PENDAHULUAN
Ukhuwah insaniyah, sebagian
kalangan menyebutnya ukhuwah basyariyah, adalah
persaudaraan berdasarkan kesamaan sebagai manusia. Al-Qur’an sudah menyinggung
tentang hal ini. Antara
lain pada surah al-Hujurat ayat 13 yang menegaskan bahwa Allah menciptakan
manusia terdiri dari lelaki dan perempuan, menjadikan beragam bangsa dan suku
dengan tujuan agar mereka saling mengenal (ta`aruf).
Kata ta`aruf, menurut Ibn Faris dalam kitab Mu’jam Maqayis al-Lughah,
mengandung arti dasar beriringan, ketenangan, dan pengetahuan. Dari sini
muncul kata `urf yang
artinya adat atau kebiasaan yang dilakukan seseorang atau sekelompok
masyarakat. Sesuatu yang sudah menjadi biasa akan membawa ketenangan kepada
mereka.
Berdasarkan arti bahasa tersebut, dapat
dikatakan bahwa manusia, tanpa membedakan ras, agama, atau apa pun, adalah
sama-sama manusia yang perlu saling mengenal (ta’aruf”), karena punya
hajat bersama yang saling terkait. Perkenalan ini sampai pada tahap mengerti
adat istiadat masing-masing yang akan berdampak pada kondisi saling memahami (tafahum). Setelah saling memahami maka manusia akan mudah
untuk saling tolong menolong (ta`awun) dalam segala
bentuk kebaikan.
Saling
tolong menolong dalam kebaikan (al-birr) dan ketakwaan
kepada Allah merupakan salah satu inti ajaran Islam (al-Maidah: 3). Kebaikan
dalam menata masyarakat, lingkungan, pemberdayaan manusia, dan lain sebagainya
tidak akan bisa tercipta kecuali jika manusia hidup secara harmonis.
Dalam makalah ini
penulis akan memaparkan tentang para pemikir-pemikir islam dalam menafsirkan
konsep ta’aruf yang digagas al-Qur’an dalam surat alhujurat ayat 13. Yang
didalamnya berisi tentang perkembangan konsep pemikiran di dunia islam era
modern yang memposisikan ayat ini sebagai dalil pluralisme dan nasionalisme
pembahasan
konsep ta’aruf surat al-hujurat
ayat 13
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesunggguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengena.
(QS al-Hujurat [49]: 13).
Pada masa Nabi Muhammad SAW persaudaraan sesama warga negara sudah terjadi. Nabi memprakarsai sebuah kesepakatan bersama yang dikenal dengan Piagam Madinah. Piagam ini berisi prinsip-prinsip dan aturan bermasyarakat di antara penduduk Madinah yang majemuk.
Ukhuwah diniyah bisa diartikan sebagai persaudaraan atau
kerukunan antar umat beragama. Berdasarkan fitrahnya, manusia adalah makhluk
yang percaya kepada adanya Zat yang menciptakan alam semesta (al-`Ankabut: 61).
Mulanya semua manusia bertauhid (ummah wahidah), tapi
pada perkembangannya mereka berselisih dan menyalahi ajaran tauhid. Maka Allah
pun mengutus para nabi dan rasul untuk mengembalikan mereka ke jalan yang
benar. (al-Baqarah: 213 ).
Al-Qur’an
menegaskan keniscayaan adanya keragaman dalam berbagai macam hal, seperti
agama, bahasa, ras, dan lain sebagainya . Di sisi lain, Al-Qur’an juga tidak
membolehkan pemaksaan dalam beragama, karena yang haq dan yang batil sudah
jelas. Dengan melihat kenyataan semacam itu, Islam memandang bahwa hubungan
yang harmonis diantara para penganut agama di dunia harus diciptakan dan
dibina, agar kehidupan bisa berjalan dengan baik.
A. Sabab Nuzul Surat Al-Hujurat Ayat 13
Ibnu al-Mundzir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan
dari Ibnu Mulaikah: KetikaFath Makkah, Bilal naik ke atas Ka‘bah
dan mengumandangkan azan. Sebagian orang berkata, “Budak hitam inikah yang
azan di atas punggung Ka‘bah?” Yang lain berkata, “Jika Allah membencinya,
tentu akan menggantinya.” Lalu turunlah ayat ini.[1]
Abu Dawud dan al-Bayhaqi meriwayatkan dari
az-Zuhri, ia berkata: Rasulullah saw. menyuruh kaum Bani Bayadhah untuk
mengawinkan salah seorang wanita mereka dengan Abu Hindun. Dia adalah tukang
bekam Rasulullah saw. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, pantaskah kami
mengawinkan putri-putri kami dengan maula kami?” Lalu turunlah ayat kami.
Meskipun berbeda, kedua sabab nuzûl ini
mengisyaratkan bahwa ayat ini turun sebagai larangan memuliakan atau melecehkan
manusia berdasarkan keturunan, kesukuan, maupun kebangsaan.
B.
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman:
$pkr'¯»t
â¨$¨Z9$#
$¯RÎ)
/ä3»oYø)n=yz
`ÏiB
9x.s
4Ós\Ré&ur
(Wahai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan). Al-Jazairi menyatakan, seruan ini merupakan seruan
terakhir dalam surat al-Hujurat. Dibandingkan dengan seruan-seruan sebelumnya
yang ditujukan kepada orang-orang beriman, seruan ini lebih umum ditujukan
kepada seluruh manusia (an-nâs).
Pertama:
Allah Swt. mengingatkan manusia tentang asal-usul mereka; bahwa mereka semua
adalah ciptaan-Nya yang bermula dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
(min dzakar wa untsâ). Menurut para mufassir, termasuk didalamnya ath-thababa’i dalam almizan
menyatakan bahwa dzakar wa untsâ ini maksudnya adalah
Adam dan Hawa. Seluruh manusia berpangkal pada bapak dan ibu yang sama,
karena itu kedudukan manusia dari segi nasabnya pun setara. Konsekuensinya,
dalam hal nasab, mereka tidak boleh saling membanggakan diri dan merasa lebih
mulia daripada yang lain. Tidak ada diskriminasi warna
kulit putih, hitam, arab ataupun non arab ataupun yang lainnya. [2]
Menurut mufassir lain, kata dzakar wa
untsâ juga bisa ditafsirkan seorang bapak dan seorang ibu; atau
sperma laki-laki dan ovum perempuan. Karena berasal dari jenis dan bahan dasar yang
sama, berarti seluruh manusia memiliki kesamaan dari segi asal-usulnya.[3]
Fakhruddin
ar-Razi memberikan paparan menarik. Menurutnya, segala sesuatu bisa diunggulkan
dari yang lain karena dua factor: (1) faktor yang diperoleh sesudah kejadiannya
seperti kebaikan, kekuatan, dan berbagai sifat lain yang dituntut oleh sesuatu
itu; (2) faktor sebelum kejadiannya, baik asal-usul atau bahan dasarnya maupun
pembuatnya; seperti ungkapan tentang bejana: “Ini terbuat dari perak, sementara
itu terbuat dari tembaga”; “Ini buatan Fulan, sedangkan itu buatan Fulan.”
: {إِنَّا خَلَقْنَـاكُم} فائدة ؟ نقول نعم ، وذلك لأن كل شيء
يترجح على غيره ، فإما أن يترجح بأمر فيه يلحقه ، ويترتب عليه بعد وجوده ، وإما أن
يترجح عليه بأمر هو قبله ، والذي بعده /كالحسن والقوة وغيرهما من الأوصاف المطلوبة
من ذلك الشيء ، والذي قبله فإما راجع إلى الأصل الذي منه وجد ، أو إلى الفاعل الذي
هو له أوجد ، كم يقال في إناءين هذا من النحاس وهذا من الفضة ، ويقال هذا عمل فلان
، وهذا عمل فلان
Firman Allah Swt., Inna khalaqnâkum min
dzakar wa untsâ, menegaskan bahwa tidak ada keunggulan seseorang atas
lainnya disebabkan perkara sebelum kejadiannya. Dari segi bahan dasar
(asal-usul), mereka semua berasal dari orangtua yang sama, yakni Adam dan Hawa.
Dari segi pembuatnya, semua diciptakan oleh Zat yang sama, Allah Swt. Jadi,
perbedaan di antara mereka bukan karena faktor sebelum kejadiannya, namun
karena faktor-faktor lain yang mereka peroleh atau mereka hasilkan setelah
kejadian mereka. Perkara paling mulia yang mereka hasilkan itu adalah ketakwaan
dan kedekatan mereka kepada Allah Swt. [4]
{ وجعلناكم شُعُوباً وَقَبَائِلَ } الشعوب جمع شعب بفتح الشين
وسكون العين وهم الجمع العظيم المنتسبون إلى أصل واحد ، وهو يجمع القبائل ،
والقبيلة تجمع العمائر
Selanjutnya
Allah Swt. berfirman: Waja‘alnâkum syu’ûb[an] wa qabâ`il[an] lita’ârafû (dan
Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling
mengenal). Kata syu‘ûb (jamak dari sya‘b) dan qabâ'il (jamak
dari qabîlah) merupakan kelompok manusia yang berpangkal pada satu
orangtua (keturunan). Sya‘b adalah tingkatan paling atas, seperti
Rabi‘ah, Mudhar, al-Aws, dan al-Khajraj. Tingkatan di bawahnya adalah qabîlah,
seperti Bakr dari Rabi‘ah, dan Tamim dari Mudhar.[5] Ke
bawahnya masih ada empat tingkatan, yakni: al-imârah, seperti Syayban dari
Bakr, Daram dari Tamim, dan Quraysy; al-bathn, seperti Bani Luay dari
Qurays, Bani Qushay dari Bani Makhzum; al-fakhidz, seperti Bani Hasyim dan
Bani Umayyah dari Bani Luay; dan tingkatan terendah
adalah al-fashîlah atau al-‘asyîrah, seperti Bani Abd
al-Muthallib.
Jumlah
manusia akan terus berkembang hingga menjadi banyak suku dan bangsa yang
berbeda-beda. Ini merupakan sunatullah. Manusia tidak bisa memilih agar
dilahirkan di suku atau bangsa tertentu. Karenanya, manusia tidak pantas
membanggakan dirinya atau melecehkan orang lain karena faktor suku atau bangsa.
Ayat ini
menegaskan, dijadikannya manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk
saling mengenal satu sama lain (lita’ârafû). Menurut al-Baghawi dan
al-Khazin, ta‘âruf itu dimaksudkan agar setiap orang dapat mengenali
dekat atau jauhnya nasabnya dengan pihak lain, bukan untuk saling mengingkari.[6]
وفي هذه الآية دليل على أن معرفة
الأنساب، مطلوبة مشروعة، لأن الله جعلهم شعوبًا وقبائل، لأجل ذلك
Berdasarkan
ayat ini, Abd ar-Rahman as-Sa’di menyatakan bahwa mengetahui nasab-nasab
merupakan perkara yang dituntut syariat. Sebab, manusia dijadikan
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku memang untuk itu. Karena itu, seseorang
tidak diperbolehkan menasabkan diri kepada selain orangtuanya.
Dengan
mengetahui nasab, berbagai hukum dapat diselesaikan, seperti hukum
menyambung silaturahmi dengan orang yang memiliki hak atasnya, hukum
pernikahan, pewarisan, dan sebagainya. Di samping itu, taaruf juga berguna
untuk saling bantu. Dengan saling bantu antar individu, bangunan masyarakat
yang baik dan bahagia dapat diwujudkan.[7]
Setelah
menjelaskan kesetaraan manusia dari segi penciptaan, keturunan, kesukuan, dan kebangsaan,
Allah Swt. menetapkan parameter lain untuk mengukur derajat kemulian manusia,
yaitu ketakwaan. Kadar ketakwaan inilah yang menentukan kemulian dan kehinaan
seseorang: Inna akramakum ‘inda Allâh atqâkum.
Mengenai
batasan takwa, menurut pendapat yang dikutip al-Khazin, ketakwaan adalah ketika
seorang hamba menjauhi larangan-larangan; mengerjakan perintah-perintah dan
berbagai keutamaan; tidak lengah dan tidak merasa aman. Jika khilaf dan
melakukan perbuatan terlarang, ia tidak merasa aman dan tidak menyerah, namun
ia segera mengikutinya dengan amal kebaikan, menampakkan tobat dan
penyesalan. Ringkasnya, takwa adalah sikap menetapi apa-apa yang
diperintahkan dan menjauhi apa-apa yang dilarang.
Banyak
ayat dan hadis yang juga menjelaskan bahwa kemuliaan manusia didasarkan pada
ketakwaan semata. Rasulullah saw. pernah bersabda:
«يَا أَيُّهَا النَّاسُ
أَلاَ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلاَ لاَ فَضْلَ
لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلاَ
ِلأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى.
أَبَلَّغْتُ؟»
Wahai
manusia, ingatlah bahwa sesungguhnya Tuhan kalian satu, bapak kalian juga satu.
Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab, orang non-Arab atas orang
Arab; tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, orang berkulit
hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan. Apakah saya
telah menyampaikan? (HR Ahmad).
(إن
الله عليم خبير) فيه تأكيد
لمضمون
الاية وتلويح إلى أن الذي اختاره الله كرامة للناس كرامة
حقيقية
اختارها الله بعلمه وخبرته بخلاف ما اختاره الناس كرامة
وشرفا
لانفسهم فإنها وهمية باطلة فإنها جميعا من زينة الحياة
الدنيا
قال تعالى: (وما هذه الحياة الدنيا إلا لهو ولعب وإن الدار
الاخرة
لهي الحيوان لو كانوا يعلمون)[8]
Ayat ini
diakhiri dengan firman-Nya: Inna Allâh ‘alîm[un] khabîr[un](Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal). Penyebutan dua sifat Allah Swt. di
akhir ayat ini dapat mendorong manusia memenuhi seruan-Nya. Dengan menyadari
bahwa Allah Swt. mengetahui segala sesuatu tentang hamba-Nya, lahir-batin, yang
tampak maupun yang tersembunyi, akan memudahkan baginya melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.
C. Nilai Pluralisme dan
Nasionalisme dalam ayat
Dikalangan para pemikir islam era modern atau
sering disebut dengan ulama kontemporer,
khususnya di kalangan pemikir barat, ayat ini seringkali dijadikan sebagai
salah satu media penyokong peluncuran faham pluralisme. Namun penulis sedikit
akan koreksi akan hal itu.
Penulis berasumsi bahwa Ayat ini jelas tidak bisa
dijadikan dalil mengenai absahnya pluralisme atau juga nasionalisme berlebihan menurut
Islam. Jika saja nasionalisme membangkitkan sentimen dan fanatisme
kebangsaan, ayat ini justru menentang segala hal yang mengunggulkan
kelompok manusia atas dasar kebangsaan, kesukuan, dan keturunan. Jika
nasionalisme menjadikan perbedaan bangsa sebagai alasan untuk memecah-belah
manusia, ayat ini justru sebaliknya. Perbedaan bangsa itu harus digunakan untuk
upaya saling mengenal: lita’ârafû.
Rasulullah
saw. pun menjadikan ayat ini sebagai dalil untuk mencabut paham Jahiliyah ini
dari kaum muslim. Ketika Fath Makkah beliau berkhutbah, sebagaimana
dituturkan Ibn Umar:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ
الْجَاهِلِيَّةِ وَتَعَاظُمَهَا بِآبَائِهَا فَالنَّاسُ رَجُلاَنِ بَرٌّ تَقِيٌّ
كَرِيمٌ عَلَى اللهِ وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ هَيِّنٌ عَلَى اللهِ وَالنَّاسُ بَنُو
آدَمَ وَخَلَقَ اللهُ آدَمَ مِنْ تُرَابٍ. قَالَ اللهُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى....
Wahai
manusia, sesungguhnya Allah telah melenyapkan dari kalian kesombongan Jahiliyah
dan saling berbangga karena nenek moyang. Manusia itu ada dua kelompok. Ada
yang salih, bertakwa, dan mulia di hadapan Allah. Ada pula yang fasik, celaka,
dan hina di hadapan Allah Swt. Manusia itu diciptakan Allah dari Adam dan Adam
dari tanah. Allah Swt. berfirman: Yâ ayyuhâ an-nâs innâ khalaqnâkum min
dzakar wa untsâ…. (HR at-Tirmidzi).
Jika dikaji secara intens, ayat ini meiliki nilai
yang sangat krusial mengenai pesan pluralisme dalam kehidupan, atau perbedaan
dalam segala hal. Namun disisi lain Ayat ini menjadi kuarang tepat untuk ditarik sebagai
media yang membenarkan pluralisme secara agama atau keyakinan.
Pluralisme adalah pendirian filosofis tertentu dalam menyikapi keanekaragaman
kehidupan. Menurut paham pluralisme, keragaman keyakinan, nilai, gaya hidup,
dan klaim kebenaran individu harus dipandang sebagai sesuatu yang setara
(equal). Dalam pluralisme agama, misalnya, semua agama harus dipandang sama dan
tidak ada yang lebih dari yang lain.
Pandangan
tersebut jelas bertentangan dengan ayat ini. Ayat ini tidak menyikapi semua
keragaman dengan sikap yang sama. Terhadap keragaman fisik, jenis kelamin,
nasab, suku, dan bangsa, manusia dipandang setara; tidak ada yang lebih tinggi
atau mulia dari yang lain. Sebab, faktanya, semua keragaman tersebut terjadi
dalam wilayah yang tidak dikuasai manusia. Terhadap perkara-perkara tersebut,
Allah Swt. menggunakan kata khalaqnâ (Kami menciptakan)
dan ja‘alnâ (Kami menjadikan), yang menunjukkan tiadanya andil
manusia di dalamnya. Karena itu, sewajarnya manusia tidak dinilai karena aspek
tersebut.
Adapun
terhadap keragaman manusia dalam kepercayaan, sikap, dan perilakunya, manusia
tidak dipandang sederajat. Ada yang mulia dan ada yang hina, bergantung pada
kadar ketakwaannya. Secara tegas ayat ini menyebut: Inna akramakum ‘inda
Allâh atqâkum. Jika sebab kemuliaan manusia adalah ketaatannya kepada risalah
Allah, dan pembangkangan menjadi sebab kehinaan, berarti yang haq hanyalah
risalah Allah. Sebaliknya, semua keyakinan, nilai, gaya hidup, dan sistem
kehidupan yang lain adalah batil; sesat dan menyesatkan. Jadi, jelas ayat ini
menolak paham pluralisme yang menyejajarkan semua agama, pandangan hidup, dan
sistem kehidupan.
KESIMPULAN
Ayat 13 dalam surat al-hujurat ini berbicara tentang
konsep pluralisme dan nilai nasionalisme
dalam kehidupan . Islam sangat memahami betul arti keberagaman. Penggunaan kata
annas pada permulaan ayat ini menunjukan bahwa khitab yang dituju oleh
ayat adalah keumuman manusia baik itu muslim, non-muslim, kulit putih ataupun
kulit hitam. Yang berarti ayat ini menghapus secara langsung konsep
diskriminasi baim secara turunan, bangsa ataupun yang lainnya.
Keberagaman merupakan sunnatullah didunia ini. Seseorang
tidak dapat memilih dari suku atau ras mana ia dilahirkan, semuanya merupakan
ketentuan Allah yang sarat dengan makna dan hikmah didalamnya. Nilai pluralisme
dan Nasionalisme sangat kental pada permulaan ayat ini, yang menyatakan bahwa
manusia diciptakan dengan bersuku-suku, berbangsa-bangsa, yang semuanya bermula
dari satu bapak dan ibu yaitu adam dan hawa. Namun seringakali konsep
pluralisme dan nasionalisme ini berujung pada pemahaman yang kurang tepat,
sehingga didalamnya sarat dengan kontroversi.
Ta’aruf, merupakan solusi yang ditawarkan ayat ini
sebagai penyelesaian dari masalah diskriminasi pluralisme, dan nasionalisme.
Perbedaan tidak harus selalu disikapi dengan angkuh, berbeda merupakan satu
warna dalam kehidupan. Pernyataan tentang keberagaman dalam ayat ini berujung
pada satu pernyataan yang sangan krusial. Suku, ras, bangsa tidak menjadi satu
ukuran dalam klaim kebenaran, semuanya dinilai dengan Parameter taqwa. Sehingga
ayat ini hanya berbicara tentang keberagaman (pluaralisme) dalam konsep
kehidupan, bukan konsep keyakinan atau agama yang akhir-akhir ini sering
dihembuskan para cendikiawan terutama para penganut “JIL”.
Nasionalisme pada suku, ras, khsusunya bangsa juga tidak
untuk megumbar sikap sentimen dan fanatisme kebangsaan, karena ayat ini
menentang semua itu didalamnya.
Wallahu a’lam
DAFTAR PUSTAKA
1. Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V,
Dar al-Fikr, Beirut, 1983;
2. Al-Baghawi, Ma’âlim
at-Tanzîl, IV/, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. t.t .
3.
Abu Bakr al-Jazairi, Aysar
at-Tafâsîr li Kalâm al-‘Aliyy al-Kabîr, Nahr al-Khair, 1993..
4. Al-Khazin, Lubâb
at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, IV/183, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
Beirut. 1995;
5. Fakhruddin
ar-Razi, at-Tafsîr al-Kabîr Aw Mafâtîh al-Ghayb, Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1990.
6. Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî,
7. Abd
al-Rahman al-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, ,
Alam al-Kutub, Beirut
8. Thaba’thaba’i, Allamah Muhammad
Husein, Tafsir al-Mizan jil: 1 hal: 192, Cet: Muassasah al-A’lami lil
Mathbuaat, Beirut-Lebanon, thn: 1417 H / 1997 M.
[2]
Thaba’thaba’i, Allamah Muhammad Husein, Tafsir al-Mizan jil: 1
hal: 192, Cet: Muassasah al-A’lami lil Mathbuaat, Beirut-Lebanon, thn: 1417 H /
1997 M.
[4]Fakhruddin
ar-Razi, at-Tafsîr al-Kabîr Aw Mafâtîh al-Ghayb, XIV/118,
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1990. Hal. 4119
[6] al-Baghawi, Ma’âlim
al-Tanzîl, IV/195; al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, II/538;
al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, 184
[8] Thaba’thaba’i, Allamah Muhammad Husein, Tafsir al-Mizan
jil: 1 hal: 192, Cet: Muassasah al-A’lami lil Mathbuaat, Beirut-Lebanon, thn:
1417 H / 1997 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar