HUKUM SYARA'
Oleh : Dani Muhamad Ramdani
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an sebagai
pedoman manusia, mengandung banyak aturan hukum. Namun, Al-qur’an hanya akan
menjadi sebuah teks yang tidak bisa bicara tanpa disuarakan oleh akal. Sehingga
fungsi akal dengan melibatkan al-hadits beserta metode-metode dalam ushul fiqh
(seperti qiyas) menerjemahkan al-Qur’an sehingga dapat diaktualisasikan
sebagai solusi problem dalam kehidupan manusia sepanjang zaman.
Sebagai seorang muslim
yang mukallaf, telah ditanggungkan beberapa aturan hukum dalam Islam, seperti
wajib, sunnah, haram, mubah, dan makruh. Kita juga mengetahui tentang
berubahnya suatu hukum yang pada dasarnya haram, menjadi boleh, ataupun
sebaliknya dikarenakan adanya hukum wadl’i yang menjadi syarat atau penghalang
bagi pelaksanaan hukum taklifi.
Namun, kebanyakan dari kita hanya memahami
hukum syara’ tersebut secara instan saja, dalam artian ini halal
itu haram, tanpa memahami dasar kehalalan dan keharaman suatu perkara.
Sehingga, dalam kesempatan ini kami ingin mengupas hukum syara’ dari perspektif
ushul fiqh untuk memahami hukum syara’ dengan lebih mendalam dan mendasar.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian dan pembagian hukum syara’
2. Pembagian hukum taklifi dan wadl’i
3. Hubungan antara hukum taklifi dan wadl’i
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Syara’ Dalam Perspektif Ushul Fiqh
Hukum
syar’i ( الحكم الشرعي ) atau
hukum syara’ ( (حكم الشرعي adalah kata majemuk yang tersusun dari kata ‘’hukum’’ dan
kata ‘’syara’”. Kata hukum berasal dari bahasa arab
‘’hukum’’ ( الحكم ( yang secara
etimologi berarti “ memutuskan’’, “menetapkan’’, dan “menyelesaikan’’.
Kata
’’ hukum’’ dan kata lain yang berakar pada kata itu terdapat dalam 88 tempat
pada ayat Al-qur’an; tersebar dalam beberapa surat yang mengandung arti
tersebut. Kata hukum itu sudah menjadi bahasa baku dalam bahasa indonesia.[1]
Dalam
memberikan arti secara definitif kepada kata ‘’hukum’’ itu terdapat perbedaan
rumusan yang begitu luas. Meskipun demikian, dalam arti yang sederhana dapat
dikatakan bahwa hukum adalah ‘’ seperangkat peraturan tentang tingkah
laku manusia yang ditetapkan atau diakui oleh satu negara atau kelompok
masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya’’.
Kata
‘’syara’’’ (شرع ) secara etimologis berarti :’’ jalan, jalan yang biasa
dilalui air’’. Maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia menuju kepada Allah.
Kata ini secara sederhana berarti ‘’ ketentuan Allah’’. Dalam Al-qur’an
terdapat lima kali disebutkan kata ‘’syara’” dalam
arti ketentuan atau jalan yang harus di tempuh.[2]
Kemudian,
bila kata hukum dirangkaikan dengan kata syara’ yaitu hukum syara’ maka dapat
diambil pengertian seperti yang dijelaskan oleh Abdul Wahhab Khallaf dalam
kitabnya yang berjudul ‘’’Ilmu Ushul Al-fiqhi’’ yaitu :
الحكم
الشرعي في اصطلاح الأصوليين : هو خطا ب الشارع المتعلق بأ فعا ل
المكلفين, طلبا ا و تخييرا, ا و وضعا.[3]
Hukum
syara’ menurut ahli ushul fiqh adalah “khithab
( titah ) Syari’ (Allah) yang berhubungan dengan segala amal perbuatan
mukallaf. Meliputi tuntutan, pilihan, atau penetapan”.
