REVISI MAKALAH
TAFSIR MARAH LABID KARYA AL-BANTANI
DANI MUHAMAD RAMDANI
USHULUDIN IV
PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN JAKARTA
PENDAHULUAN
Al-Qur’an
merupakan kitab istimewa yang diberikan Allah kepada manusia. Sampai saat ini tidak sedikit ulama-ulama yang berusaha
keras untuk menfsirkan dan memberikan pemahamannya terhadap kitab ini. Sebagai
kitab suci dan pedoman hidup bagi umat manusia, Al Qur'an mempunyai peran
penting dalam kehidupan setiap individu yang senantiasa ingin berjalan pada jalan benar
demi menggapai keridhoan Allah SWT. Maka pemahaman isi Al Qur'an menjadi satu
kepentingan yang tidak bisa lagi dielakkan. Atas dasar kepentingan tersebut,
munculah berbagai macam produk tafsir yang kerap berbeda satu dan yang lainnya.
Perbedaan penafsiran yang terjadi seharusnya menjadi satu
tolak ukur untuk menjadikan wawasan yang lebih luas, karena tak jarang
perbedaan itu dapat menimbulkan pemahaman yang relative berbeda. Maka
dari itu, kita harus senantiasa
berusaha untuk mengetahui berbagai metode yang dipakai dan latar belakang dari
setiap mufassir karena latar belakang dari para mufassir itu sendiri dapat
menimbulkan perbedaan yang tidak bisa dipungkiri lagi.
Indonesia
adalah salah satu negara yang para ulamanya juga memberikan sumbangan pemikiran
kepada dunia melewati penafsiran-penafsiran mereka terhadap al-Qur’an. Kami
baru menyadari bahwa ada banyak sekali kitab tafsir yang telah ditulis oleh
para ulama’ Indonesia dan kami tentunya sangat bangga akan hal itu . Salah satu
kitab tafsir itu adalah kitab yang bernama Marah Labid atau juga dikenal dengan
tafsir al-Munir yang ditulis oleh seorang ulama agung yang berasal dari desa
Tanara, Banten. Kitab tafsir inilah yang akan kami coba paparkan dalam makalah
ini. Walaupun analisis yang kami lakukan untuk mengkaji kitab karya Syeikh
Nawawi al-Bantani masih sangat dangkal dikarenakan kelemahan bahasa Arab kami,
namun hal ini tetap tidak meredam semangat kami untuk mengkaji kitab tersebut.
Jakarta, 14 Februari 2015
PEMBAHASAN
TAFSIR MARAH LABID (TAFSIR MUNIR)
Sejarah mencatat
bahwa disiplin ilmu di Indonesia sudah terbangun cukup lama. Ini dapat kita
lihat dari beberapa intelektual muslim yang sudah berkomunikasi secara sinergis
dengan para ulama timur tengah sehingga banyak tokoh-tokoh Islam Nusantara juga
terkenal di dunia arab. Sejak zaman kolonial, tradisi belajar
ke Timur Tengah telah kuat. Ada sebagian umat
Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji sekaligus belajar agama
di tanah suci itu selama bertahun-tahun. Bahkan ada yang menjadi guru dan wafat
di sana. Tradisi inilah yang membentuk jaringan intelektual Nusantara
dengan Timur Tengah menjadi kuat.
Namun disisi lain,
proses belajar al-qur’an di Nusantara masih sangat minim dan tardisional,
semuanya masih berkutat pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan keilmuan
yang merujuk ke penjelasan lisan. seperti tauhid, fiqh, tasawuf, dan
lain-lain, serta disajikan dalam bentuk amaliyah sehari-hari. Contoh populer
adalah istilah molimo yang dikemukakan Sunan Ampel (w. 1478 M)
yang berarti emoh main (tidak mau judi), emoh ngombe (tidak mau
minuman keras), emoh madat (tidak mau mengisap candu), emoh maling (tidak mau
mencuri), danemoh madon (tidak mau berzina), yang
merupakan tafsir dari surat al-Maidah 38, 39, 90,
serta al-Isra’ 32. Lama kelamaan mulai muncul para
ulama’ yang menulis karya tafsir dalam bentuk tertulis, baik dalam bentuk
terjemah, maupun karya tafsir mandiri. Diantaranya adalah syaikh Nawawi albantani.[1]
A.
Biografi singkat Syaikh Nawawi Al-Bantani
Muhammad bin Umar al-Nawawi al-Bantani al-Jawi (1230 H/1813 M- 1314 H/1897
M) atau masyarakat yang lebih mengenalnya
dengan nama Syekh Nawawi al-Bantani adalah salahseorang ulama’ Melayu-Indonesia
abad ke-19 yang paling masyhur dan menonjol. Dari namanya dapat
diketahui bahwa ia berasal dari Banten. Ayahnya, Umar bin Arabi, adalah pejabat
penghulu kecamatan di Tanara, Banten. Adapun ibunya, Khadijah, adalah seorang
wanita religius yang juga warga Tanara. Sebelum belajar kepada guru-guru
ternama di Haramain.
Nawawi al-Bantani bersama dua orang saudara kandungnya, Tamim dan Ahmad, telah
membekali pengetahuan agama dengan belajar ilmu kalam, nahwu, tafsir, dan
fiqh dari dari ayah mereka sendiri (seorang ulama’ masyhur di Banten pada
saat itu), dan kemudian dari Raden Yusuf di Purwakarta, Karawang, Jawa Barat.[2]
Pada usia 15 tahun, al-Bantani
berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan menetap di sana selama
3 tahun untuk belajar. Ia belajar pada Sayyid Ahmad bin Sayyid Abdurrahman
al-Nawawi, Sayyid Ahmad Dimyati, dan Sayyid Zaini Dahlan. Sedangkan di
Madinah, ia belajar pada Syekh M Khatib Sambas al-Hanbali. Selain
itu, ia juga belajar pada guru dari Mesir, yaitu Yusuf Sumulaweni, Nahrawi, dan
Abdul Hamid Dagastani. Pada tahun 1833 ia kembali ke Banten dan mengajar di
Pesantren milik ayahnya. Namun pada tahun 1855 ia kembali lagi ke Mekkah serta
hidup dan meniti karir keilmuan di Haramain hingga akhir hayatnya.
Murid Nawawi selama di Hijaz tidak
kurang dari 200 orang setiap tahunnya. Diantara murid Indonesia-nya adalah KH
Hasyim Asy’ari, KHM Kholil Bangkalan, KH Ilyas Serang Banten, dan Tubagus
KH M. Asnawi Caringin, Jawa Barat. Mereka inilah yang pada gilirannya
melanjutkan transmisi gagasan pengetahuan keislaman dari Timur Tengah ke
wilayah Melayu-Indonesia.[3]
Banyak sekali
kitab-kitab karya beliau yang tersebar luas bukan hanya ditanah arab, namun
juga mencapai seluruh dunia. Namun demikian, karyanya yang
paling populer dikalangan pesantren di Indonesia adalah kitab ‘Uqud
al-Lujain yang berbicara tentang hak-hak dan terutama kewajiban
isteri. Kitab ini menjadi bacaan wajib bagi santri puteri di banyak pesantren.
B.
Metode Penafsiran Kitab Tafsir Marah Labid
Nama Tafsir Syekh Nawawi adalah “al-Munir li
Ma’alim at-Tanzil” atau dalam judul lain “Marah Labid Likasyfi Ma’na
Qur’an Majid”. Tafsirnya yang berhalaman 985 atau 987 beserta daftar
isinya. Tafsir al-Munir terdiri dari 2 jilid, jilid pertama berjumlah 510 atau
511 halaman beserta daftar isinya dan jilid kedua berjumlah 475 atau 476
halaman beserta daftar isinya.
Albantani adalah ulama Nusantara yang menulis tafsir secara utuh, setelah
sebelumnya Abdurrauf singkel hanya menulis tafsir dalam bentuk terjemahan.
Penulisannya dilakukan di Mekkah dan selesai pada hari Rabu, 5 Rabi’ul Akhir
1305 H. Sebelumnya, naskahnya disodorkan pada ulama’ Makkah dan Madinah untuk
diteliti, lalu naskahnya dicetak di negeri itu. Atas kecemerlangannya
dalam menulis tafsir itu, oleh ulama’ Mesir, Nawawi diberi gelar Syeikh
al-Hijaz (pemimpin ulama’ Hijaz).[4]
Albantani dalam pengantarnya mengatakan bahwa ia butuh waktu lama membangun
keberanian untuk menulis tafsir ini sekalipun dorongan yang bertubi-tubi datang
dari berbagai pihak. Ia khawatir terjerumus pada ancaman
Nabi yang mengatakan “barang siapa berbicara tentang Al-Qur’an dengan
ra’yunya, maka silahkan mengambil tempat di neraka”. Setelah berhasil
membangun keberanian, Nawawi akhirnya memutuskan untuk menulis tafsir ini. Ia
menyebutnya sebagai upaya meneladani para ulama’ salaf yang senantiasa
menulis dan membukukan pemikiran-pemikirannya.[5]
Kitab
Al-Munir (Tafsir Marah Labid) dimana kitab ini menjadi salah satu
rujukan masyarakat. Tafsir ini tergolong masyhur, bahkan pada masa kemunculannya tafsir
ini dikenal juga oleh ulama di negeri arab sendiri. Di Indonesia terutama di
pesantren, tafsir ini tidak kalah masyhurnya dengan tafsir Jalalain.
Metodologinya tahlili. Uraiannya sederhana. Tapi lebih panjang dan lebih banyak
dibandingkan dengan tafsir Jalalain. Jika tafsir “Jalalain” hanya menjelaskan
kata kata muradif, maka pada tafsir “Marah Labid” Syekh Nawawi akan menjelaskan
maksud ayat tersebut secara sederhana. Tidak banyak mendiskusikan persoalan.
Bahkan jika mengetengahkan pendapat beliau tidak menyebutkan dalil setiap
pendapat. Pengarang cenderung untuk tidak menarjihkan diantara pendapat
tersebut. Uraian bahasa, cukup mendominasi. Unsur balaghah juga banyak, begitu
juga ilmu nahwu, shorof, Qira’at, Rasm Usmani, dan lain sebagainya. Beliau
sengaja menyederhanakan tafsirnya, agar pembaca langsung memahami inti
persoalan. Tanpa harus dibawa ke metode ijtihad dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Dalam hal periwayatan, tafsir ini banyak menukil hadits, perkataan sahabat dan tabi’in tanpa
sanad. Dilihat dari sudut ini tafsir ini kombinasi dari tafsir riwayah dan
dirayah.
Tafsir al-munir ini dapat digolongkan
sebagai salah satu tafsir dengan metode ijmali (global). Dikatakan ijmali
karena dalam menafsirkan setiap ayat, Syeikh Nawawi menjelaskan setiap ayat
dengan ringkas dan padat, sehingga mudah dipahami. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti
susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat. Metode ini
terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan masa Nabi sampai
tabi’in, terkadang pula diisi dengan uraian kebahasaan dan materi khusus lainnya. Para mufassir
tidak seragam dalam mengoperasionalkan metode ini. Ada yang
menguraikannya secara ringkas, ada pula yang menguraikannya secara rinci.
Penulisan ayat dalam tafsir ini tidak
menggunakan nomor atau pun tanda akhir ayat. Adapun pemisah antar surat ditandai
dengan penulisan basmalah,-- kecuali antar surat al-Anfal dan al-Tawbah--,
disertai penjelasan tentang nama surat, kelompok Makkiyah/Madaniyah, dan
jumlah ayat, kalimat, serta huruf. Pada surat-surat tertentu yang masih
diperselisihkan Makkiyah/Madaniyah-nya, Nawawi selalu menuliskan “Makkiyah atau
Madaniyah”, seperti pada surat al-Fatihah. Pada
surat-surat tertentu, dimana sebagian ayatnya termasuk kelompok yang berbeda,
Nawawi juga memberikan penjelasan, sebagaimana pada surat al-Tawbah dimana
dua ayat terakhirnya Makkiyah, sekalipun al-Tawbah termasuk kategori Madaniyah.[6]
Penulisan ayat tidak mesti satu
ayat langsung ditulis utuh, tetapi didasarkan pada kalimat yang hendak
ditafsiri. Q.S. 23:1 adalah contoh ayat yang langsung ditulis utuh
dan dirangkaikan dengan tafsirnya, yaitu قد افلح المؤمنون . Sedangkan contoh ayat yang tidak langsung
ditulis utuh adalah Q.S. 5:3. Pada pertengahan ayatnya, ditulis اليوم اكملت لكم دينكم kemudian dijelaskan tafsirnya, lalu dilanjutkan dengan rangkaian ayat
berikutnya, yaitu واتممت
عليكم نعمتي , dijelaskan
tafsirnya, dan dilanjutkan dengan rangkaian ayat berikutnya, ورضيت لكم الاسلام دينا, kemudian dijelaskan tafsirnya.[7]
Kedua; pada ayat-ayat tertentu yang memiliki perbedaan qira’at, setelah
penulisan ayat dilanjutkan dengan menjelaskan adanya perbedaan qira’at
sekaligus menisbatkan masing-masing bacaan kepada imamnya. Misalnya
pada Q.S. 4:94, yaitu لا يستوى القعدون من المؤمنين غير اولى الضرر. Disebutkan bahwa Ibn Katsir, Abu Amr, Hamzah, dan Ashim
membaca rafa’ pada lafadz ghair sebagai badal dari
lafadz qa’iduna, sementara Nafi’, Ibnu Amir, al-Kisa’i
serta baqu al-qurra’ membaca nasab sebagai hal,
sedangkan A’masy membacanya jar sebagai sifat dari
lafadz mu’minin. [8]
Ketiga; pada ayat yang memiliki sabab nuzul, sebelum dilakukan
penafsiran, disebutkan dulu sabab nuzul ayat dimaksud,
misalnya pada Q.S 2:189. Disebutkan bahwasanya ayat tersebut
turun berkaitan dengan adanya sekelompok sahabat dari suku Kinanah dan
Khuza’ah. Mereka memasuki rumah dari (pintu) belakang ketika dalam keadaan
ihram sebagaimana biasa mereka lakukan pada masa jahiliyah, sehingga turunlah
ayat وليس
البر بان ثاءتوا البيوت من ظهورها .
Langkah-langkah Nawawi dalam
menafsirkan Al-Qur’an tidak berbeda dengan mufassir pada umumnya. Pertama;
menafsirkan ayat dengan ayat. Misalnya, pada Q.S 6:82. Lafadz dzulm pada
ayat tersebut ditafsirkan dengan syirk, sebagaimana penjelasan
yang terdapat dalam Q.S. 31:13.
Kedua; Menafsirkan ayat dengan
hadits. Misalnya pada Q.S. 6:84 (وكذالك نجزى المحسنين ). Nawawi menjelaskan pengertian ihsan
berdasarkan hadits Nabi, yakni “beribadah kepada Allah seakan-akan engkau
melihatNya, kalaupun engkau tidak melihatNya, maka sesungguhnya Ia melihatmu”.
Namun demikian, dalam menyebutkan hadits, Nawawi tidak menyebutkan rangkaian
sanadnya, serta tidak pula mengemukakan kualitas haditsnya.
Ketiga; menafsirkan ayat dengan
pendapat sahabat dan atau tabi’in. Misalnya Q.S. 2:226 tentang
sumpah ila’ (bersumpah untuk tidak menyetubuhi isterinya).
Berdasarkan pendapat Ibnu Abbas, Nawawi menafsirkan ayat tersebut dengan “jika
seseorang meng-ila’ isterinya, kemudian menarik sumpahnya sebelum
empat bulan, maka ia boleh menyetubuhi isterinya kembali dengan disertai
membayar kaffarat, tetapi bila telah mencapai masa empat bulan, maka otomatis
jatuh talak satu.”[9]
Keempat; menggunakan pendekatan ra’yu
yang didasarkan pada analisis bahasa serta kaidah-kaidahnya. Secara umum,
pendekatan inilah yang digunakan Nawawi dalam tafsirnya, sehingga tafsir ini
lebih tepat disebut sebagai tafsir bi al-ra’yi yang mahmud. Disebut mahmud karena
ia mengkombinasikan kaidah bahasa dengan syari’at. Misalnya ketika menjelaskan
makna al-Rahman pada Q.S. 1:3. Nawawi menafsirkannya dengan
“Yang Maha Pengasih, baik kepada orang yang taat maupun yang tidak taat, yaitu
memberi rizki di dunia ini”. Penjelasan ini sejalan dengan firman Allah dalam
Q.S. 2:126. Demikian juga makna al-Rahim pada lanjutan ayat
yang ditafsirkan dengan “Yang memberi rahmat dan memasukkan ke dalam sorga
orang-orang mukmin”. Penjelasan ini sejalan dengan firman Allah dalam
Q.S.33:43.
C.
Corak Penafsiran Tafsir Marah Labid
Mengenai
corak yang digunakan oleh Syekh
Nawawi adalah bahwa tafsir ini dikategorikan dalam corak riwayah/ mat’sur. Karena
tafsir ini belum memenuhi persyaratan untuk dikaitkan menempuh corak bi
rayi, atau dengan kata lain tafsir ini lebih banyak
mengedepankan pendapat riwayat daripada ijtihad Albantani sendiri. Pernyataan
ini dapat disimpulkan karena dalam permulaan pernyataan di dalam tafsirnya pada
bab pembukaan, Imam Nawawi mengatakan bahwa ia takut menafsirkan al-Quran
dengan tafsir pemikiran murninya (bil rayi) saja. Hal
ini terbukti dalam praktisnya bahwa Imam Nawawi banyak mengutip hadis-hadis
rasulullah saw, pendapat sahabat, tabiin, atau para tokoh yang dianggapnyamutabar dalam
menjelaskan ayat tertentu. Hal ini diperkuat dengan disebutkannya nama beberapa
sahabat dan tabi’in seperti Abu Bakar, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, al-Dahak,
dan Qatadah dalam menafsirkan ayat tertentu.[10]
Mengingat bahwa tafsir marah labid ini
ditulis dalam bahasa Arab yang tidak lain berarti menggunakan bahasa asing.
Penggunaan bahasa asing di sini memberikan nilai positif dan negatifnya. Nilai
positif dan negatifnya yaitu bahwa Literatur-literatur tafsir al-Quran yang
muncul dari tangan para muslim nusantara, dengan keragaman bahasa dan aksara
yang digunakan, mencerminkan adanya “hirarki”, baik “hirarki tafsir” itu
sendiri di tengah-tengah karya-karya tafsir lain, maupun “hirarki pembaca” yang
menjadi sasarannya. Misalnya penggunaan bahasa Arab, seperti yang ditemuh oleh
Imam Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid, dari segi sasaran –dengan
memperimbangkan bahasa Arab- tafsir ini lebih mudah diakses oleh para peminat
kajian al-Quran international, namun pada posisi yang lain, yakni dalam konteks
Indonesia sendri karya tafsir ini tentu lebih bersifat elistis. Sebab, seperti
kita tahu bahwa tidak semua muslim Indonesia mahir berbahasa Arab.
Meskipun tafsir ini bersifat umum dan
menekankan masalah bahasa dan kaidah-kaidahnya, tetapi ada satu arah yang
dituju oleh tafsir ini, yakni ingin memberikan penanaman keimanan yang kuat,
baik kepada Allah maupun ajaran-ajaranNya.[11]
Secara madzhabi, ia beraliran Sunni.
Lebih spesifik lagi, dalam persoalan hukum ia lebih berwajah Syafi’iyah karena
ia memang bermadzhab Syafi’i.
Ketika terjadi khilaf dalam
persoalan hukum tidak selalu disikapi Nawawi dengan menilai pendapat yang lebih
kuat. Pada tempat-tempat tertentu, beliau hanya sekedar menunjukkan adanya
khilafiyah diantara ulama’ madzhab, sementara pada tempat-tempat tertentu, beliau
melakukan penilaian pendapat yang dinilainya lebih kuat. Dalam
persoalan hukum basmalah, misalnya. Nawawi hanya mengatakan
bahwa ayat ketujuh adalah صراط الذين انعمت عليهم ….dst bagi yang berpendapat bahwa basmalahmerupakan
bagian dari al-fatihah, sementara bagi ulama’ yang mengatakan
bahwabasmalah bukan merupakan bagian dari al-fatihah, maka
ayat ketujuh adalah غير
المغضوب عليهم …dst .[12]
Namun demikian, pada bagian lain, ia
memberikan penilaian terhadap pendapat yang dinilainya lebih kuat, misalnya
ketika menafsirkan Q.S. 5:6 tentang mengusap kepala pada waktu wudlu’.
Secara tegas Nawawi mendukung pendapat Syafi’i yang menafsirkan ayat tersebut
dengan “mengusap sebagian kepala”. Ia mengatakan bahwasanya ba’ pada
lafadz bi ru’usikum mengandung makna fi’il, yaitu
menempelkan (ilshaq), sehingga ayat tersebut memiliki arti “tempelkanlah
usapan pada kepala kalian”. Sementara menempelkan usapan tidak harus
seluruhnya. Ia memberi contoh kalimat, “saya mengusap tangan saya dengan sapu
tangan”. Siapa pun akan memahami bahwasanya pernyataan tersebut
mengandung pengertian bahwasanya mengusap tangan dengan sebagian saja dari
saputangan tersebut sudah cukup. Berbeda dengan kalimat “saya mengusap sapu
tangan”. Pernyataan “saya mengusap sapu tangan (tanpa bi/dengan)”
harus diartikan mengusap sapu tangan secara keseluruhan.[13]
Bagi dunia tafsir di Indonesia,
tafsir ini menjadi lebih istimewa karena ia merupakan karya tafsir pertama yang
ditulis secara utuh oleh putera Indonesia. Lewat karyanya tersebut Nawawi
memberikan inspirasi yang teramat besar bagi putera bangsa lainnya untuk
mengikuti jejaknya. Ia juga telah berjasa mendobrak kevakuman dalam dunia
tafsir di Indonesia dimana selama dua abad pasca Singkel tidak ada satu
pun karya tafsir (lengkap 30 juz) yang dihasilkan putera Indonesia.
KESIMPULAN
Tafsir Al-Munir adalah
salah satu kitab tafsir kebanggaan Nusantara yang hadir pada abad ke 19 atau
disebut juga dengan masa pra-modern. Tafsir al-Munir adalah
kitab tafsir kedua setelah Turjuman al-Mustafid yang
menafsirkan al-Qur’an 30 juz secara lengkap. Pengarang tafsir ini bernama
Nawawi al-Bantani yang mana telah merantau ke negara-negara Arab dan mengarungi
lautan intelektual ke-islaman selama 30 tahun. Kitab tafsir ini ditulis dengan
menggunakan bahasa Arab yang terdiri dari dua jilid.
Tafsir ini menggunakan metode ijmali (pembahasannya
global), tahlili (yang tergambarkan melalui susunan tafsirnya
yang berurutan dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nas). Tafsir ini lebih condong pada corak sufi
karena dengan melihat bahwa sang penulis kitab seorang sufi dan pemimpin
tarekat yang besar di nusantara, akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga
coraknya itu corak fikih dan fikih kitab ini murni fiqih syafi’i. Kitab tafsir
al-Munir juga dipeljari dipesantren-pesantren di Indonesia khususnya pulau
Jawa. Ini membuktikan bahwa kitab ini diterima oleh masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
·
Abror, Indal ”Potret Kronologis
Tafsir Indonesia” (
Jurnal Esensia, 2002)
·
Azra, Azyumardi, Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam, vol. 5 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
t.t.)
·
Gusmian, Islah, Khazanah
Tafsir Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002)
·
Nawawi, Muhammad al-Jawi, Marah Labid
Tafsir al-Nawawi, vol. 1 (Surabaya: Al-Hidayah, t.t.)
·
Amin, Samsul
Munir Sayyid Ulama’ Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani.
·
Syafruddin, Didin, “Ilmu Al-Qur’an sebagai Sumber
Pemikiran” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol.4
(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve)
REVISI MAKALAH
1.
Metodologi Tafsir Marah Labid
Pada dasarnya tafsir ini tidak jauh berbeda dari tafsir lain pada umumnya.
Namun berikut penulis tampilkan metodologi yang digunakan Al-Bantani dalam
penulisan tafsir Marah Labid ini.
Penulisan ayat tidak mesti satu
ayat langsung ditulis utuh, tetapi didasarkan pada kalimat yang hendak ditafsiri.
Q.S. 23:1 adalah contoh ayat yang langsung ditulis utuh dan
dirangkaikan dengan tafsirnya, yaitu قد افلح المؤمنون . Sedangkan contoh ayat yang tidak langsung
ditulis utuh adalah Q.S. 5:3. Pada pertengahan ayatnya, ditulis اليوم اكملت لكم دينكم kemudian dijelaskan tafsirnya lalu dilanjutkan dengan
rangkaian ayat berikutnya, yaitu واتممت عليكم نعمتي , dijelaskan tafsirnya, dan dilanjutkan dengan rangkaian ayat
berikutnya, ورضيت
لكم الاسلام دينا, kemudian
dijelaskan tafsirnya.
Kedua; pada ayat-ayat tertentu yang
memiliki perbedaan qira’at, setelah penulisan ayat dilanjutkan dengan
menjelaskan adanya perbedaan qira’at sekaligus menisbatkan masing-masing bacaan
kepada imamnya. Misalnya pada Q.S. 4:94, yaitu لا يستوى القعدون من المؤمنين غير اولى الضرر. Disebutkan bahwa Ibn Katsir, Abu Amr, Hamzah, dan Ashim
membaca rafa’ pada lafadz ghair sebagai badal dari
lafadz qa’iduna, sementara Nafi’, Ibnu Amir, al-Kisa’i
serta baqu al-qurra’ membaca nasab sebagai hal,
sedangkan A’masy membacanya jar sebagai sifat dari
lafadz mu’minin.
Ketiga; pada ayat yang memiliki sabab
nuzul, sebelum dilakukan penafsiran, disebutkan dulu sabab nuzul ayat
dimaksud, misalnya pada Q.S 2:189. Disebutkan bahwasanya ayat tersebut turun
berkaitan dengan adanya sekelompok sahabat dari suku Kinanah dan Khuza’ah.
Mereka memasuki rumah dari (pintu) belakang ketika dalam keadaan ihram sebagaimana
biasa mereka lakukan pada masa jahiliyah, sehingga turunlah ayat وليس البر بان ثاءتوا البيوت من ظهورها
Langkah-langkah Nawawi dalam
menafsirkan Al-Qur’an tidak berbeda dengan mufassir pada umumnya. Pertama;
menafsirkan ayat dengan ayat. Misalnya, pada Q.S 6:82. Lafadz dzulm pada
ayat tersebut ditafsirkan dengan syirk, sebagaimana penjelasan
yang terdapat dalam Q.S. 31:13. Kedua; Menafsirkan ayat dengan hadits.
Misalnya pada Q.S. 6:84 (وكذالك
نجزى المحسنين ). Nawawi
menjelaskan pengertian ihsan berdasarkan hadits Nabi,
yakni “beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, kalaupun engkau
tidak melihatNya, maka sesungguhnya Ia melihatmu”. Namun demikian, dalam
menyebutkan hadits, Nawawi tidak menyebutkan rangkaian sanadnya, serta tidak
pula mengemukakan kualitas haditsnya.
Ketiga; menafsirkan ayat dengan
pendapat sahabat dan atau tabi’in. Misalnya Q.S. 2:226 tentang
sumpah ila’ (bersumpah untuk tidak menyetubuhi isterinya).
Berdasarkan pendapat Ibnu Abbas, Nawawi menafsirkan ayat tersebut dengan “jika
seseorang meng-ila’ isterinya, kemudian menarik sumpahnya sebelum
empat bulan, maka ia boleh menyetubuhi isterinya kembali dengan disertai
membayar kaffarat, tetapi bila telah mencapai masa empat bulan, maka otomatis
jatuh talak satu.” Terjadinya khilaf tidak selalu dikemukakan oleh Nawawi
sebagaimana contoh di atas. Namun, pada tempat lain, adanya khilaf juga
ditampilkan. Misalnya ketika menafsirkan shalat al wustha.
Dijelaskan bahwa sebagian berpendapat bahwa shalat al wustha adalah
shalat shubuh. Pendapat ini merupakan pendapat Ali, Umar, Ibn Abbas,
Jabir, Abi Umamah al-Bahili dari kalangan sahabat, serta Thawus, ‘Atha’,
Ikrimah, serta Mujahid dari kalangan Tabi’in dan merupakan pendapat madzhab
Syafi’i. Pendapat lain mengatakan bahwa shalat al wustha adalah
shalat ‘ashar. Pendapat ini diriwayatkan berasal dari Ali, Ibn Mas’ud,
Ibn Abbas, serta Abu Hurairah yang menyatakan bahwa shalat al wusthaadalah
shalat antara shalat genap dan shalat ganjil.
Keempat; menggunakan pendekatan ra’yu
yang didasarkan pada analisis bahasa serta kaidah-kaidahnya. Secara umum,
pendekatan inilah yang digunakan Nawawi dalam tafsirnya, sehingga tafsir ini
lebih tepat disebut sebagai tafsir bi al-ra’yi yangmahmud. Disebut mahmud karena
ia mengkombinasikan kaidah bahasa dengan syari’at. Misalnya ketika menjelaskan
makna al-Rahman pada Q.S. 1:3. Nawawi menafsirkannya dengan
“Yang Maha Pengasih, baik kepada orang yang taat maupun yang tidak taat, yaitu
memberi rizki di dunia ini”. Penjelasan ini sejalan dengan firman Allah dalam
Q.S. 2:126. Demikian juga makna al-Rahim pada lanjutan ayat
yang ditafsirkan dengan “Yang memberi rahmat dan memasukkan ke dalam sorga
orang-orang mukmin”. Penjelasan ini sejalan dengan firman Allah dalam
Q.S.33:43.
Namun demikian, ia tidak selalu
mengupas panjang lebar makna sebuah kosa kata, sehingga tafsir ini
tidak terjebak pada penjelasan yang bertele-tele. Misalnya ketika menjelaskan
Q.S. 16:112. Tanpa mengupas panjang lebar makna libas, ia
menjelaskan, ayat tersebut menggunakan istilah libas, sebab ketika
kelaparan dan ketakutan itu begitu parah, maka kelaparan dan ketakutan tersebut
akan meliputi mereka (para kafir Mekkah), seperti halnya pakaian meliputi
tubuh mereka. Adakalanya ia menjelaskan terlebih dahulu kedudukan masing-masing
lafadz dalam kalimat (i’rab). Misalnya Q.S.75:22-23 وجوه يومئذ ناضره الى ربها ناظره Dijelaskan bahwa lafadz wujuh adalahmubtada’,
sedangkan nadhirah adalah na’at dari wujuh, yaumaidzin adalah manshubsebab nadhirah,
sementara nadzirah adalah khabarnya wujuh.
Adapun lafadz ilarabbiha, muata’alliq dengan khabar, sehingga
makna ayat adalah “wajah-wajah yang baik pada hari kiamat, yakni wajahnya orang
mukmin melihat kepada Allah tanpa ada hijab/penghalang apapun”.
Tidak jarang pula Nawawi menyertakan
syair dalam penjelasannya. Misalnya ketika menjelaskan Q.S. 10:109. Setelah
menjelaskan tentang petunjuk Al-Qur’an agar supaya bersabar dalam menyampaikan
risalah dari Allah, Nawawi mengakhirinya dengan syair:
ساصبر
حتى يعجز الصبر عن صبري واصبر حتى يحكم الله في امري
ساصبر
حتى يعلم الصبر
انني
صبرث على شيء امر باصبر
Nawawi juga banyak mengusung informasi
Israiliyat dalam tafsirnya. Misalnya tentang nama anak yang dibunuh oleh Nabi
Khidhir. Disebutkan bahwa anak tersebut merupakan putera seorang tokoh di
daerah itu. Ayahnya bernama Birran, ibunya Sahwan, sementara anak tersebut
bernama Jaisur. Begitu juga dengan perahu Nabi Nuh. Dalam tafsirnya,
Nawawi menyebutkan bahwasanya Nabi Nuh membuat perahu tersebut selama dua tahun
dengan ukuran panjang 300 dzira’, lebarnya 50 dzira’, sementara tingginya 30
dzira’. Kapal itu terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama, ditempati
oleh hewan-hewan, lantai dua ditempati oleh manusia, sementara lantai
paling atas ditempati oleh burung. Nama-nama yang disebut dalam cerita
Nabi Khidlir tersebut serta ukuran dan bentuk kapal Nabi Nuh, menurut
al-Dzahabi merupakan informasi Israiliyat.
2.
Contoh Teks Tafsir surat
Al-Baqarah ayat 1-3
سورة البقرة
مدنية، مائتان وست وثمانون آية، ستة آلاف ومائة وأربع وأربعون كلمة،
ستة وعشرون ألفا ومائتان وواحد وخمسون حرفا
الم (1) قال الشعبي وجماعة: الم وسائر حروف الهجاء في أوائل السور من
المتشابه الذي انفرد الله بعلمه، وهي سر القرآن فنحن نؤمن بظاهرها ونفوّض العلم
فيها إلى الله تعالى، وفائدة ذكرها طلب الإيمان بها، والله تعالى اختص بعلم لا
تقدر عليه عقول الأنبياء، والأنبياء اختصوا بعلم لا تقدر عليه عقول العلماء،
والعلماء اختصوا بعلم لا تقدر عليه عقول العامة. وقال أبو بكر رضي الله عنه: في كل
كتاب سر، وسر الله في القرآن أوائل السور. ذلِكَ الْكِتابُ لا رَيْبَ فِيهِ أي هذا
الكتاب الذي يقرؤه عليكم رسولي محمد لا شك في أنه من عندي، فإن آمنتم به هديتكم،
وإن لم تؤمنوا به عذبتكم. هُدىً لِلْمُتَّقِينَ (2) أي رحمة لأمة محمد صلّى الله
عليه وسلّم. الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ أي يصدقون بما غاب عنهم من الجنة
والنار، والصراط والميزان، والبعث والحساب وغير ذلك.
وقيل: المراد بالغيب القلب. والمعنى يؤمنون بقلوبهم لا كالذين يقولون
بأفواههم ما ليس في قلوبهم. وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ أي يتمون الصلوات الخمس
بالشروط والأركان والهيئات.
3.
وَمِمَّا رَزَقْناهُمْ يُنْفِقُونَ (3) أي مما أعطيناهم من الأموال
يتصدقون لطاعة الله تعالى وهو أبو بكر الصديق وأصحابه. وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ
بِما أُنْزِلَ إِلَيْكَ من القرآن وَما أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ على سائر الأنبياء
من التوراة والإنجيل والزبور وغيرها من سائر الكتب السابقة على القرآن وَبِالْآخِرَةِ
هُمْ يُوقِنُونَ (4) أي وهم يصدقون بما في الآخرة من البعث بعد الموت والحساب
ونعيم الجنة وهو عبد الله بن سلام وأصحابه. أُولئِكَ أي أهل هذه الصفة عَلى هُدىً
أي كرامة نزل مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5) أي الناجون من
السخط والعذاب وهم أصحاب محمد صلّى الله عليه وسلّم
[1] Indal
Abror,”Potret Kronologis Tafsir Indonesia” dalam Jurnal Esensia,
vol. 3, No.2, 2002, hal.. 191
[3] Azyumardi
Azra, “Jaringan Ulama” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam vol.5
(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve ) 13.
[6]
Muhammad Nawawi al-Jawi, Marah Labid Tafsir al-Nawawi,
vol. 1 (Surabaya: Al-Hidayah, t.t.), hal. 62.
[7] Muhammad Nawawi
al-Jawi, Marah Labid Tafsir al-Nawawi, vol. 1 (Surabaya:
Al-Hidayah, t.t.), hal. 191
[8] Muhammad Nawawi
al-Jawi, Marah Labid Tafsir al-Nawawi, vol. 1 (Surabaya:
Al-Hidayah, t.t.), hal.168
[9]
Muhammad Nawawi
al-Jawi, Marah Labid Tafsir al-Nawawi, vol. 1 (Surabaya:
Al-Hidayah, t.t.), hal.62
[11]
Didin Hafiduddin, “Tafsir
al-Munir karya Imam Nawawi Tanara” dalam Warisan Intelektual Islam
Indonesia, ed. Rifa’i Hasan, (Bandung: Mizan, 1987), 25
[12]
Didin Hafiduddin, “Tafsir
al-Munir karya Imam Nawawi Tanara” dalam Warisan Intelektual Islam
Indonesia, ed. Rifa’i Hasan, (Bandung: Mizan, 1987), 26
[13]
Didin Hafiduddin, “Tafsir
al-Munir karya Imam Nawawi Tanara” dalam Warisan Intelektual Islam
Indonesia, ed. Rifa’i Hasan, (Bandung: Mizan, 1987), 192
Tidak ada komentar:
Posting Komentar