar. Pendapat ini diriwayatkan berasal dari  Ali, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, serta Abu Hurairah yang menyatakan bahwa shalat al wusthaadalah shalat antara shalat genap dan shalat ganjil.
Keempat; menggunakan pendekatan ra’yu yang didasarkan pada analisis bahasa serta kaidah-kaidahnya. Secara umum, pendekatan inilah yang digunakan Nawawi dalam tafsirnya, sehingga tafsir ini lebih tepat disebut sebagai tafsir bi al-ra’yi yangmahmud. Disebut mahmud karena ia mengkombinasikan kaidah bahasa dengan syari’at. Misalnya ketika menjelaskan makna al-Rahman pada Q.S. 1:3. Nawawi menafsirkannya dengan “Yang Maha Pengasih, baik kepada orang yang taat maupun yang tidak taat, yaitu memberi rizki di dunia ini”. Penjelasan ini sejalan dengan firman Allah dalam Q.S. 2:126. Demikian juga makna al-Rahim pada lanjutan ayat yang ditafsirkan dengan “Yang memberi rahmat dan memasukkan ke dalam sorga orang-orang mukmin”. Penjelasan ini sejalan dengan firman Allah dalam Q.S.33:43.
  Namun demikian, ia tidak selalu mengupas  panjang lebar makna sebuah kosa kata,  sehingga tafsir ini tidak terjebak pada penjelasan yang bertele-tele. Misalnya ketika menjelaskan   Q.S. 16:112. Tanpa mengupas panjang lebar makna  libas, ia menjelaskan, ayat tersebut menggunakan istilah libas, sebab ketika kelaparan dan ketakutan itu begitu parah, maka kelaparan dan ketakutan tersebut akan meliputi mereka (para kafir Mekkah), seperti  halnya pakaian meliputi tubuh mereka.  Adakalanya ia menjelaskan terlebih dahulu kedudukan masing-masing lafadz dalam kalimat (i’rab).  Misalnya Q.S.75:22-23   وجوه يومئذ ناضره الى ربها ناظره Dijelaskan bahwa lafadz wujuh adalahmubtada’, sedangkan nadhirah adalah na’at dari wujuhyaumaidzin adalah  manshubsebab  nadhirah, sementara nadzirah adalah khabarnya wujuh. Adapun lafadz  ilarabbihamuata’alliq dengan khabar, sehingga makna ayat adalah “wajah-wajah yang baik pada hari kiamat, yakni wajahnya orang mukmin melihat kepada Allah tanpa ada hijab/penghalang apapun”.
Tidak jarang pula Nawawi menyertakan syair dalam penjelasannya. Misalnya ketika menjelaskan Q.S. 10:109. Setelah menjelaskan tentang petunjuk Al-Qur’an agar supaya bersabar dalam menyampaikan risalah dari Allah, Nawawi mengakhirinya dengan syair:
ساصبر حتى يعجز الصبر عن صبري    واصبر حتى يحكم الله في امري
ساصبر حتى يعلم الصبر انني             صبرث على شيء امر باصبر

Nawawi juga banyak mengusung informasi Israiliyat dalam tafsirnya. Misalnya tentang nama anak yang dibunuh oleh Nabi Khidhir. Disebutkan bahwa anak tersebut merupakan putera seorang tokoh di daerah itu. Ayahnya bernama Birran, ibunya Sahwan, sementara anak tersebut bernama Jaisur. Begitu juga dengan perahu Nabi Nuh. Dalam tafsirnya, Nawawi menyebutkan bahwasanya Nabi Nuh membuat perahu tersebut selama dua tahun dengan ukuran panjang 300 dzira’, lebarnya 50 dzira’, sementara tingginya 30 dzira’. Kapal itu terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama, ditempati oleh  hewan-hewan, lantai dua ditempati oleh manusia, sementara lantai paling atas ditempati oleh burung. Nama-nama yang disebut dalam cerita Nabi Khidlir tersebut serta ukuran dan bentuk kapal Nabi Nuh, menurut al-Dzahabi merupakan informasi Israiliyat.
2.      Contoh Teks Tafsir surat  Al-Baqarah ayat 1-3
سورة البقرة
مدنية، مائتان وست وثمانون آية، ستة آلاف ومائة وأربع وأربعون كلمة، ستة وعشرون ألفا ومائتان وواحد وخمسون حرفا
الم (1) قال الشعبي وجماعة: الم وسائر حروف الهجاء في أوائل السور من المتشابه الذي انفرد الله بعلمه، وهي سر القرآن فنحن نؤمن بظاهرها ونفوّض العلم فيها إلى الله تعالى، وفائدة ذكرها طلب الإيمان بها، والله تعالى اختص بعلم لا تقدر عليه عقول الأنبياء، والأنبياء اختصوا بعلم لا تقدر عليه عقول العلماء، والعلماء اختصوا بعلم لا تقدر عليه عقول العامة. وقال أبو بكر رضي الله عنه: في كل كتاب سر، وسر الله في القرآن أوائل السور. ذلِكَ الْكِتابُ لا رَيْبَ فِيهِ أي هذا الكتاب الذي يقرؤه عليكم رسولي محمد لا شك في أنه من عندي، فإن آمنتم به هديتكم، وإن لم تؤمنوا به عذبتكم. هُدىً لِلْمُتَّقِينَ (2) أي رحمة لأمة محمد صلّى الله عليه وسلّم. الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ أي يصدقون بما غاب عنهم من الجنة والنار، والصراط والميزان، والبعث والحساب وغير ذلك.
وقيل: المراد بالغيب القلب. والمعنى يؤمنون بقلوبهم لا كالذين يقولون بأفواههم ما ليس في قلوبهم. وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ أي يتمون الصلوات الخمس بالشروط والأركان والهيئات.
3.      وَمِمَّا رَزَقْناهُمْ يُنْفِقُونَ (3) أي مما أعطيناهم من الأموال يتصدقون لطاعة الله تعالى وهو أبو بكر الصديق وأصحابه. وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِما أُنْزِلَ إِلَيْكَ من القرآن وَما أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ على سائر الأنبياء من التوراة والإنجيل والزبور وغيرها من سائر الكتب السابقة على القرآن وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4) أي وهم يصدقون بما في الآخرة من البعث بعد الموت والحساب ونعيم الجنة وهو عبد الله بن سلام وأصحابه. أُولئِكَ أي أهل هذه الصفة عَلى هُدىً أي كرامة نزل مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5) أي الناجون من السخط والعذاب وهم أصحاب محمد صلّى الله عليه وسلّم




[1] Indal Abror,”Potret Kronologis Tafsir Indonesia” dalam Jurnal Esensia, vol. 3, No.2, 2002, hal.. 191

[2] Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama’ Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani, hlm. 9.
[3] Azyumardi Azra, “Jaringan Ulama” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam vol.5 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve ) 13.
[4] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002), 55
[5] Muhammad Nawawi al-Jawi, Marah Labid Tafsir al-Nawawi, vol. 1 (Surabaya: Al-Hidayah, t.t.), 2.

[6] Muhammad Nawawi al-Jawi, Marah Labid Tafsir al-Nawawi, vol. 1 (Surabaya: Al-Hidayah, t.t.), hal. 62.
[7] Muhammad Nawawi al-Jawi, Marah Labid Tafsir al-Nawawi, vol. 1 (Surabaya: Al-Hidayah, t.t.), hal. 191
[8] Muhammad Nawawi al-Jawi, Marah Labid Tafsir al-Nawawi, vol. 1 (Surabaya: Al-Hidayah, t.t.), hal.168
[9] Muhammad Nawawi al-Jawi, Marah Labid Tafsir al-Nawawi, vol. 1 (Surabaya: Al-Hidayah, t.t.), hal.62
[10] Wikipedia. Website, Motif Tulisan Nawawi
[11] Didin Hafiduddin, “Tafsir al-Munir karya Imam Nawawi Tanara” dalam Warisan Intelektual Islam Indonesia, ed. Rifa’i Hasan, (Bandung: Mizan, 1987), 25
[12] Didin Hafiduddin, “Tafsir al-Munir karya Imam Nawawi Tanara” dalam Warisan Intelektual Islam Indonesia, ed. Rifa’i Hasan, (Bandung: Mizan, 1987), 26
[13] Didin Hafiduddin, “Tafsir al-Munir karya Imam Nawawi Tanara” dalam Warisan Intelektual Islam Indonesia, ed. Rifa’i Hasan, (Bandung: Mizan, 1987), 192

1 komentar:

  1. matur nuwun, kami telah temukan siaran pembacaan muroh labib di radio dan akan menuliskannya agar supaya bs jd amal salih, amin

    BalasHapus