Khitab
Allah adalah segala hal yang terkandung di dalam kitab Al-qur’an dan
dalil-dalil sunnah, qiyas, atau kemaslahatan.
1. الطلب Tuntutan
untuk melaksanakan sesuatu atau meninggalkan sesuatu
2. التخيير Pilihan untuk melaksanakan
sesuatu atau meninggalkannya, dan
3. الوضع Penetapan tentang berlakunya atau tidak berlakunya sesuatu.
Ketiga kandungan hukum
syara’di atas menjadi dasar pembagian hukum syara’. Para ulama mengkategorikan
hukum syara’ menjadi dua, yaitu hukum taklifi danhukum
wadh’i. Hukum Taklifi adalah hukum yang isinya berupa tuntutan dan
pilihan, sedangkan hukum wad’i isinya berupa penetapan.[4]
B. Pembagian Hukum Syara’
Dari
definisi hukum syara’ yang dikemukakan para ahli ushul fiqh, bisa diambil
tidak hanya satu macam hukum, karena perbuatan mukallaf berhubungan dengan tiga
unsur penting dalam kandungan hukum syara’ yaitu: الطلب , التخيير, dan الوضع :
1. طلب yang
berarti tuntutan
Unsur ini mengandung dua makna, yaitu:
a. فعل yaitu
tuntutan untuk melaksanakan sesuatu
Makna tuntutan dalamفعل (melaksanakan)
mengandung dua hukum
1) الواجب sebuah
tuntutan yang sangat kuat (harus) untuk melaksanakan sesuatu (wajib).
2) المندوب ialah
dianjurkan untuk melaksanakan sesuatu (sunnah)
b. الترك / الكف yaitu tuntutan
untuk meninggalkan.
Makna tuntutan dalam الكف / ترك (meninggalkan)
mengandung dua hukum
1) الحرام ialah harus meninggalkan
sesuatu (haram)
2) المكروه ialah dianjurkan
untuk meninggalkan sesuatu (makruh)
2. تخييراPilihan
antara melakukan sesuatu atau meninggalkannya (mubah)
3. وضعاPenetapan
tentang berlakunya atau tidak berlakunya sesuatu (mempengaruhi ketetapan
berlaku atau tidaknya hukum-hukum diatas).
Dari ketiga kandungan hukum syara’ diatas,
kemudian oleh para ulama’ diklasifikasikan menjadi dua macam bentuk hukum. Pada
hukum yang memuat tuntuntan ( طلب ) dan pilihan (تخيير) terhadap suatu perkara
dinamakan hukum taklifi, dan hukum yang memuat penetapan ( وضعي )
dinamakan hukum wadl’i.
Dinamakan hukum
taklifi karena hukum tersebut langsung membebani seorang mukallaf dengan suatu
hukum tertentu.[5] Dan dinamakan
hukum wadl’i karena menetapkan berlaku atau tidaknya pelaksanaan hukum taklifi.
1. Hukum Taklifi Dan Pembagiannya
Secara harfiyah, hukum taklifi bermakna
pembebanan suatu hukum secara langsung terhadap mukallaf. Hukum taklifi
bersumber dari dalil-dalil yang menunjukkan makna sebuah tuntutan dan pilihan.
Dalam kitab ‘Ilmu Ushul
al-Fiqh karya Abdul Wahhab Khallaf disebutkan pembagian hukum syara’:
المطلوب فعله قسمان :
الواجب ، والمندوب . والمطلوب الكف عن فعله قسمان : الحرم , والمكروه . والمخير
بين فعله وتركه هو المباح .
Dari keterangan diatas dapat ditarik sebuah
pengertian hukum taklifi, seperti yang tercantum dalam buku fiqh Ushul
Fiqh karangan Dr. Ali Sodiqin, hukum taklifi yaitu hukum yang
berkaitan dengan perintah untuk berbuat atau tidak berbuat atau memilih
diantara keduanya. Perintah atau tuntutan untuk berbuat menghasilkan
hukum ijab dan nadb. Jika perintah untuk berbuat
tersebut tegas dan jelas, akan menghasilkan hukum ijab (wajib),
tetapi jika perintah tersebut tidak tegas atau hanya berupa anjuran, maka hukum
yang dihasilkan adalah nadb(sunnah).
Perintah
untuk tidak berbuat (meninggalkan) menghasilkan hukum tahrim dan karahah. Jika
larangan tersebut tegas dan jelas, hukum yang dihasilkan adalah tahrim (haram), tetapi jika
larangan tersebut tidak tegas atau hanya berupa himbauan saja, maka hukum yang
dihasilkan adalah karahah (makruh). Hukum yang berupa pilihan,
memilih antara melakukan atau tidak melakukan, menhasilkan hukum ibahah (mubah).[6]
Secara
rinci jumhur ulama membagi hukum taklifi menjadi lima jenis, yaitu:
a. Ijab
Ijab adalah tuntutan
secara pasti untuk dilaksanakan, tidak boleh ditinggalkan, dan ada hukuman bagi
yang melanggarnya. Akibat perbuatannya adalah wujub, sedangkan
perbuatan yang dituntut namanya wajib.[7]
الواجب شرعا هو ما طلب الشارع فعله من المكلف طلبا حتما بأن اقترن
طلبه يدل على تحتيم فعله[8]
Wajib adalah tuntutan yang kuat (keharusan)
terhadap orang mukallaf untuk melaksanakan suatu perkara karena tuntutan
tersebut berasal dari dalil yang menunjukkan shigat yang kuat
(harus).
Untuk mengetahui kuat atau tidaknya suatu
tuntuntan bisa diketahui dari keterangan lain yang menguatkan, baik dari ayat
Al-Qur’an sendiri atau Hadits Nabi.
Contoh, perintah yang menggunakan fi’il amr:
“dan dirikanlah salat
dan tunaikanlah zakat...”
Dalam ayat ini, Allah menggunakan lafazh amr,
yang menurut para ahli ushul fiqh melahirkan ijab,
yaitu kewajiban mendirikan shalat dan membayarkan zakat. Apabila kewajiban ini
dikaitkan dengan perbuatan orangmukallaf, maka disebut dengan wujub,
sedangkan perbuatan yang dituntut itu (yaitu mendirikan shalat dan membayarkan
zakat), disebut dengan wajib. Oleh karena itu, istilah ijab,
menurut ulama ushul fiqih, terkait dengan khithab(tuntutan)
Allah, yaitu ayat di atas, sedangkan wujub merupakan akibat
darikhithab tersebut dan wajib adalah perbuatan
yang dituntut oleh khithab Allah.
Tuntutan yang terdapat
dalam ayat di atas adalah tuntutan untuk melakukan shalat,
yang berarti perintah mengerjakannya. Perintah tersebut dikategorikan wajib
karena diulang-ulang dalam Al-Qur’an. Pengulangan perintah menunjukkan
ketegasan atau kepastian tuntutan, sehingga menyebabkan perintah melaksanakan
salat adalah wajib. Ketegasan perintah juga didukung adanya ancaman atau sanksi
bagi mereka yang tidak melaksanakannya.
Selain itu, pada perintah mengerjakan shalat
ditemui keterangan lain dalam ayat Al-Qur’an yang menguatkan tuntutan tersebut,
yaitu:
فويل للمصلين . الذين
هم عن صلاتهم ساهون[10]
“Maka neraka (wail) untuk orang-orang yang
shalat, (yaitu) orang-orang yang melalaikan shalatnya”.
A. Pembagian ijab :
1) Berdasarkan
orang yang membebani Ijab dibagi menjadi dua, yaitu ain dankifa’i
(kifayah). Wajib aini (disebut juga fardu ‘ain) adalah kewajiban
yang membebani kepada tiap-tiap individu. Wajib kifai (disebut
juga fardu kifayah) adalah kewajiban yang ditujukan kepada
kesuluruhan mukallaf, bukan masing-masing mukallaf. Disebut juga dengan
kewajiban kolektif, yang pelaksanaannya menggunakan asas representative.
2) berdasarkan kandungan perintahnya, Ijab dibagi dua, yaitu: mu’ayyan danmukhayyar. Mu’ayyan adalah
kewajiban yang terkait dengan sesuatu yang diperintahkan, seperti salat, puasa.
Kewajiban jenis ini sudah ditentukan oleh Syari’, sehingga tidak memberikan
alternatif kewajiban lain bagi mukallaf. Mukhayyar adalah
kewajiban tertentu yang dapat dipilih oleh mukallaf, seperti kewajiban
membayar kafarat, apakah memilih puasa, memerdekkan budak, atau
member makan orang miskin. Kewajiban mukallaf adalah melaksanakan salah satu
dari alternatif yang diberikan oleh Syari’.
3) Berdasarkan
waktu pelaksanaannya, Ijab dibagi dua, yaitu: mutlaq danmu’aqqat.
Wajib mutlaq adalah suatu yang dituntut Syari’ untuk
dilaksanakan mukallaf tanpa ditentukan waktunya, artinya bisa dilakukan kapan
saja. Contohnya: membayar
kafarat karena melanggar sumpah. Syari’ tidak member acuan waktu, tetapi hanya
menetapkan jenis kewajibannya. Wajib mu’aqqat adalah kewajiban
yang harus dilaksanakan mukallaf pada waktu-waktu tertentu dan harus
dilaksanakan pada waktunya. Contohnya seperti shalat fadu, puasa Ramadhan, dan
haji. Syari’ dalam hal ini menetapkan jenis kewajiban dan waktu pelaksanaannya.
4) Berdasarkan
ukuran yang diwajibkan, Ijab dibagi dua, yaitu: wajibmuhaddad dan
wajib ghairu muhaddad. Muhaddad artinya suatu kewajiban yang
ukurannya ditentukan oleh Syari’, seperti jumlah rakaat salat, jumlah harta
yang dizakat. Ghairu muhaddad adalah kewajiban yang ukurannya
tidak ditentukan oleh Syari’, tetapi diserahkan kepada para ulama, seperti:
hukuman ta’zir. Wajib jenis ini rincian atau detil operasionalnya menjadi
lapangan ijtihad bagi umat Islam.
b. Nadb
Nadb adalah tuntutan untuk melaksanakan perbuatan tetapi tidak secara
pasti. Ketidakpastian tuntutan pelaksanaannya menjadikan perintah
tersebut tidak bernilai wajib, tetapi hanya bersifat anjuran. Dari sisi pelaksanaan,
ulama menganggap hukum jenis ini lebih baik dilaksanakan,
karena mendatangkan maslahah atau manfaat bagi pelakunya. Perbuatan yang
dituntut namanyamandup, sedangkan akibat perbuatannya disebut nadb.
Contohnya perintah mencatat transaksi bagaimana disebutkan dalam al Qur’an surat
Al-Baqarah ayat 282:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوه
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوه
“Hai orang-orang yang beriman jika diantara kamu terjadi
transaksi hutang piutang untuk jangka waktu tertentu, maka catatlah (transaksi
tersebut)”.
Perintah dalam ayat di atas, menurut ulama, tidak bernilai
wajib, meskipun berupa tuntutan untuk melaksanakan pencatatan transaksi. Hal
ini dikarenakan perintah tersebut tidak dikuatkan oleh petunjuk (qarinah) lain,
seperti pengulang atau adanya sanksi bagi yang tidak melaksanakan, sehingga
tuntutannya hanya merupakan anjuran bukan kewajiban.
B. Pembagian Nadb
:
1) Muakkadah, yaitu tuntutan
untuk melaksanakan, dimana orang yang meninggalkannya tidak berdosa tetapi
mendapat cela. Contoh: pelaksanaan salat Id, qabliyah subuh, ba’diyah Magrib.
2) Gairu Muakkdah, yaitu tuntutan
untuk melaksanakan, dimana orang yang meninggalkannya tidak berdosa dantidak
mendapat cela. Contoh: salat sunnah qabliyah zuhur.
3) Zaidah (zawaid), yaitu sunnah pelengkap, seperti kesopan
santunan.
c. Ibahah
Ibahah adalah tuntutan Allah yang mengandung
pilihan antara berbuat atau tidak berbuat. Hukum jenis ini member keleluasaan
kepada mukallaf, apakah melaksanakan atau tidak melaksanakan tuntutan tersebut.
Secara asal, hukum ini memberikan dampak yang sama antara melakukan atau
meninggalkan, sehingga bagi mukallaf pilihannya disesuaikan dengan kondisi
masing-masing. Akibat dari tuntutannya disebut ibahah, sedangkan
perbuatannya dinamakanmubah. Contohnya adalah hukum mencari rizki
setelah selesai jum’at seperti yang tercantum dalam surat Jumuah ayat 10:
“dan kamu sudah selesai menunaikan salat jumat maka
bertebaranlah di muka bumi dan carilah rizki Allah, serta banyaklah mengingat
Allah agar kamu beruntung”.
Perintah dalam ayat di
atas (mencari rezeki setelah salat jum’at) tidak dimaknai wajib maupun mandup,
karena terrdapat pilihan tuntutan dalam kandungan ayatnya. Pilihan tersebut
berupa bertebaran (melakukan apa saja), mencari rezeki (kembali bekerja), dan
memperbanyak zikir. Adanya beberapa pilihan trsebut menunjukkan bahwasanya
perintah di atas berkonotasi mubah, sehingga mukallaf boleh memilih antara
melkukan atau meninggalkan, sesuai dengan situasi dan kondisi mukallaf.
Pembagian Mubah:
1) Mubah yang berfungsi menghantarkan sesuatu yang wajib, misalnya
makan dan minum agar kuat dalam menjalankan ibadah.
2) Perbuatan mubah yang dilaksanakan sesekali, tetapi haram jika
dilaksanakan setiap hari, seperti: mendengarkan music.
3) Perbuatan mubah yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan yang
mubah juga, seperti membeli perabotan rumah.
d. Karahah
Karahah adalah tuntutan untuk meninggalkan
tetapi redaksinya tidak pasti. Akibat perbuatannya namanya karahah, sedangkan
perbuatannya disebutmakruh. Hukum kategori ini merupakan kebalikan dari
hukum nadb. Jika nadbberisi anjuran untuk melaksanakan
suatu perbuatan, maka karahah berisi anjuran untuk
meninggalkan suatu perbuatan. Meninggalkan perbuatan yang mukallaf. Contohnya
menanyakan sesuatu yang menyulitkan, sebagaimana disebut dalam al-Qur’an surat
Al-Maidah ayat 101:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu menanyakan (kepada
nabimu) sesuatu yang menyulitkan bagimu”.
Pembagian Karahah.
1) Karahah Tanzih, yaitu sesuatu yang dituntut untuk
ditinggalkan tetapi dengan dalil yang tidak pasti atau zany. Contohnya adalah
hukum memakai emas dan setera bagi laki-laki, karena didasarkan pada hadis
Ahad.
2) Karahah Tahrim, yaitu sesuatu yang dituntut untuk
ditinggalkan tetapi dengan dalil yang pasti, tetapi kekuatannya zany. Contohnya
adlah melakukan jual beli pada waktu pelaksanaan salat jum’at.
e. Tahrim
Tahrim adlah tuntutan secara pasti untuk tidak
melaksanakan perbuatan. Perintah yang terkandung dalam hukum ini adalah
meninggalkan perbuatan yang disebutkan. Prinsip tahrim berkebalikan
dengan ijab. Jika ijab menurut secara tegas kepada mukallaf
untuk melaksanakan suatu perbuatan, makatahrim secara tegas
menuntut mukallaf untuk meninggalkan. Akibat dari tuntutan hukum disebut hurmah, sedangkan
perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan dinamakan haram.
Contohnya larangan membunuh, seperti yang tercantum dalam surat an-Nisaa’ ayat
93 yaitu:
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang
mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahannam, kekal ia di
dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab
yang besar baginya”.
Tuntutan di atas berupa perintah untuk
meninggalkansesuatu yaitu melakukan pembunuhan. Perintah dalam ayat di atas
sangat tegas, sehingga mengakibatkan hukum haram. Ketegasan tersebut
ditunjukkan dengan adanya ancaman bagi pelaku pembunuhan. Oleh Karena itu ulama
menyimpulkan berdasarkan tuntutannya, maka pembunuhan adalah haram (dilarang
keras) dalam Islam.
Pembagian Tahrim:
1) Tahrim lizatih, yaitu keharaman yang sejak semula
ditetapkan oleh Syari’, seperti zina.
2) Tahrim
Ligairih, yaitu sesuatu yang asalnya tidak diharamkan,
tetapi karena ada hal yang menyertainya sehingga menyebabkan keharamannya,
seperti jual beli pada saat azan jum’at, karena bisa membuat orang melupakan
salat jum’at.
Adapun
pembagian diatas menurut para ulama’ jumhur, yang mengartikan wajib,
fardlu, dan maktubah itu sama yaitu: “sesuatu yang berkaitan dengan hukuman
bagi yang meninggal perkara itu” Seperti keterangan dalam kitab Al-Lumma’ fi Ushul
al-Fiqh karangan Imam Abi Ishaq As-Syirazy:
Sedangkan
menurut ulama’ Hanafiyah berbeda dalam memandang wajib dan fardlu:
وقال أصحاب أبي حنيفة الواجب ما ثبت وجوبه
بدليل مجتهد فيه كالوتروالأضحية عندهم والفرض ما ثبت وجوبه بدليل مقطوع به
كالصلوات الخمس والزكوات المفروضة[12]
Ulama’ Hanafiyah tidak
menganggap wajib dan fardlu itu identik secara syar’i meskipun ada sifat
identiknya secara lughowi dengan sebagian maksudnya. Disamping itu ulama’
hanafiyah setuju dengan jumhur ulama’ dalam hal keharusan melakukan keduanya.
Fardlu
menurut ulama’ Hanafiyah ialah tuntutan untuk memperbuat dalam bentuk pasti dan
tuntutan itu ditetapkan dengan dalil yang qath’i serta tidak mengandung
keraguan. Adapun wajib adalah tuntutan untuk memperbuatnya yang ditetapkan
dengan dalil zhanni tetapi masih mengandung keraguan.
Perbedaan
antara ulama’ Hanafiyah dengan jumhur dalam wajib dan fardlu ini bukan hanya
sekedar perbedaan dalam peristilahan atau perbedaan teoritis saja, tetapi ada
perbedaan praktis dalam hukum. Contohnya seperti membaca surat al-fatihah dalam shalat adalah
fardlu atau wajib menurut jumhur ulama’. Karenanya, batal shalat orang yang
tidak membaca al-Fatihah. Menurut ulama’ Hanafiyah membaca al-Fatihah dalam
shalat adalah wajib karena ditetapkan dengan dalil yang zhanni, dalam hal ini
adalah hadis Nabi yang berbunyi:
لا صلاة لمن لم يقرأ
بفاتحة الكتاب[13]
“tidak sah shalat
orang yang tidak membaca al-Fatihah”
Karena itu, orang yang
tertinggal membaca al-Fatihah tidak shalatnya, hanya karena ia meninggalkan
perbuatan wajib ia berdosa. Yang dapat membatalkan shalat ialah tidak membaca
ayat al-Qur’an dalam shalat, baik surat al-fatihah maupun ayat-ayat lainnya,
karena membaca al-Qur’an itu hukumnya adalah fardlu sebab ditetapkan dengan
dalil yang qath’i yaitu firman Allah:
فاقرؤاماتيس من القرأن[14]
“Maka bacalah apa yang mudah dari ayat
Al-Qur’an
Sebagian
ulama’ berpendapat bahwa perbedaan pendapat antara jumhur ulama’ dengan ulama’
Hanafiyah dalam hal perbedaan fardlu dan wajib itu hanya bersifat teoritis dan
tidak ada pengaruhnya dalam hukum, karena ulama’ hanafiyah dan lainnya tidaklah
berbeda dalam hal adanya perbedaan kekuatan dalil dari segi qath’i dan
zhanni-nya. Juga karena ulama’ Syafi’iyah sendiri menafsirkan firman Allha
dalam surat Al-Muzammil ayat 20 itu dengan membaca al-Fatihah, sehingga
dikalangan ulama Hanafiyah (ulama-ulama yang bermazhab Hanafi), hukum taklifi
dibagi menjadi tujuh kategori, yaitu:
1. Iftiradh, yaitu tuntutan pasti untuk melaksanakan suatu
perbuatan berdasarkan dalil qat’y. Contohnya kewajiban shalat (fardu).
2. Ijab, yaitu tuntutan pasti untuk melaksanakan suatu perbuatan
berdasarkan dalil zany. Contohnya membaca fatihah dalam shalat.
3. Nadb, pengertiannya sama dengan nadb yang
dimaksud dalam pembagian jumhur.
4. Ibahah, pengertiannya sama dengan ibahah yang
dijelaskan oleh jumhur.
5. Karahah Tanzihiyah, yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu
perbuatan tetapi tidak pasti (sama dengan karahah menurut
jumhur).
6. Karahah Tahrimiyah, yaitu tuntutan pasti untuk meninggalkan
suatu perbuatan berdasarkan dalil zany. Contohnya jual belli waktu shalat
jum’at.
7. Tahrim, yaitu tuntutan pasti untuk meninggalkan suatu
perbuatan berdasarkan dalil qat’y.
2. Hukum Wadl’i dan Pembagiannya
Hukum wadl’i
ialah Titah atau khithab Allah yang menjadikan sesuatu
sebagai sebab-sebabnya yang lain (musabbab), atau sebagai syarat yang lain atau
sesuatu yang menuntut sesuatu sebagai sebab atau syarat atau pencegah dari
sesuatu yang lain titah Allah yang berbentuk wad’i sebuah ketentuan yang
ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur perbuatan mukallaf, tetapi berkaitan
dengan perbutan orang mukallaf itu. Seperti tergelincirnya mataharimenjadi
sebab masukknyawaktu dzuhur.
Hukum
wad’i bukanlah dalam bentuk tuntutan, tetapi dalam bentuk ketentuan yang
ditetapkan pembuat hukum sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hukum taklifi
atu merupakn akibat dari pelaksanaan hukum taklifi itu.
Hukum
wad’i ada beberapa macam, yaitu:
a. ‘’
sebab’’((السبب sesuatu yang
diteyapkan oleh pembuat hukum menjadi sebab terjadinya hukum taklifi. Bila sbab
itu terdapat, berlangsunglah hukum taklifi; seandainya sebab itu tidak ada maka
ukum taklifi tidak ada. Umpamanya kewajiban shalat magrib dikaitkan dengan
tenggelamnya matahari. Tenggelamnya matahari diebut sebab bagi hukum taklifi,
yaitu kewajiban melakukan shalat magrib.
b. ‘’
syarat’’sesuatu yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi syarat terdapatnya
hukum taklifi. Bila syarat itu belum terpenuhi, maka kewajiban belum ada atau
perbuatan itu belum dianggap ada. Umpamanya cukupnya ukuran nisab pada harta
menjadi syarat bagi adanya kewjiban zakat. Adanya perbuatan wudlu’ menjadi
syarat adanya perbuatan shalat. Hukum wadl’i dalam hal ini maka disbut syarat.
c. ‘’mani’
‘’sesuatu yang dijadikan pembuat hukum sabagai penghalang berangsungnya hukum
taklifi. Bila hal tersebut ada pada waktu pelaksanaan hukum taklifi, maka hukum
itu menjadi tidak berlaku. Dalam hukum wadl’i ini disebut mani’ atau panghalang.
Umpamanya keadaan haidnya seorang wanita menyebabkn tidak berlakunya shalat dan
puasa. Meskipun telah ada sebab kewajiban shalat dan telah ada pula syarat yang
menyertainya, namun dalm keadan adanya mani’ hukum wajib atau shah itu tidak
berlaku lagi bagi yang berhalangan itu.
Termasuk
ke dalam kelompok hukum wad’i, juga hal-hal yang menjadi akibat dari
pelaksanaan hukum taklifi dalam hubungannya dengan hukum wad’i, yaitu:
a. ‘’Shah’’,
yaitu akibat hukum dari sesuatu perbuatan taklifi yang sudah berlaku padany
sebab, sudah terpenuhi syarat-syarat yang ditentukan dan telah terhindar dari
segala mani’.Umpamanya shalat dzuhur telah dilakukan setelah tergelincirnya
matahari setelah melakukan wudlu’ serta syarat lainnya dan dilakukan oleh
orang-arang yang tidak haid dan halangan lainnya.
b. ‘’
Bathal’’, yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi sebab
atau syarat; atau terpenuhi keduanya tetapi terdapat padanya mani’. Umpamanya
shalat magrib sebelum tergelincir matahari; atau tidak memakai wudlu’ atau
sudah ada keduanya tetapi dilakukan oleh wanita yang sedang haid.
Termasuk
juga dalam pembahasan hukum wadl’i pelaksanaan hukum taklifi dalam hubungannya
dengan dalil yang mengaturnya.
a. ‘’Azimah’’,
yaitu pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil umum tanpa memandang kepada
keadaan mukallaf yang melaksanakanya. Seperti haramnya bangkai untuk semua umat
islam dalam keadaan apapun.
b. ‘’Rukhshah’’,
yaitu pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil yang khusus sebagai
pengecualian dari dalil umum karena dalam keadaan tertentu. Umpamanya bolehnya
seseorang dalam keadaan darurat memakan bangkai, meskipun secara umum memakan
bangkai itu hukumnya haram.
C. Hubungan Taklifi dan Wadl’i
Melihat
dari pembahasan di atas tentang hukum Taklify dan hukum Wad’y, dapat di
simpulkan bahwa kedua kategori hukum itu saling berhubungan. Dalam tataran
implementasinya, perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh mukallaf harus
didukung oleh aturan-aturan dalam hukum Wad’y. keberadaan dua hukum tersebut
terintegrasi dalam hukum syara’, yang menjadi panduan mukallaf dalam
menjalankan ajaran agama Islam. Oleh karena itu, dalam menetukan sebuah hukum
atau salah satu ibadah bahwa itu di katakan sah atau batal adalah
dari penilaian terhadap pelaksanaan hukum taklify, apakah didukung keberadaan
hukum wad’y atau tidak. Karena pelaksanaan hukum taklify yang didukung oleh
terpenuhinya ketetapan hukum wad’y, maka nilainya sah. Contohnya adalah sahnya
salat zuhur ditentukan apabila terpenuhi sabab, syarat, dan tidak ada mani’
atau penghalang dan salat zuhur tidak sah alias batal, apabila tidak terpenuhi
sabab atau syaratnya, atau ada penghalang (mani’)nya.
Berdasarkan
contoh tadi, maka bisa di jelaskan bahwa di antara hukum taklify dan hukum
wad’y itu tidak bisa di pisahkan dalam menentukan sebuah hukum
syar’i.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, ‘Abdul Wahhab. ‘Ilmu
Ushul Al-Fiqh. Al-Haramain:
Ibrahim bin Ali bin Yusuf As-Syirazy
Al-Fairuzzabady As-Syafi’i,
Al-Imam Abi Ishaq.Syarh Al-Lumma’
Fi Ushul Al-Fiqh, Al-Hidayah: Surabaya,
Sodiqin, Dr. Ali. Fiqh Ushul
Fiqh, Beranda: Yogyakarta, 2012.
Syarifuddin, Prof. Dr. H. Amir. Ushul
Fiqh, Kencana: Jakarta, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar