01 April, 2015

 HUKUM SYARA'

Oleh : Dani Muhamad Ramdani



PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an sebagai pedoman manusia, mengandung banyak aturan hukum. Namun, Al-qur’an hanya akan menjadi sebuah teks yang tidak bisa bicara tanpa disuarakan oleh akal. Sehingga fungsi akal dengan melibatkan al-hadits beserta metode-metode dalam ushul fiqh (seperti qiyas) menerjemahkan al-Qur’an sehingga dapat diaktualisasikan sebagai solusi problem dalam kehidupan manusia sepanjang zaman.
Sebagai seorang muslim yang mukallaf, telah ditanggungkan beberapa aturan hukum dalam Islam, seperti wajib, sunnah, haram, mubah, dan makruh. Kita juga mengetahui tentang berubahnya suatu hukum yang pada dasarnya haram, menjadi boleh, ataupun sebaliknya dikarenakan adanya hukum wadl’i yang menjadi syarat atau penghalang bagi pelaksanaan hukum taklifi.
Namun, kebanyakan dari kita hanya memahami hukum syara’ tersebut secara instan saja, dalam artian ini halal itu haram, tanpa memahami dasar kehalalan dan keharaman suatu perkara. Sehingga, dalam kesempatan ini kami ingin mengupas hukum syara’ dari perspektif ushul fiqh untuk memahami hukum syara’ dengan lebih mendalam dan mendasar.


B.     Rumusan Masalah

1.      Pengertian dan pembagian hukum syara’

2.      Pembagian hukum taklifi dan wadl’i

3.      Hubungan antara hukum taklifi dan wadl’i







PEMBAHASAN


A.    Pengertian Hukum Syara’ Dalam Perspektif Ushul Fiqh
Hukum syar’i ( الحكم الشرعي ) atau hukum syara’ ( (حكم الشرعي adalah kata majemuk yang tersusun dari kata ‘’hukum’’ dan kata ‘’syara’”. Kata hukum berasal dari bahasa arab ‘’hukum’’ ( الحكم ( yang secara etimologi berarti “ memutuskan’’, “menetapkan’’, dan “menyelesaikan’’.
Kata ’’ hukum’’ dan kata lain yang berakar pada kata itu terdapat dalam 88 tempat pada ayat Al-qur’an; tersebar dalam beberapa surat yang mengandung arti tersebut. Kata hukum itu sudah menjadi bahasa baku dalam bahasa indonesia.[1]
Dalam memberikan arti secara definitif kepada kata ‘’hukum’’ itu terdapat perbedaan rumusan yang begitu luas. Meskipun demikian, dalam arti yang sederhana dapat dikatakan bahwa hukum adalah ‘’ seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan atau diakui oleh satu negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya’’.
Kata ‘’syara’’’ (شرع ) secara etimologis berarti :’’ jalan, jalan yang biasa dilalui air’’. Maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia menuju kepada Allah. Kata ini secara sederhana berarti ‘’ ketentuan Allah’’. Dalam Al-qur’an terdapat lima kali disebutkan kata ‘’syara’” dalam arti ketentuan atau jalan yang harus di tempuh.[2]
 Kemudian, bila kata hukum dirangkaikan dengan kata syara’ yaitu hukum syara’ maka dapat diambil pengertian seperti yang dijelaskan oleh Abdul Wahhab Khallaf dalam kitabnya yang berjudul ‘’’Ilmu Ushul Al-fiqhi’’ yaitu :
الحكم الشرعي في اصطلاح الأصوليين : هو خطا ب الشارع المتعلق بأ فعا ل المكلفين, طلبا ا و تخييرا, ا و وضعا.[3]
Hukum syara’ menurut ahli ushul fiqh adalah  khithab ( titah ) Syari’ (Allah) yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf. Meliputi tuntutan, pilihan, atau penetapan.
Khitab Allah adalah segala hal yang terkandung di dalam kitab Al-qur’an dan dalil-dalil sunnah, qiyas, atau kemaslahatan.
1.      الطلب     Tuntutan untuk melaksanakan sesuatu atau meninggalkan sesuatu
2.        التخيير Pilihan untuk melaksanakan sesuatu atau meninggalkannya, dan
3.       الوضع   Penetapan tentang berlakunya atau tidak berlakunya sesuatu.
Ketiga kandungan hukum syara’di atas menjadi dasar pembagian hukum syara’. Para ulama mengkategorikan hukum syara’ menjadi dua, yaitu hukum taklifi danhukum wadh’i. Hukum Taklifi adalah hukum yang isinya berupa tuntutan dan pilihan, sedangkan hukum wad’i isinya berupa penetapan.[4]
B.     Pembagian Hukum Syara’
Dari definisi hukum  syara’ yang dikemukakan para ahli ushul fiqh, bisa diambil tidak hanya satu macam hukum, karena perbuatan mukallaf berhubungan dengan tiga unsur penting dalam kandungan hukum syara’ yaituالطلب ,  التخيير, dan الوضع :
1.      طلب yang berarti tuntutan
Unsur ini mengandung dua makna, yaitu:

                            a.     فعل    yaitu tuntutan untuk melaksanakan sesuatu 
 Makna tuntutan dalamفعل    (melaksanakan) mengandung dua hukum
1)      الواجب  sebuah tuntutan yang sangat kuat (harus) untuk melaksanakan sesuatu (wajib).
2)      المندوب  ialah dianjurkan untuk melaksanakan sesuatu (sunnah)

                           b.      الترك   الكف yaitu tuntutan untuk meninggalkan.
Makna tuntutan dalam    الكف / ترك    (meninggalkan) mengandung dua hukum
1)      الحرام ialah harus meninggalkan sesuatu (haram)
2)      المكروه ialah dianjurkan untuk meninggalkan sesuatu (makruh)

2.         تخييراPilihan antara melakukan sesuatu atau meninggalkannya (mubah)
3.        وضعاPenetapan tentang berlakunya atau tidak berlakunya sesuatu (mempengaruhi ketetapan berlaku atau tidaknya hukum-hukum diatas).
Dari ketiga kandungan hukum syara’ diatas, kemudian oleh para ulama’ diklasifikasikan menjadi dua macam bentuk hukum. Pada hukum yang memuat tuntuntan ( طلب ) dan pilihan (تخيير) terhadap suatu perkara dinamakan hukum taklifi, dan hukum yang memuat penetapan ( وضعي ) dinamakan hukum wadl’i.
Dinamakan hukum taklifi karena hukum tersebut langsung membebani seorang mukallaf dengan suatu hukum tertentu.[5] Dan dinamakan hukum wadl’i karena menetapkan berlaku atau tidaknya pelaksanaan hukum taklifi.

1.      Hukum Taklifi Dan Pembagiannya
Secara harfiyah, hukum taklifi bermakna pembebanan suatu hukum secara langsung terhadap mukallaf. Hukum taklifi bersumber dari dalil-dalil yang menunjukkan makna sebuah tuntutan dan pilihan.
Dalam kitab ‘Ilmu Ushul al-Fiqh karya Abdul Wahhab Khallaf disebutkan pembagian hukum syara’:

المطلوب فعله قسمان : الواجب ، والمندوب . والمطلوب الكف عن فعله قسمان : الحرم , والمكروه . والمخير بين فعله وتركه هو المباح .  

Dari keterangan diatas dapat ditarik sebuah pengertian hukum taklifi, seperti yang tercantum dalam buku fiqh Ushul Fiqh karangan Dr. Ali Sodiqin, hukum taklifi yaitu hukum yang berkaitan dengan perintah untuk berbuat atau tidak berbuat atau memilih diantara keduanya. Perintah atau  tuntutan untuk berbuat menghasilkan hukum ijab dan nadb. Jika perintah untuk berbuat tersebut tegas dan jelas, akan menghasilkan hukum ijab (wajib), tetapi jika perintah tersebut tidak tegas atau hanya berupa anjuran, maka hukum yang dihasilkan adalah nadb(sunnah).
            Perintah untuk tidak berbuat (meninggalkan) menghasilkan hukum tahrim dan karahah. Jika larangan tersebut tegas dan jelas, hukum yang dihasilkan adalah tahrim (haram), tetapi jika larangan tersebut tidak tegas atau hanya berupa himbauan saja, maka hukum yang dihasilkan adalah karahah (makruh). Hukum yang berupa pilihan, memilih antara melakukan atau tidak melakukan, menhasilkan hukum ibahah (mubah).[6]

            Secara rinci jumhur ulama membagi hukum taklifi menjadi lima jenis, yaitu:
                       a.          Ijab
Ijab adalah tuntutan secara pasti untuk dilaksanakan, tidak boleh ditinggalkan, dan ada hukuman bagi yang melanggarnya. Akibat perbuatannya adalah wujub, sedangkan perbuatan yang dituntut namanya wajib.[7]
الواجب شرعا هو ما طلب الشارع فعله من المكلف طلبا حتما بأن اقترن طلبه يدل على تحتيم فعله[8]
Wajib adalah tuntutan yang kuat (keharusan) terhadap orang mukallaf untuk melaksanakan suatu perkara karena tuntutan tersebut berasal dari dalil yang menunjukkan shigat yang kuat (harus).
Untuk mengetahui kuat atau tidaknya suatu tuntuntan bisa diketahui dari keterangan lain yang menguatkan, baik dari ayat Al-Qur’an sendiri atau Hadits Nabi.

Contoh, perintah yang menggunakan fi’il amr:
وَأَقِيْمُواْ اْلصَّلَوةَ وَءَاتُواْ اْلزَّكَوةَ...[9][9]
dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat...”
Dalam ayat ini, Allah menggunakan lafazh amr, yang  menurut para ahli ushul fiqh melahirkan ijab, yaitu kewajiban mendirikan shalat dan membayarkan zakat. Apabila kewajiban ini dikaitkan dengan perbuatan orangmukallaf, maka disebut dengan wujub, sedangkan perbuatan yang dituntut itu (yaitu mendirikan shalat dan membayarkan zakat), disebut dengan wajib. Oleh karena itu, istilah ijab, menurut ulama ushul fiqih, terkait dengan khithab(tuntutan) Allah, yaitu ayat di atas, sedangkan wujub merupakan akibat darikhithab tersebut dan wajib adalah perbuatan yang dituntut oleh khithab Allah.
Tuntutan yang terdapat dalam ayat di atas adalah tuntutan untuk melakukan shalat, yang berarti perintah mengerjakannya. Perintah tersebut dikategorikan wajib karena diulang-ulang dalam Al-Qur’an. Pengulangan perintah menunjukkan ketegasan atau kepastian tuntutan, sehingga menyebabkan perintah melaksanakan salat adalah wajib. Ketegasan perintah juga didukung adanya ancaman atau sanksi bagi mereka yang tidak melaksanakannya.
Selain itu, pada perintah mengerjakan shalat ditemui keterangan lain dalam ayat Al-Qur’an yang menguatkan tuntutan tersebut, yaitu:

فويل للمصلين . الذين هم عن صلاتهم ساهون[10]

“Maka neraka (wail) untuk orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang melalaikan shalatnya”.

A. Pembagian ijab :
1)      Berdasarkan orang yang membebani Ijab dibagi menjadi dua, yaitu ain dankifa’i (kifayah). Wajib aini (disebut juga fardu ‘ain) adalah kewajiban yang membebani kepada tiap-tiap individu. Wajib kifai (disebut juga fardu kifayah) adalah kewajiban yang ditujukan kepada kesuluruhan mukallaf, bukan masing-masing mukallaf. Disebut juga dengan kewajiban kolektif, yang pelaksanaannya menggunakan asas representative.
2)      berdasarkan kandungan perintahnya, Ijab dibagi dua, yaitu: mu’ayyan danmukhayyarMu’ayyan adalah kewajiban yang terkait dengan sesuatu yang diperintahkan, seperti salat, puasa. Kewajiban jenis ini sudah ditentukan oleh Syari’, sehingga tidak memberikan alternatif kewajiban lain bagi mukallaf. Mukhayyar adalah kewajiban tertentu yang dapat dipilih oleh mukallaf, seperti kewajiban membayar kafarat, apakah memilih puasa, memerdekkan budak, atau member makan orang miskin. Kewajiban mukallaf adalah melaksanakan salah satu dari alternatif yang diberikan oleh Syari’.
3)      Berdasarkan waktu pelaksanaannya, Ijab dibagi dua, yaitu: mutlaq danmu’aqqat. Wajib mutlaq adalah suatu yang dituntut Syari’ untuk dilaksanakan mukallaf tanpa ditentukan waktunya, artinya bisa dilakukan kapan saja. Contohnya: membayar kafarat karena melanggar sumpah. Syari’ tidak member acuan waktu, tetapi hanya menetapkan jenis kewajibannya. Wajib mu’aqqat adalah kewajiban yang harus dilaksanakan mukallaf pada waktu-waktu tertentu dan harus dilaksanakan pada waktunya. Contohnya seperti shalat fadu, puasa Ramadhan, dan haji. Syari’ dalam hal ini menetapkan jenis kewajiban dan waktu pelaksanaannya.
4)      Berdasarkan ukuran yang diwajibkan, Ijab dibagi dua, yaitu: wajibmuhaddad dan wajib ghairu muhaddad. Muhaddad artinya suatu kewajiban yang ukurannya ditentukan oleh Syari’, seperti jumlah rakaat salat, jumlah harta yang dizakat. Ghairu muhaddad adalah kewajiban yang ukurannya tidak ditentukan oleh Syari’, tetapi diserahkan kepada para ulama, seperti: hukuman ta’zir. Wajib jenis ini rincian atau detil operasionalnya menjadi lapangan ijtihad bagi umat Islam.    

                    b.            Nadb
Nadb adalah tuntutan untuk melaksanakan perbuatan tetapi tidak secara pasti. Ketidakpastian tuntutan pelaksanaannya menjadikan  perintah tersebut tidak bernilai wajib, tetapi hanya bersifat anjuran. Dari sisi pelaksanaan, ulama menganggap hukum jenis ini lebih baik dilaksanakan, karena mendatangkan maslahah atau manfaat bagi pelakunya. Perbuatan yang dituntut namanyamandup, sedangkan akibat perbuatannya disebut nadb. Contohnya perintah mencatat transaksi bagaimana disebutkan dalam al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوه
“Hai orang-orang yang beriman jika diantara kamu terjadi transaksi hutang piutang untuk jangka waktu tertentu, maka catatlah (transaksi tersebut)”.
Perintah dalam ayat di atas, menurut ulama, tidak bernilai wajib, meskipun berupa tuntutan untuk melaksanakan pencatatan transaksi. Hal ini dikarenakan perintah tersebut tidak dikuatkan oleh petunjuk (qarinah) lain, seperti pengulang atau adanya sanksi bagi yang tidak melaksanakan, sehingga tuntutannya hanya merupakan anjuran bukan kewajiban.

B. Pembagian Nadb :

1)  Muakkadah, yaitu tuntutan untuk melaksanakan, dimana orang yang meninggalkannya tidak berdosa tetapi mendapat cela. Contoh: pelaksanaan salat Id, qabliyah subuh, ba’diyah Magrib.
2)   Gairu Muakkdah, yaitu tuntutan untuk melaksanakan, dimana orang yang meninggalkannya tidak berdosa dantidak mendapat cela. Contoh: salat sunnah qabliyah zuhur.
3)         Zaidah (zawaid), yaitu sunnah pelengkap, seperti kesopan santunan.

                     c. Ibahah

Ibahah adalah tuntutan Allah yang mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat. Hukum jenis ini member keleluasaan kepada mukallaf, apakah melaksanakan atau tidak melaksanakan tuntutan tersebut. Secara asal, hukum ini memberikan dampak yang sama antara melakukan atau meninggalkan, sehingga bagi mukallaf pilihannya disesuaikan dengan kondisi masing-masing. Akibat dari tuntutannya disebut ibahah, sedangkan perbuatannya dinamakanmubah. Contohnya adalah hukum mencari rizki setelah selesai jum’at seperti yang tercantum dalam surat Jumuah ayat 10:
“dan kamu sudah selesai menunaikan salat jumat maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah rizki Allah, serta banyaklah mengingat Allah agar kamu beruntung”.
Perintah dalam ayat di atas (mencari rezeki setelah salat jum’at) tidak dimaknai wajib maupun mandup, karena terrdapat pilihan tuntutan dalam kandungan ayatnya. Pilihan tersebut berupa bertebaran (melakukan apa saja), mencari rezeki (kembali bekerja), dan memperbanyak zikir. Adanya beberapa pilihan trsebut menunjukkan bahwasanya perintah di atas berkonotasi mubah, sehingga mukallaf boleh memilih antara melkukan atau meninggalkan, sesuai dengan situasi dan kondisi mukallaf.

Pembagian Mubah:
1)      Mubah yang berfungsi menghantarkan sesuatu yang wajib, misalnya makan dan minum agar kuat dalam menjalankan ibadah.
2)      Perbuatan mubah yang dilaksanakan sesekali, tetapi haram jika dilaksanakan setiap hari, seperti: mendengarkan music.
3)      Perbuatan mubah yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan yang mubah juga, seperti membeli perabotan rumah.

                    d.            Karahah
Karahah adalah tuntutan untuk meninggalkan tetapi redaksinya tidak pasti. Akibat perbuatannya namanya karahah, sedangkan perbuatannya disebutmakruh. Hukum kategori ini merupakan kebalikan dari hukum nadb. Jika nadbberisi anjuran untuk melaksanakan suatu perbuatan, maka karahah berisi anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Meninggalkan perbuatan yang mukallaf. Contohnya menanyakan sesuatu yang menyulitkan, sebagaimana disebut dalam al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 101:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu menanyakan (kepada nabimu) sesuatu yang  menyulitkan bagimu”.
Pembagian Karahah.
1)      Karahah Tanzih, yaitu sesuatu yang dituntut untuk ditinggalkan tetapi dengan dalil yang tidak pasti atau zany. Contohnya adalah hukum memakai emas dan setera bagi laki-laki, karena didasarkan pada hadis Ahad.
2)      Karahah Tahrim, yaitu sesuatu yang dituntut untuk ditinggalkan tetapi dengan dalil yang pasti, tetapi kekuatannya zany. Contohnya adlah melakukan jual beli pada waktu pelaksanaan salat jum’at.  

                     e.            Tahrim
Tahrim adlah tuntutan secara pasti untuk tidak melaksanakan perbuatan. Perintah yang terkandung dalam hukum ini adalah meninggalkan perbuatan yang disebutkan. Prinsip tahrim berkebalikan dengan ijab. Jika ijab menurut secara tegas kepada mukallaf untuk melaksanakan suatu perbuatan, makatahrim secara tegas menuntut mukallaf untuk meninggalkan. Akibat dari tuntutan hukum disebut hurmah, sedangkan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan dinamakan haram. Contohnya larangan membunuh, seperti yang tercantum dalam surat an-Nisaa’ ayat 93 yaitu:
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”.
Tuntutan di atas berupa perintah untuk meninggalkansesuatu yaitu melakukan pembunuhan. Perintah dalam ayat di atas sangat tegas, sehingga mengakibatkan hukum haram. Ketegasan tersebut ditunjukkan dengan adanya ancaman bagi pelaku pembunuhan. Oleh Karena itu ulama menyimpulkan berdasarkan tuntutannya, maka pembunuhan adalah haram (dilarang keras) dalam Islam.

Pembagian Tahrim:
1)      Tahrim lizatih, yaitu keharaman yang sejak semula ditetapkan oleh Syari’, seperti zina.
2)      Tahrim Ligairih, yaitu sesuatu yang asalnya tidak diharamkan, tetapi karena ada hal yang menyertainya sehingga menyebabkan keharamannya, seperti jual beli pada saat azan jum’at, karena bisa membuat orang melupakan salat jum’at.
Adapun pembagian diatas menurut para ulama’ jumhur, yang mengartikan  wajib, fardlu, dan maktubah itu sama yaitu: “sesuatu yang berkaitan dengan hukuman bagi yang meninggal perkara itu” Seperti keterangan dalam kitab Al-Lumma’ fi Ushul al-Fiqh karangan Imam Abi Ishaq As-Syirazy:
    الواجب والفرض والمكتوبة واحد وهو ما يعلق العقاب بتركه[11].
Sedangkan menurut ulama’ Hanafiyah berbeda dalam memandang wajib dan fardlu:
وقال أصحاب أبي حنيفة الواجب ما ثبت وجوبه بدليل مجتهد فيه كالوتروالأضحية عندهم والفرض ما ثبت وجوبه بدليل مقطوع به كالصلوات الخمس والزكوات المفروضة[12]
Ulama’ Hanafiyah tidak menganggap wajib dan fardlu itu identik secara syar’i meskipun ada sifat identiknya secara lughowi dengan sebagian maksudnya. Disamping itu ulama’ hanafiyah setuju dengan jumhur ulama’ dalam hal keharusan melakukan keduanya.
Fardlu menurut ulama’ Hanafiyah ialah tuntutan untuk memperbuat dalam bentuk pasti dan tuntutan itu ditetapkan dengan dalil yang qath’i serta tidak mengandung keraguan. Adapun wajib adalah tuntutan untuk memperbuatnya yang ditetapkan dengan dalil zhanni tetapi masih mengandung keraguan.
Perbedaan antara ulama’ Hanafiyah dengan jumhur dalam wajib dan fardlu ini bukan hanya sekedar perbedaan dalam peristilahan atau perbedaan teoritis saja, tetapi ada perbedaan praktis dalam hukum. Contohnya seperti membaca surat al-fatihah dalam shalat adalah fardlu atau wajib menurut jumhur ulama’. Karenanya, batal shalat orang yang tidak membaca al-Fatihah. Menurut ulama’ Hanafiyah membaca al-Fatihah dalam shalat adalah wajib karena ditetapkan dengan dalil yang zhanni, dalam hal ini adalah hadis Nabi yang berbunyi:
لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب[13]
“tidak sah shalat orang yang tidak membaca al-Fatihah”
Karena itu, orang yang tertinggal membaca al-Fatihah tidak shalatnya, hanya karena ia meninggalkan perbuatan wajib ia berdosa. Yang dapat membatalkan shalat ialah tidak membaca ayat al-Qur’an dalam shalat, baik surat al-fatihah maupun ayat-ayat lainnya, karena membaca al-Qur’an itu hukumnya adalah fardlu sebab ditetapkan dengan dalil yang qath’i yaitu firman Allah:
فاقرؤاماتيس من القرأن[14]
“Maka bacalah apa yang mudah dari ayat Al-Qur’an
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa perbedaan pendapat antara jumhur ulama’ dengan ulama’ Hanafiyah dalam hal perbedaan fardlu dan wajib itu hanya bersifat teoritis dan tidak ada pengaruhnya dalam hukum, karena ulama’ hanafiyah dan lainnya tidaklah berbeda dalam hal adanya perbedaan kekuatan dalil dari segi qath’i dan zhanni-nya. Juga karena ulama’ Syafi’iyah sendiri menafsirkan firman Allha dalam surat Al-Muzammil ayat 20 itu dengan membaca al-Fatihah, sehingga dikalangan ulama Hanafiyah (ulama-ulama yang bermazhab Hanafi), hukum taklifi dibagi menjadi tujuh kategori, yaitu:
1.      Iftiradh, yaitu tuntutan pasti untuk melaksanakan suatu perbuatan berdasarkan dalil qat’y. Contohnya kewajiban shalat (fardu).
2.      Ijab, yaitu tuntutan pasti untuk melaksanakan suatu perbuatan berdasarkan dalil zany. Contohnya membaca fatihah dalam shalat.
3.      Nadb, pengertiannya sama dengan nadb yang dimaksud dalam pembagian jumhur.
4.      Ibahah, pengertiannya sama dengan ibahah yang dijelaskan oleh jumhur.
5.      Karahah Tanzihiyah, yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan tetapi tidak pasti (sama dengan karahah menurut jumhur).
6.      Karahah Tahrimiyah, yaitu tuntutan pasti untuk meninggalkan suatu perbuatan berdasarkan dalil zany. Contohnya jual belli waktu shalat jum’at.
7.      Tahrim, yaitu tuntutan pasti untuk meninggalkan suatu perbuatan berdasarkan dalil qat’y.

2.      Hukum Wadl’i dan Pembagiannya

Hukum wadl’i ialah Titah atau khithab Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab-sebabnya yang lain (musabbab), atau sebagai syarat yang lain atau sesuatu yang menuntut sesuatu sebagai sebab atau syarat atau pencegah dari sesuatu yang lain titah Allah yang berbentuk wad’i sebuah ketentuan yang ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur perbuatan mukallaf, tetapi berkaitan dengan perbutan orang mukallaf itu. Seperti tergelincirnya mataharimenjadi sebab masukknyawaktu dzuhur.
Hukum wad’i bukanlah dalam bentuk tuntutan, tetapi dalam bentuk ketentuan yang ditetapkan pembuat hukum sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hukum taklifi atu merupakn akibat dari pelaksanaan hukum taklifi itu.
Hukum wad’i ada beberapa macam, yaitu:
                     a.            ‘’ sebab’’((السبب sesuatu yang diteyapkan oleh pembuat hukum menjadi sebab terjadinya hukum taklifi. Bila sbab itu terdapat, berlangsunglah hukum taklifi; seandainya sebab itu tidak ada maka ukum taklifi tidak ada. Umpamanya kewajiban shalat magrib dikaitkan dengan tenggelamnya matahari. Tenggelamnya matahari diebut sebab bagi hukum taklifi, yaitu kewajiban melakukan shalat magrib.
                    b.            ‘’ syarat’’sesuatu yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi syarat terdapatnya hukum taklifi. Bila syarat itu belum terpenuhi, maka kewajiban belum ada atau perbuatan itu belum dianggap ada. Umpamanya cukupnya ukuran nisab pada harta menjadi syarat bagi adanya kewjiban zakat. Adanya perbuatan wudlu’ menjadi syarat adanya perbuatan shalat. Hukum wadl’i dalam hal ini maka disbut syarat.
                     c.            ‘’mani’ ‘’sesuatu yang dijadikan pembuat hukum sabagai penghalang berangsungnya hukum taklifi. Bila hal tersebut ada pada waktu pelaksanaan hukum taklifi, maka hukum itu menjadi tidak berlaku. Dalam hukum wadl’i ini disebut mani’ atau panghalang. Umpamanya keadaan haidnya seorang wanita menyebabkn tidak berlakunya shalat dan puasa. Meskipun telah ada sebab kewajiban shalat dan telah ada pula syarat yang menyertainya, namun dalm keadan adanya mani’ hukum wajib atau shah itu tidak berlaku lagi bagi yang berhalangan itu.
Termasuk ke dalam kelompok hukum wad’i, juga hal-hal yang menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi dalam hubungannya dengan hukum wad’i, yaitu:
                     a.            ‘’Shah’’, yaitu akibat hukum dari sesuatu perbuatan taklifi yang sudah berlaku padany sebab, sudah terpenuhi syarat-syarat yang ditentukan dan telah terhindar dari segala mani’.Umpamanya shalat dzuhur telah dilakukan setelah tergelincirnya matahari setelah melakukan wudlu’ serta syarat lainnya dan dilakukan oleh orang-arang yang tidak haid dan halangan lainnya.
                    b.            ‘’ Bathal’’, yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi sebab atau syarat; atau terpenuhi keduanya tetapi terdapat padanya mani’. Umpamanya shalat magrib sebelum tergelincir matahari; atau tidak memakai wudlu’ atau sudah ada keduanya tetapi dilakukan oleh wanita yang sedang haid.
Termasuk juga dalam pembahasan hukum wadl’i pelaksanaan hukum taklifi dalam hubungannya dengan dalil yang mengaturnya.
                         a.            ‘’Azimah’’, yaitu pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil umum tanpa memandang kepada keadaan mukallaf yang melaksanakanya. Seperti haramnya bangkai untuk semua umat islam dalam keadaan apapun.

                         b.            ‘’Rukhshah’’, yaitu pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil yang khusus sebagai pengecualian dari dalil umum karena dalam keadaan tertentu. Umpamanya bolehnya seseorang dalam keadaan darurat memakan bangkai, meskipun secara umum memakan bangkai itu hukumnya haram. 

C.    Hubungan Taklifi dan Wadl’i
Melihat dari pembahasan di atas tentang hukum Taklify dan hukum Wad’y, dapat di simpulkan bahwa kedua kategori hukum itu saling berhubungan. Dalam tataran implementasinya, perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh mukallaf harus didukung oleh aturan-aturan dalam hukum Wad’y. keberadaan dua hukum tersebut terintegrasi dalam hukum syara’, yang menjadi panduan mukallaf dalam menjalankan ajaran agama Islam. Oleh karena itu, dalam menetukan sebuah hukum atau salah satu ibadah  bahwa itu di katakan sah atau batal adalah dari penilaian terhadap pelaksanaan hukum taklify, apakah didukung keberadaan hukum wad’y atau tidak. Karena pelaksanaan hukum taklify yang didukung oleh terpenuhinya ketetapan hukum wad’y, maka nilainya sah. Contohnya adalah sahnya salat zuhur ditentukan apabila terpenuhi sabab, syarat, dan tidak ada mani’ atau penghalang dan salat zuhur tidak sah alias batal, apabila tidak terpenuhi sabab atau syaratnya, atau ada penghalang (mani’)nya.
Berdasarkan contoh tadi, maka bisa di jelaskan bahwa di antara hukum taklify dan hukum wad’y itu tidak bisa di pisahkan dalam menentukan sebuah hukum syar’i.         


DAFTAR PUSTAKA

Khallaf‘Abdul Wahhab. ‘Ilmu Ushul Al-Fiqh. Al-Haramain:

Ibrahim bin Ali bin Yusuf As-Syirazy Al-Fairuzzabady As-Syafi’i,

Al-Imam Abi Ishaq.Syarh Al-Lumma’ Fi Ushul Al-Fiqh, Al-Hidayah: Surabaya,

Sodiqin, Dr. Ali. Fiqh Ushul Fiqh, Beranda: Yogyakarta, 2012.

Syarifuddin, Prof. Dr. H. Amir. Ushul Fiqh, Kencana: Jakarta, 2012



[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hal 333.
[2] Ibid
[3] ‘Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, hal 100.
[4] ‘Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, hal 100.
[5] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, hal 1316.

[6] Loc.cit, hal 116.
[7] Ibid, hal 117.
[8] Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, hal 105.
[9] Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 110.
[10] Al-Qur’an surat AL-Ma’un ayat 4-5

[11] Imam Abi Ishaq As-Syirazy, Al-Lumma’ fi Ushul al-Fiqh, hal 13.
[12] Loc.cit, hal 13.
[13] Alhadits
[14] Al-Qur’an Surat Al-Muzammil ayat 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar