20 April, 2016

KONSEP TA'ARUF PERSPEKTIF TAFSIR AL-MIZAN ATH-THABARHABA'I


PENDAHULUAN

Ukhuwah insaniyah, sebagian kalangan menyebutnya ukhuwah basyariyah, adalah persaudaraan berdasarkan kesamaan sebagai manusia. Al-Qur’an sudah menyinggung tentang hal ini. Antara lain pada surah al-Hujurat ayat 13 yang menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia terdiri dari lelaki dan perempuan, menjadikan beragam bangsa dan suku dengan tujuan agar mereka saling mengenal (ta`aruf).
Kata ta`aruf, menurut Ibn Faris dalam kitab Mu’jam Maqayis al-Lughah, mengandung arti dasar beriringan, ketenangan, dan pengetahuan. Dari sini  muncul kata `urf yang artinya adat atau kebiasaan yang dilakukan seseorang atau sekelompok masyarakat. Sesuatu yang sudah menjadi biasa akan membawa ketenangan kepada mereka.
Berdasarkan arti bahasa tersebut, dapat dikatakan bahwa manusia, tanpa membedakan ras, agama, atau apa pun, adalah sama-sama manusia yang perlu saling mengenal (ta’aruf”), karena punya hajat bersama yang saling terkait. Perkenalan ini sampai pada tahap mengerti adat istiadat masing-masing yang akan berdampak pada kondisi saling memahami (tafahum). Setelah saling memahami maka manusia akan mudah untuk saling tolong menolong (ta`awun) dalam segala bentuk kebaikan.
Saling tolong menolong dalam kebaikan (al-birr) dan ketakwaan kepada Allah merupakan salah satu inti ajaran Islam (al-Maidah: 3). Kebaikan dalam menata masyarakat, lingkungan, pemberdayaan manusia, dan lain sebagainya tidak akan bisa tercipta kecuali jika manusia hidup secara harmonis.
Dalam makalah ini penulis akan memaparkan tentang para pemikir-pemikir islam dalam menafsirkan konsep ta’aruf yang digagas al-Qur’an dalam surat alhujurat ayat 13. Yang didalamnya berisi tentang perkembangan konsep pemikiran di dunia islam era modern yang memposisikan ayat ini sebagai dalil pluralisme dan nasionalisme







pembahasan

konsep ta’aruf surat al-hujurat ayat 13

$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesunggguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengena.
(QS al-Hujurat [49]: 13).

            Pada masa Nabi Muhammad SAW persaudaraan sesama warga negara sudah terjadi. Nabi memprakarsai sebuah kesepakatan bersama yang dikenal dengan Piagam Madinah. Piagam ini berisi prinsip-prinsip dan aturan bermasyarakat di antara penduduk Madinah yang majemuk.
            Ukhuwah diniyah bisa diartikan sebagai persaudaraan atau kerukunan antar umat beragama. Berdasarkan fitrahnya, manusia adalah makhluk yang percaya kepada adanya Zat yang menciptakan alam semesta (al-`Ankabut: 61). Mulanya semua manusia  bertauhid (ummah wahidah), tapi pada perkembangannya mereka berselisih dan menyalahi ajaran tauhid. Maka Allah pun mengutus para nabi dan rasul untuk mengembalikan mereka ke jalan yang benar. (al-Baqarah: 213 ).
Al-Qur’an menegaskan keniscayaan adanya keragaman dalam berbagai macam hal, seperti agama, bahasa, ras, dan lain sebagainya . Di sisi lain, Al-Qur’an juga tidak membolehkan pemaksaan dalam beragama, karena yang haq dan yang batil sudah jelas. Dengan melihat kenyataan semacam itu, Islam memandang bahwa hubungan yang harmonis diantara para penganut agama di dunia harus diciptakan dan dibina, agar kehidupan bisa berjalan dengan baik.

A.     Sabab Nuzul Surat Al-Hujurat Ayat 13

Ibnu al-Mundzir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Mulaikah: KetikaFath Makkah, Bilal naik ke atas Ka‘bah dan mengumandangkan azan. Sebagian orang berkata, “Budak hitam inikah yang azan di atas punggung Ka‘bah?” Yang lain berkata, “Jika Allah membencinya, tentu akan menggantinya.” Lalu turunlah ayat ini.[1]
Abu Dawud dan al-Bayhaqi meriwayatkan dari az-Zuhri, ia berkata: Rasulullah saw. menyuruh kaum Bani Bayadhah untuk mengawinkan salah seorang wanita mereka dengan Abu Hindun. Dia adalah tukang bekam Rasulullah saw. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, pantaskah kami mengawinkan putri-putri kami dengan maula kami?” Lalu turunlah ayat kami.
Meskipun berbeda, kedua sabab nuzûl ini mengisyaratkan bahwa ayat ini turun sebagai larangan memuliakan atau melecehkan manusia berdasarkan keturunan, kesukuan, maupun kebangsaan.

B.     Tafsir Ayat

Allah Swt. berfirman: 
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur
 (Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan). Al-Jazairi menyatakan, seruan ini merupakan seruan terakhir dalam surat al-Hujurat. Dibandingkan dengan seruan-seruan sebelumnya yang ditujukan kepada orang-orang beriman, seruan ini lebih umum ditujukan kepada seluruh manusia (an-nâs).
Pertama: Allah Swt. mengingatkan manusia tentang asal-usul mereka; bahwa mereka semua adalah ciptaan-Nya yang bermula dari seorang laki-laki dan seorang perempuan (min dzakar wa untsâ). Menurut para mufassir, termasuk didalamnya ath-thababa’i dalam almizan menyatakan bahwa dzakar wa untsâ ini maksudnya adalah Adam dan Hawa. Seluruh manusia berpangkal pada bapak dan ibu yang sama, karena itu kedudukan manusia dari segi nasabnya pun setara. Konsekuensinya, dalam hal nasab, mereka tidak boleh saling membanggakan diri dan merasa lebih mulia daripada yang lain. Tidak ada diskriminasi warna kulit putih, hitam, arab ataupun non arab ataupun yang lainnya. [2] 
Menurut mufassir lain, kata dzakar wa untsâ juga bisa ditafsirkan seorang bapak dan seorang ibu; atau sperma laki-laki dan ovum perempuan. Karena berasal dari jenis dan bahan dasar yang sama, berarti seluruh manusia memiliki kesamaan dari segi asal-usulnya.[3]
Fakhruddin ar-Razi memberikan paparan menarik. Menurutnya, segala sesuatu bisa diunggulkan dari yang lain karena dua factor: (1) faktor yang diperoleh sesudah kejadiannya seperti kebaikan, kekuatan, dan berbagai sifat lain yang dituntut oleh sesuatu itu; (2) faktor sebelum kejadiannya, baik asal-usul atau bahan dasarnya maupun pembuatnya; seperti ungkapan tentang bejana: “Ini terbuat dari perak, sementara itu terbuat dari tembaga”; “Ini buatan Fulan, sedangkan itu buatan Fulan.”
: {إِنَّا خَلَقْنَـاكُم} فائدة ؟ نقول نعم ، وذلك لأن كل شيء يترجح على غيره ، فإما أن يترجح بأمر فيه يلحقه ، ويترتب عليه بعد وجوده ، وإما أن يترجح عليه بأمر هو قبله ، والذي بعده /كالحسن والقوة وغيرهما من الأوصاف المطلوبة من ذلك الشيء ، والذي قبله فإما راجع إلى الأصل الذي منه وجد ، أو إلى الفاعل الذي هو له أوجد ، كم يقال في إناءين هذا من النحاس وهذا من الفضة ، ويقال هذا عمل فلان ، وهذا عمل فلان
Firman Allah Swt., Inna khalaqnâkum min dzakar wa untsâ, menegaskan bahwa tidak ada keunggulan seseorang atas lainnya disebabkan perkara sebelum kejadiannya. Dari segi bahan dasar (asal-usul), mereka semua berasal dari orangtua yang sama, yakni Adam dan Hawa. Dari segi pembuatnya, semua diciptakan oleh Zat yang sama, Allah Swt. Jadi, perbedaan di antara mereka bukan karena faktor sebelum kejadiannya, namun karena faktor-faktor lain yang mereka peroleh atau mereka hasilkan setelah kejadian mereka. Perkara paling mulia yang mereka hasilkan itu adalah ketakwaan dan kedekatan mereka kepada Allah Swt. [4]

{ وجعلناكم شُعُوباً وَقَبَائِلَ } الشعوب جمع شعب بفتح الشين وسكون العين وهم الجمع العظيم المنتسبون إلى أصل واحد ، وهو يجمع القبائل ، والقبيلة تجمع العمائر
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Waja‘alnâkum syu’ûb[an] wa qabâ`il[an] lita’ârafû (dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal). Kata syu‘ûb (jamak dari sya‘b) dan qabâ'il (jamak dari qabîlah) merupakan kelompok manusia yang berpangkal pada satu orangtua (keturunan). Sya‘b adalah tingkatan paling atas, seperti Rabi‘ah, Mudhar, al-Aws, dan al-Khajraj. Tingkatan di bawahnya adalah qabîlah, seperti Bakr dari Rabi‘ah, dan Tamim dari Mudhar.[5] Ke bawahnya masih ada empat tingkatan, yakni: al-imârah, seperti Syayban dari Bakr, Daram dari Tamim, dan Quraysy; al-bathn, seperti Bani Luay dari Qurays, Bani Qushay dari Bani Makhzum; al-fakhidz, seperti Bani Hasyim dan Bani Umayyah dari Bani Luay; dan tingkatan terendah adalah al-fashîlah atau al-‘asyîrah, seperti Bani Abd al-Muthallib.
Jumlah manusia akan terus berkembang hingga menjadi banyak suku dan bangsa yang berbeda-beda. Ini merupakan sunatullah. Manusia tidak bisa memilih agar dilahirkan di suku atau bangsa tertentu. Karenanya, manusia tidak pantas membanggakan dirinya atau melecehkan orang lain karena faktor suku atau bangsa.
Ayat ini menegaskan, dijadikannya manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling mengenal satu sama lain (lita’ârafû). Menurut al-Baghawi dan al-Khazin, ta‘âruf itu dimaksudkan agar setiap orang dapat mengenali dekat atau jauhnya nasabnya dengan pihak lain, bukan untuk saling mengingkari.[6]
وفي هذه الآية دليل على أن معرفة الأنساب، مطلوبة مشروعة، لأن الله جعلهم شعوبًا وقبائل، لأجل ذلك
Berdasarkan ayat ini, Abd ar-Rahman as-Sa’di menyatakan bahwa mengetahui nasab-nasab merupakan perkara yang dituntut syariat. Sebab, manusia dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku memang untuk itu. Karena itu, seseorang tidak diperbolehkan menasabkan diri kepada selain orangtuanya.
Dengan mengetahui nasab, berbagai hukum dapat diselesaikan, seperti  hukum menyambung silaturahmi dengan orang yang memiliki hak atasnya, hukum pernikahan, pewarisan, dan sebagainya. Di samping itu, taaruf juga berguna untuk saling bantu. Dengan saling bantu antar individu, bangunan masyarakat yang baik dan bahagia dapat diwujudkan.[7]
Setelah menjelaskan kesetaraan manusia dari segi penciptaan, keturunan, kesukuan, dan kebangsaan, Allah Swt. menetapkan parameter lain untuk mengukur derajat kemulian manusia, yaitu ketakwaan. Kadar ketakwaan inilah yang menentukan kemulian dan kehinaan seseorang: Inna akramakum ‘inda Allâh atqâkum.
Mengenai batasan takwa, menurut pendapat yang dikutip al-Khazin, ketakwaan adalah ketika seorang hamba menjauhi larangan-larangan; mengerjakan perintah-perintah dan berbagai keutamaan; tidak lengah dan tidak merasa aman. Jika khilaf dan melakukan perbuatan terlarang, ia tidak merasa aman dan tidak menyerah, namun ia segera mengikutinya dengan amal kebaikan, menampakkan tobat dan penyesalan. Ringkasnya, takwa adalah sikap menetapi apa-apa yang diperintahkan dan menjauhi apa-apa yang dilarang.
Banyak ayat dan hadis yang juga menjelaskan bahwa kemuliaan manusia didasarkan pada ketakwaan semata. Rasulullah saw. pernah bersabda:
«يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلاَ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلاَ ِلأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى. أَبَلَّغْتُ؟»
Wahai manusia, ingatlah bahwa sesungguhnya Tuhan kalian satu, bapak kalian juga satu. Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab, orang non-Arab atas orang Arab; tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, orang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan. Apakah saya telah menyampaikan? (HR Ahmad).
(إن الله عليم خبير) فيه تأكيد
لمضمون الاية وتلويح إلى أن الذي اختاره الله كرامة للناس كرامة
حقيقية اختارها الله بعلمه وخبرته بخلاف ما اختاره الناس كرامة
وشرفا لانفسهم فإنها وهمية باطلة فإنها جميعا من زينة الحياة
الدنيا قال تعالى: (وما هذه الحياة الدنيا إلا لهو ولعب وإن الدار
الاخرة لهي الحيوان لو كانوا يعلمون)[8]
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Inna Allâh ‘alîm[un] khabîr[un](Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal). Penyebutan dua sifat Allah Swt. di akhir ayat ini dapat mendorong manusia memenuhi seruan-Nya. Dengan menyadari bahwa Allah Swt. mengetahui segala sesuatu tentang hamba-Nya, lahir-batin, yang tampak maupun yang tersembunyi, akan memudahkan baginya melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.

C.     Nilai Pluralisme dan Nasionalisme dalam ayat
Dikalangan para pemikir islam era modern atau sering disebut dengan  ulama kontemporer, khususnya di kalangan pemikir barat, ayat ini seringkali dijadikan sebagai salah satu media penyokong peluncuran faham pluralisme. Namun penulis sedikit akan koreksi akan hal itu.
Penulis berasumsi bahwa Ayat ini jelas tidak bisa dijadikan dalil mengenai absahnya pluralisme atau juga nasionalisme berlebihan menurut Islam. Jika saja nasionalisme membangkitkan sentimen dan fanatisme kebangsaan, ayat ini justru menentang  segala hal yang mengunggulkan kelompok manusia atas dasar kebangsaan, kesukuan, dan keturunan. Jika nasionalisme menjadikan perbedaan bangsa sebagai alasan untuk memecah-belah manusia, ayat ini justru sebaliknya. Perbedaan bangsa itu harus digunakan untuk upaya saling mengenal: lita’ârafû.
Rasulullah saw. pun menjadikan ayat ini sebagai dalil untuk mencabut paham Jahiliyah ini dari kaum muslim. Ketika Fath Makkah beliau berkhutbah, sebagaimana dituturkan Ibn Umar:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَتَعَاظُمَهَا بِآبَائِهَا فَالنَّاسُ رَجُلاَنِ بَرٌّ تَقِيٌّ كَرِيمٌ عَلَى اللهِ وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ هَيِّنٌ عَلَى اللهِ وَالنَّاسُ بَنُو آدَمَ وَخَلَقَ اللهُ آدَمَ مِنْ تُرَابٍ. قَالَ اللهُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى....
Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah melenyapkan dari kalian kesombongan Jahiliyah dan saling berbangga karena nenek moyang. Manusia itu ada dua kelompok. Ada yang salih, bertakwa, dan mulia di hadapan Allah. Ada pula yang fasik, celaka, dan hina di hadapan Allah Swt. Manusia itu diciptakan Allah dari Adam dan Adam dari tanah. Allah Swt. berfirman: Yâ ayyuhâ an-nâs innâ khalaqnâkum min dzakar wa untsâ…. (HR at-Tirmidzi).

Jika dikaji secara intens, ayat ini meiliki nilai yang sangat krusial mengenai pesan pluralisme dalam kehidupan, atau perbedaan dalam segala hal. Namun disisi lain Ayat ini  menjadi kuarang tepat untuk  ditarik sebagai media yang membenarkan pluralisme secara agama atau keyakinan. Pluralisme adalah pendirian filosofis tertentu dalam menyikapi keanekaragaman kehidupan. Menurut paham pluralisme, keragaman keyakinan, nilai, gaya hidup, dan klaim kebenaran individu harus dipandang sebagai sesuatu yang setara (equal). Dalam pluralisme agama, misalnya, semua agama harus dipandang sama dan tidak ada yang lebih dari yang lain.
Pandangan tersebut jelas bertentangan dengan ayat ini. Ayat ini tidak menyikapi semua keragaman dengan sikap yang sama. Terhadap keragaman fisik, jenis kelamin, nasab, suku, dan bangsa, manusia dipandang setara; tidak ada yang lebih tinggi atau mulia dari yang lain. Sebab, faktanya, semua keragaman tersebut terjadi dalam wilayah yang tidak dikuasai manusia. Terhadap perkara-perkara tersebut, Allah Swt. menggunakan kata khalaqnâ (Kami menciptakan) dan ja‘alnâ (Kami menjadikan), yang menunjukkan tiadanya andil manusia di dalamnya. Karena itu, sewajarnya manusia tidak dinilai karena aspek tersebut.
Adapun terhadap keragaman manusia dalam kepercayaan, sikap, dan perilakunya, manusia tidak dipandang sederajat. Ada yang mulia dan ada yang hina, bergantung pada kadar ketakwaannya. Secara tegas ayat ini menyebut: Inna akramakum ‘inda Allâh atqâkum. Jika sebab kemuliaan manusia adalah ketaatannya kepada risalah Allah, dan pembangkangan menjadi sebab kehinaan, berarti yang haq hanyalah risalah Allah. Sebaliknya, semua keyakinan, nilai, gaya hidup, dan sistem kehidupan yang lain adalah batil; sesat dan menyesatkan. Jadi, jelas ayat ini menolak paham pluralisme yang menyejajarkan semua agama, pandangan hidup, dan sistem kehidupan.
















KESIMPULAN

Ayat 13 dalam surat al-hujurat ini berbicara tentang konsep pluralisme dan nilai  nasionalisme dalam kehidupan . Islam sangat memahami betul arti keberagaman. Penggunaan kata annas pada permulaan ayat ini menunjukan bahwa khitab yang dituju oleh ayat adalah keumuman manusia baik itu muslim, non-muslim, kulit putih ataupun kulit hitam. Yang berarti ayat ini menghapus secara langsung konsep diskriminasi baim secara turunan, bangsa ataupun yang lainnya.
Keberagaman merupakan sunnatullah didunia ini. Seseorang tidak dapat memilih dari suku atau ras mana ia dilahirkan, semuanya merupakan ketentuan Allah yang sarat dengan makna dan hikmah didalamnya. Nilai pluralisme dan Nasionalisme sangat kental pada permulaan ayat ini, yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dengan bersuku-suku, berbangsa-bangsa, yang semuanya bermula dari satu bapak dan ibu yaitu adam dan hawa. Namun seringakali konsep pluralisme dan nasionalisme ini berujung pada pemahaman yang kurang tepat, sehingga didalamnya sarat dengan kontroversi.
Ta’aruf, merupakan solusi yang ditawarkan ayat ini sebagai penyelesaian dari masalah diskriminasi pluralisme, dan nasionalisme. Perbedaan tidak harus selalu disikapi dengan angkuh, berbeda merupakan satu warna dalam kehidupan. Pernyataan tentang keberagaman dalam ayat ini berujung pada satu pernyataan yang sangan krusial. Suku, ras, bangsa tidak menjadi satu ukuran dalam klaim kebenaran, semuanya dinilai dengan Parameter taqwa. Sehingga ayat ini hanya berbicara tentang keberagaman (pluaralisme) dalam konsep kehidupan, bukan konsep keyakinan atau agama yang akhir-akhir ini sering dihembuskan para cendikiawan terutama para penganut “JIL”.
Nasionalisme pada suku, ras, khsusunya bangsa juga tidak untuk megumbar sikap sentimen dan fanatisme kebangsaan, karena ayat ini menentang semua itu didalamnya.
Wallahu a’lam






DAFTAR PUSTAKA

1.      Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V, Dar al-Fikr, Beirut, 1983;
2.      Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, IV/, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. t.t .
3.      Abu Bakr al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr li Kalâm al-‘Aliyy al-Kabîr, Nahr al-Khair, 1993..
4.      Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, IV/183, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995;
5.      Fakhruddin ar-Razi, at-Tafsîr al-Kabîr Aw Mafâtîh al-Ghayb, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1990.
6.       Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî,
7.      Abd al-Rahman al-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, , Alam al-Kutub, Beirut
8.      Thaba’thaba’i, Allamah Muhammad Husein, Tafsir al-Mizan jil: 1 hal: 192, Cet: Muassasah al-A’lami lil Mathbuaat, Beirut-Lebanon, thn: 1417 H / 1997 M.





[1] Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/69, Dar al-Fikr, Beirut, 1983;
[2] Thaba’thaba’i, Allamah Muhammad Husein, Tafsir al-Mizan jil: 1 hal: 192, Cet: Muassasah al-A’lami lil Mathbuaat, Beirut-Lebanon, thn: 1417 H / 1997 M.
[3] Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, IV/183, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995;
[4]Fakhruddin ar-Razi, at-Tafsîr al-Kabîr Aw Mafâtîh al-Ghayb,  XIV/118, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1990. Hal. 4119
[5] Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XIII/hal. 289
[6] al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, IV/195; al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, II/538; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, 184
[7] Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, V/131
[8] Thaba’thaba’i, Allamah Muhammad Husein, Tafsir al-Mizan jil: 1 hal: 192, Cet: Muassasah al-A’lami lil Mathbuaat, Beirut-Lebanon, thn: 1417 H / 1997 M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar