15 April, 2016

KONSEP MEMBANGUN GENERASI IDEAL PERSPEKTIF TAFSIR








MEMBANGUN GENERASI IDEAL II
Surat Al-Kahfi ayat 13-14
ß`øtªU Èà)tR y7øn=tã Nèdr't7tR Èd,ysø9$$Î/ 4 öNåk¨XÎ) îpu÷FÏù (#qãZtB#uä óOÎgÎn/tÎ/ óOßg»tR÷ŠÎur Wèd ÇÊÌÈ   $oYôÜt/uur 4n?tã óOÎgÎ/qè=è% øŒÎ) (#qãB$s% (#qä9$s)sù $uZš/u >u ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur `s9 (#uqããô¯R `ÏB ÿ¾ÏmÏRrߊ $Yg»s9Î) ( ôs)©9 !$oYù=è% #]ŒÎ) $¸ÜsÜx© ÇÊÍÈ  
Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita besar ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.
Dan Kami meneguhkan hati mereka diwaktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, "Tuhan Kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; Kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, Sesungguhnya Kami kalau demikian telah mengucapkan Perkataan yang Amat jauh dari kebenaran
Arti Kata :
r't7tR                    Berita besar
,ysø9$$Î/               Dengan sebenarnya
pu÷FÏù                  Pemuda-pemuda
Üt/uu                  Ikatan, Rabata Dabbah, artinya kamu mengikat binatang dengan tali[1]
$Yg»s9Î)                  Sesembahan yang lain, baik yang dianggap Tuhan yang berdiri sendiri, maupun yang dipersekutukan.

Munasabah ayat :
Munasabah ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya yaitu menceritakan tentang kisah para pemuda yang berjuang meneguhkan keimanan yang dipegangnya dari penguasa Dzalim. Salah satu keajaiban yang dialami para pemuda tersebut adalah, ditidurkannya mereka selama 300 tahun.[2] Dalam riwayat lain ada juga yang berpendapat bahwa meraka tinggal didalam Gua selama 309 tahun, ini hanya perbedaan penghitungan antara tahun hijriyah atau dan masehi saja.
Surah ini dinamai surah al-Kahfi yang secara harfiah berarti gua. Nama tersebut diambil dari kisah sekelompok pemuda yang menyingkir dari gangguan penguasa zamannya, lalu tertidur di dalam gua selama tiga ratus tahun lebih. Nama tersebut dikenal sejak masa Rasul saw., bahkan beliau sendiri menamainya demikian. Beliau bersabda: “Siapa yang menghafal sepuluh ayat dari awal surah al-Kahf maka dia terpelihara dari fitnah ad-Dajjâl” (HR. Muslim dan Abû Dâûd melalui Abû ad-Dardâ’). Sahabat-sahabat Nabi saw. pun menunjuk kumpulan ayat surah ini dengan nama surah al-Kahf. Riwayat lain menamainya dengan surah Ashhâb al-Kahfi.
Firman Allah di atas mengisyaratkan bahwa para pemuda Ashabul Kahfi adalah termasuk para pemuda pemberani untuk mempertahankan keimanan mereka, pemikiran mereka dan kepribadian mereka. Mereka adalah orang-orang yang teguh imannya, sehingga mereka berani melanggar aturan pemerintah yang melarang mereka meyakini agama tauhid. Meskipun jumlah mereka sedikit, tetapi keimanan mereka tetap teguh kepada Allah, sehingga Allah menambah petunjuk kepada mereka atas petunjuk yang sudah ada di kalbu mereka masing-masing dan mereka dijadikan sebagai pemuda-pemuda yang teguh keimanannya, seperti yang disebutkan dalam firman Allah berikut.
Para sejarawan Muslim dan Kristen sepakat bahwa pada tahun 98-117 M penguasa menindas pengikut Nabi Isa; dan pada tahun 112 M dibuat peraturan bahwa setiap orang yang menolak menyembah dewa-dewa dijatuhi hukuman sebagai pengkhianat dan bahkan dibunuh. Penguasa yang memerintah pada masa itu bernama Dikyanus. Kemudian, pada tahun 408-451 negeri itu dipimpin oleh penguasa bijaksana yang bernama Theodusius. Berdasarkan informasi historis ini, maka dapat dikompromikan dengan informasi Qur’ani, yaitu sekelompok pemuda itu menghindari diri dari penguasa zalim pada tahun 112 M, dan mereka tertidur selama 300 atau 309 tahun kemudian terbangun pada tahun 412  atau 421 M.[3]
Ayat 13 menginformasikan bahwa Allah-lah yang menceritakan kisah Ashabul Kahfi kepada Nabi Muhammad SAW. Ini berarti bahwa nabi tidak membuat atau mengarang cerita tersebut. Cerita mengenai Ashabul Kahfi benar-benar wahyu Allah, dan dengan demikian, membuktikan bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah; bukan dongeng atau perkataan Nabi Muhammad SAW. Ayat ini menegaskan bahwa mereka adalah para pemuda yang mendapat hidayah Allah sehingga karena mereka terus berupaya mempertahankan iman, Allah menambah hidayah-Nya kepada mereka. Maka, mereka dapat dikatakan sebagai pemuda mukmin sejati.[4]
Wahbah Az-zuhaili menafsirkan ayat ke 14 sebagai berikut, “Kami kuatkan hati  dan tekad mereka dengan kesabaran menghadapi segala penderitaan, ketika mereka berdiri dihadapan raja yang otoriter, Diqyanius. Dia memerintah mereka untuk bersujud pada berhala, tetapi mereka menolak seraya berkata, “Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi. Kami tidak akan pernah menyeru tuhan yang disembah, kecuali Allah. Jika Kami menyeru selain-Nya, berarti kami telah mengucapkan kata-kata yang melampaui batas, jauh dari kebenaran’.[5]

öNåk¨XÎ) îpu÷FÏù (#qãZtB#uä óOÎgÎn/tÎ/ óOßg»tR÷ŠÎur Wèd
Memang telah menjadi kebiasaan bahwa anak-anak muda lebih respect terhadap kebenaran dan lebih lurus lakunya dibanding orang tua yang telah durhaka dan tenggealam dengan keyakinannya yang sesat dan sulit untuk dibenarkan. Mereka terlanjur tenggelam dalam kepercayaan-kepercayaan yang bathil. Oleh karenanya kebanyakan yang sadar akan memenuhi perintah Allah dan Rasul-nya adalah ana-anak muda, sedang orang tua tetap pada keyakinan agama terdahulunya.[6]
Kata (pu÷FÏù) fityah adalah bentuk jamak yang menunjukkan sedikit. Tunggalnya adalah  fatâ yaitu remaja. Kata ini bukan saja mengisyarat- kan kelemahan mereka dari segi fisik dan jumlah yang sedikit, tetapi juga pada usia yang belum berpengalaman. Namun demikian, keimanan dan idealisme pemuda itu meresap dalam benak dan jiwa sehingga mereka rela meninggalkan kediaman mereka. Agaknya, itulah sebab mengapa kata tersebut dipilih, walau dari segi redaksi ia dapat digantikan dengan pengganti nama, yakni kata “mereka” karena sebelumnya sudah disebut tentang mereka dengan nama Penghuni Gua. Memang, idealisme anak muda sering kali mengalahkan kebijaksanaan dan pengalaman orangtua.[7]
Firman Allah,  wa zidnâhum hudan menunjukkan bahwa hidayah Allah swt. bertingkat-tingkat dan bermacam-macam lagi tidak terbatas. Mereka yang telah memeroleh hidayah masih dapat memeroleh tambahan. Dalam ayat lain Allah swt. berfirman:
“Dan Allah menambah hidayah untuk orang-orang yang telah mendapat hidayah” (QS. Maryam [19]: 76). Itu sebabnya Rasul saw. pun diperintah agar tetap memohon hidayah Allah dan terus membaca (i i) ihdinâ ash-shirâth al-mustaqîm walaupun beliau telah memeroleh petunjuk Allah. Untuk jelasnya rujuklah ke tafsir surah al-Fâtihah.[8]
$oYôÜt/uur 4n?tã óOÎgÎ/qè=è% øŒÎ) (#qãB$s% (#qä9$s)sù $uZš/u >u ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
Menurut Ibnu katsir dalam tafsirnya, ayat ini mengisyaratkan bahwa Allah SWT.  Menjadikan mereka (ashabul kahfi) bersabar atas tindakannya menentang dan ditentang kaumnya sendiri meninggalkan kampung halaman mereka dan kehidupan yang enak, kebahagiaan, dan kenikmatan.
Banyak ahli tafsir dari kalangan ulama salaf maupun khalaf yang menyebutkan bahwa mereka terdiri dari anak para Raja Romawi dan orang-orang yang terhormat dari kalangan mereka. Dan yang menyatukan mereka adalah iman.[9]
Kata idz qâmû/di waktu mereka berdiri dapat dipahami dalam arti benar-benar berdiri tampil di hadapan penguasa atau kaumnya dan dengan gagah berani menyatakan keyakinan mereka. Dapat juga dipahami dalam arti melaksanakan sesuatu secara sempurna dengan penuh perhatian dan kesungguhan, walau bukan dalam bentuk tampil berhadapan langsung dengan penguasa atau kaum musyrikin itu.
Mengenai riwayat tentang Ashabul Kahfi, memang terdapat riwayat-riwayat yang berbeda. Namun yang menjadi fokus pada permasalahan ini adalah pelajaran atau ibrah yang bisa diambil oleh kita dimasa sekarang.
Jika melihat tentang penjelasan yang diurauikan diatas, solusi untuk menjadikan generasi yang ideal mempunyai 2 aspek penting dalam setiap jiwa para pemuda. Pertama, tentang keteguhan keyakinan. Karena Idealisme pemuda seringkali diuji dalam tantnagn zaman, baik dari faktor internal maupun eksternal. Kedua, mentalitas yang kuat dalam mempertahankan argumen dan keyakinan dalam mengajak orang lain.
Para pemuda Ashabul kahfi telah memberikan pelajaran penting mengenai bagaimana menguji mental dihadapan para penguasa sekalipun dengan keberanian yang tinggi dalam mempertahankan idealsime keyakinan tanpa terpengaruh oleh keindahan duia yang sesaat. Meskipun pada waktu itu mereka sudah memiliki status sosial yang tinggi, namun hal itu tidak membuat mereka melepaskan keyakinan tentang keimanannay kepada Allah SWT.









KESIMPULAN
Perjalanan para pemuda Ashabul kahfi telah mengisnpirasi kita semua tentang bagaimana menjaga idealisme keyakinan yang kita anut, meskipun harus bertaruh dengan penguasa yang beragama dan kepercayaan yang beda. Hal ini menjadi satu tantangan khsusus bagi para pemuda bagaiamana mereka mempertahankan kepercayaan hati nurani mereka ditengah kepungan kedzaliman yang menimpa Negerinya. Karena disaat yang sama, Allah SWT. Tidak akan membiarkan hambanya berjuang sendirian tanpa pertolongannya. Seperti halnya yang dialami pemuda Ahabul Kahfi yang mengalami keajaiban ditidurkan Allah selama 300 tahun lebih.
Mental mereka sudah sangat teruji sehingga hal ini bisa menjadi pelajaran untuk kita tentang bagaimana membangun generasi muda yang ideal dengan memegang teguh ajaran agama, tanpa mencampur adukannya dengan politik dan haliyah duniawiyah yang fana.


DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar, Bahrun , dkk. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang : Karya Toha Putra
Az-Zuhaili, Wahbah, At-tafsir Munir Fil-‘Aqidah Was-syari’ah Wal-manhaj. Damaskus : Dar Al-fikr, 2004.
Hamka, Tafsir Al-Qur’an. Singapura : Pustaka Nasional pte ltd, 2003.
Katsir,Ibnu, Lubabuttafsir Min Ibn Katsir. Kairo : Muassaah Daar Al-Hilal, 1994
Semarang, 1993, h. 245
Syihab, Quraisy,  Tafsir Al-Misbah, Jakarta : Lentera Hati, Cet. I 2009



[1] Bahrun Abu Bakar, dkk. Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang : Karya Toha Putra Semarang, 1993, h. 242

[2] Hamka, Tafsir Al-Qur’an, sIngapura : Pustaka Nasional pte ltd, 2003, h. 4159
[3] Lihat Surat Al-Kahfi ayat 25
[4] Bahrun Abu Bakar, dkk. Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang : Karya Toha Putra Semarang, 1993, h. 245
[5] Wahbah Az-Zuhaili, At-tafsir Munir Fil-‘Aqidah Was-syari’ah Wal-manhaj, Damaskus : Dar Al-fikr, 2004
[6] Bahrun Abu Bakar, dkk. Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang : Karya Toha Putra Semarang, 1993, h. 245
[7] Quraisy Syihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta : Lentera Hati, Cet. I 2009, h. 250
[8] Quraisy Syihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta : Lentera Hati, Cet. I 2009, h. 252
[9] Ibnu Katsir, Lubabuttafsir Min Ibn Katsir, Kairo : Muassaah Daar Al-Hilal, 1994, Cet.I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar