MEMBANGUN GENERASI IDEAL II
Surat Al-Kahfi ayat 13-14
ß`øtªU Èà)tR y7øn=tã Nèdr't7tR Èd,ysø9$$Î/ 4 öNåk¨XÎ) îpu÷FÏù (#qãZtB#uä óOÎgÎn/tÎ/ óOßg»tR÷Îur Wèd ÇÊÌÈ $oYôÜt/uur 4n?tã óOÎgÎ/qè=è% øÎ) (#qãB$s% (#qä9$s)sù $uZ/u >u ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur `s9 (#uqããô¯R `ÏB ÿ¾ÏmÏRrß $Yg»s9Î) ( ôs)©9 !$oYù=è% #]Î) $¸ÜsÜx© ÇÊÍÈ
Kami
kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita besar ini dengan benar. Sesungguhnya
mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah
pula untuk mereka petunjuk.
Dan Kami meneguhkan hati mereka diwaktu mereka berdiri,
lalu mereka pun berkata, "Tuhan Kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi;
Kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, Sesungguhnya Kami kalau
demikian telah mengucapkan Perkataan yang Amat jauh dari kebenaran
Arti Kata :
r't7tR
Berita besar
,ysø9$$Î/ Dengan
sebenarnya
pu÷FÏù Pemuda-pemuda
$Yg»s9Î) Sesembahan
yang lain, baik yang dianggap Tuhan yang berdiri sendiri, maupun yang
dipersekutukan.
Munasabah ayat :
Munasabah ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya
yaitu menceritakan tentang kisah para pemuda yang berjuang meneguhkan keimanan
yang dipegangnya dari penguasa Dzalim. Salah satu keajaiban yang dialami para
pemuda tersebut adalah, ditidurkannya mereka selama 300 tahun.[2]
Dalam riwayat lain ada juga yang berpendapat bahwa meraka tinggal didalam Gua
selama 309 tahun, ini hanya perbedaan penghitungan antara tahun hijriyah atau
dan masehi saja.
Surah ini
dinamai surah al-Kahfi yang secara
harfiah berarti gua. Nama tersebut diambil dari kisah sekelompok pemuda yang
menyingkir dari gangguan penguasa zamannya, lalu tertidur di dalam gua selama
tiga ratus tahun lebih. Nama tersebut dikenal sejak masa Rasul saw., bahkan
beliau sendiri menamainya demikian. Beliau bersabda: “Siapa yang menghafal
sepuluh ayat dari awal surah al-Kahf maka dia terpelihara dari fitnah
ad-Dajjâl” (HR. Muslim dan Abû Dâûd melalui Abû ad-Dardâ’). Sahabat-sahabat
Nabi saw. pun menunjuk kumpulan ayat surah ini dengan nama surah al-Kahf.
Riwayat lain menamainya dengan surah Ashhâb al-Kahfi.
Firman Allah di
atas mengisyaratkan bahwa para pemuda Ashabul Kahfi adalah termasuk para pemuda
pemberani untuk mempertahankan keimanan mereka, pemikiran mereka dan
kepribadian mereka. Mereka adalah orang-orang yang teguh imannya, sehingga
mereka berani melanggar aturan pemerintah yang melarang mereka meyakini agama
tauhid. Meskipun jumlah mereka sedikit, tetapi keimanan mereka tetap teguh
kepada Allah, sehingga Allah menambah petunjuk kepada mereka atas petunjuk yang
sudah ada di kalbu mereka masing-masing dan mereka dijadikan sebagai
pemuda-pemuda yang teguh keimanannya, seperti yang disebutkan dalam firman
Allah berikut.
Para sejarawan Muslim dan Kristen sepakat
bahwa pada tahun 98-117 M penguasa menindas pengikut Nabi Isa; dan pada tahun
112 M dibuat peraturan bahwa setiap orang yang menolak menyembah dewa-dewa
dijatuhi hukuman sebagai pengkhianat dan bahkan dibunuh. Penguasa yang memerintah pada masa itu bernama Dikyanus.
Kemudian, pada tahun 408-451 negeri itu dipimpin oleh penguasa bijaksana yang
bernama Theodusius. Berdasarkan informasi historis ini, maka dapat
dikompromikan dengan informasi Qur’ani, yaitu sekelompok pemuda itu menghindari
diri dari penguasa zalim pada tahun 112 M, dan mereka tertidur selama 300 atau
309 tahun kemudian terbangun pada tahun 412 atau 421 M.[3]
Ayat 13
menginformasikan bahwa Allah-lah yang
menceritakan kisah Ashabul Kahfi kepada
Nabi Muhammad SAW. Ini berarti bahwa nabi tidak membuat atau mengarang cerita
tersebut. Cerita mengenai Ashabul Kahfi benar-benar wahyu
Allah, dan dengan demikian, membuktikan bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah;
bukan dongeng atau perkataan Nabi Muhammad SAW. Ayat ini menegaskan bahwa
mereka adalah para pemuda yang mendapat hidayah Allah sehingga karena mereka
terus berupaya mempertahankan iman, Allah menambah hidayah-Nya kepada mereka.
Maka, mereka dapat dikatakan sebagai pemuda mukmin sejati.[4]
Wahbah Az-zuhaili menafsirkan ayat ke 14 sebagai berikut,
“Kami kuatkan hati dan tekad mereka dengan kesabaran menghadapi segala
penderitaan, ketika mereka berdiri dihadapan raja yang otoriter, Diqyanius. Dia
memerintah mereka untuk bersujud pada berhala, tetapi mereka menolak seraya
berkata, “Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi. Kami tidak akan pernah menyeru
tuhan yang disembah, kecuali Allah. Jika Kami menyeru selain-Nya, berarti kami
telah mengucapkan kata-kata yang melampaui batas, jauh dari kebenaran’.[5]
öNåk¨XÎ)
îpu÷FÏù
(#qãZtB#uä
óOÎgÎn/tÎ/ óOßg»tR÷Îur Wèd
Memang telah menjadi kebiasaan bahwa anak-anak
muda lebih respect terhadap kebenaran dan lebih lurus lakunya dibanding orang
tua yang telah durhaka dan tenggealam dengan keyakinannya yang sesat dan sulit
untuk dibenarkan. Mereka terlanjur tenggelam dalam kepercayaan-kepercayaan yang
bathil. Oleh karenanya kebanyakan yang sadar akan memenuhi perintah Allah dan
Rasul-nya adalah ana-anak muda, sedang orang tua tetap pada keyakinan agama
terdahulunya.[6]
Kata (pu÷FÏù) fityah adalah bentuk jamak yang
menunjukkan sedikit. Tunggalnya adalah fatâ
yaitu remaja. Kata ini bukan saja mengisyarat- kan kelemahan mereka dari segi
fisik dan jumlah yang sedikit, tetapi juga pada usia yang belum berpengalaman.
Namun demikian, keimanan dan idealisme pemuda itu meresap dalam benak dan jiwa
sehingga mereka rela meninggalkan kediaman mereka. Agaknya, itulah sebab
mengapa kata tersebut dipilih, walau dari segi redaksi ia dapat digantikan
dengan pengganti nama, yakni kata “mereka” karena sebelumnya sudah disebut
tentang mereka dengan nama Penghuni Gua. Memang, idealisme anak muda sering
kali mengalahkan kebijaksanaan dan pengalaman orangtua.[7]
Firman Allah, wa zidnâhum hudan menunjukkan bahwa
hidayah Allah swt. bertingkat-tingkat dan bermacam-macam lagi tidak terbatas.
Mereka yang telah memeroleh hidayah masih dapat memeroleh tambahan. Dalam ayat
lain Allah swt. berfirman:
“Dan Allah menambah hidayah untuk orang-orang yang
telah mendapat hidayah” (QS. Maryam [19]: 76). Itu sebabnya Rasul saw. pun
diperintah agar tetap memohon hidayah Allah dan terus membaca (i i) ihdinâ
ash-shirâth al-mustaqîm walaupun beliau telah memeroleh petunjuk Allah.
Untuk jelasnya rujuklah ke tafsir surah al-Fâtihah.[8]
$oYôÜt/uur 4n?tã
óOÎgÎ/qè=è% øÎ)
(#qãB$s%
(#qä9$s)sù
$uZ/u >u
ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
Menurut Ibnu katsir dalam tafsirnya, ayat ini
mengisyaratkan bahwa Allah SWT.
Menjadikan mereka (ashabul kahfi) bersabar atas tindakannya menentang
dan ditentang kaumnya sendiri meninggalkan kampung halaman mereka dan kehidupan
yang enak, kebahagiaan, dan kenikmatan.
Banyak ahli tafsir dari kalangan ulama salaf
maupun khalaf yang menyebutkan bahwa mereka terdiri dari anak para Raja Romawi
dan orang-orang yang terhormat dari kalangan mereka. Dan yang menyatukan mereka
adalah iman.[9]
Kata idz qâmû/di waktu mereka berdiri dapat
dipahami dalam arti benar-benar berdiri tampil di hadapan penguasa atau kaumnya
dan dengan gagah berani menyatakan keyakinan mereka. Dapat juga dipahami dalam
arti melaksanakan sesuatu secara sempurna dengan penuh perhatian dan
kesungguhan, walau bukan dalam bentuk tampil berhadapan langsung dengan
penguasa atau kaum musyrikin itu.
Mengenai riwayat tentang Ashabul Kahfi, memang
terdapat riwayat-riwayat yang berbeda. Namun yang menjadi fokus pada
permasalahan ini adalah pelajaran atau ibrah yang bisa diambil oleh kita dimasa
sekarang.
Jika melihat tentang penjelasan yang
diurauikan diatas, solusi untuk menjadikan generasi yang ideal mempunyai 2
aspek penting dalam setiap jiwa para pemuda. Pertama, tentang keteguhan
keyakinan. Karena Idealisme pemuda seringkali diuji dalam tantnagn zaman, baik
dari faktor internal maupun eksternal. Kedua, mentalitas yang kuat dalam
mempertahankan argumen dan keyakinan dalam mengajak orang lain.
Para pemuda Ashabul kahfi telah memberikan
pelajaran penting mengenai bagaimana menguji mental dihadapan para penguasa
sekalipun dengan keberanian yang tinggi dalam mempertahankan idealsime
keyakinan tanpa terpengaruh oleh keindahan duia yang sesaat. Meskipun pada
waktu itu mereka sudah memiliki status sosial yang tinggi, namun hal itu tidak
membuat mereka melepaskan keyakinan tentang keimanannay kepada Allah SWT.
KESIMPULAN
Perjalanan para pemuda Ashabul kahfi telah
mengisnpirasi kita semua tentang bagaimana menjaga idealisme keyakinan yang
kita anut, meskipun harus bertaruh dengan penguasa yang beragama dan
kepercayaan yang beda. Hal ini menjadi satu tantangan khsusus bagi para pemuda
bagaiamana mereka mempertahankan kepercayaan hati nurani mereka ditengah
kepungan kedzaliman yang menimpa Negerinya. Karena disaat yang sama, Allah SWT.
Tidak akan membiarkan hambanya berjuang sendirian tanpa pertolongannya. Seperti
halnya yang dialami pemuda Ahabul Kahfi yang mengalami keajaiban ditidurkan
Allah selama 300 tahun lebih.
Mental mereka sudah sangat teruji sehingga hal
ini bisa menjadi pelajaran untuk kita tentang bagaimana membangun generasi muda
yang ideal dengan memegang teguh ajaran agama, tanpa mencampur adukannya dengan
politik dan haliyah duniawiyah yang fana.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, Bahrun , dkk. Terjemah Tafsir Al-Maraghi.
Semarang : Karya Toha Putra
Az-Zuhaili, Wahbah, At-tafsir Munir Fil-‘Aqidah
Was-syari’ah Wal-manhaj. Damaskus : Dar Al-fikr, 2004.
Hamka, Tafsir Al-Qur’an. Singapura : Pustaka
Nasional pte ltd, 2003.
Katsir,Ibnu, Lubabuttafsir Min Ibn Katsir. Kairo :
Muassaah Daar Al-Hilal, 1994
Semarang, 1993, h. 245
Syihab, Quraisy, Tafsir
Al-Misbah, Jakarta : Lentera Hati, Cet. I 2009
[1] Bahrun Abu Bakar, dkk. Terjemah Tafsir
Al-Maraghi, Semarang : Karya Toha Putra Semarang, 1993, h. 242
[2] Hamka, Tafsir Al-Qur’an, sIngapura
: Pustaka Nasional pte ltd, 2003, h. 4159
[3] Lihat Surat Al-Kahfi ayat 25
[4] Bahrun Abu Bakar, dkk. Terjemah Tafsir Al-Maraghi,
Semarang : Karya Toha Putra Semarang, 1993, h. 245
[5] Wahbah Az-Zuhaili, At-tafsir Munir
Fil-‘Aqidah Was-syari’ah Wal-manhaj, Damaskus : Dar Al-fikr, 2004
[6] Bahrun Abu Bakar, dkk. Terjemah Tafsir
Al-Maraghi, Semarang : Karya Toha Putra Semarang, 1993, h. 245
[7] Quraisy Syihab, Tafsir Al-Misbah,
Jakarta : Lentera Hati, Cet. I 2009, h. 250
[8] Quraisy Syihab, Tafsir Al-Misbah,
Jakarta : Lentera Hati, Cet. I 2009, h. 252
[9] Ibnu Katsir, Lubabuttafsir Min
Ibn Katsir, Kairo : Muassaah Daar Al-Hilal, 1994, Cet.I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar