26 Agustus, 2015

Saat malam tiba
Oleh : Muhamad ramdani


bersama tenggelamnya mentari ..
kini kau datang lagi untuk menggantikan hari yang melelahkan...
kesetiananmu pada bulan dan bintang yang kadang kau pamerkan di langit langitmu....
malam...
sebagai saksi bisu akan semua harapan-harapanku..
yang terjadi atau tertunda di hari hari yang kadang menyiksa...
saat aku menutup mata malam ini...
hanya sosoknylah yang hadir sebagi obat untuk suasan hatiku yang kelam karna masalah hidup yang tak kunjung memberi penerang...
ini bukan cinta yang pertama..
yang hadir dalam kisah hidup yang membosankan
saat benih benih cinta mulai tumbuh di sanubari tidak ada yang berbeda
semua sama..
sama sama mengecewakan....
malam...
tahukah engkau..
kini hatiku tlah terpaut padanya
sosoknya yang begitu sederhana
membuat semua wanita tak ragu mengaguminya....
lagi lagi aku mencintainya
bersama harapan harapan yang jauh diatas sana...
saat kubuka mataku pagi hari....
kupandangi dunia yang nyata menhampiri....
ketika melihatnya dalam dunia nyata...
kini aku sadar
kau datang bukan utukku
kau ada untuk orang la

14 April, 2015

ALQUR'AN DAN FISIKA

RAHASIA BESI' DI UNGKAP ALQUR'AN

Besi adalah salah satu unsur yang dinyatakan secara jelas dalam Al Qur'an. Dalam Surat Al Hadiid, yang berarti "besi", kita diberitahu sebagai berikut:
"…Dan Kami turunkan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia ...." (Al Qur'an, 57:25)
Kata "anzalnaa" yang berarti "kami turunkan" khusus digunakan untuk besi dalam ayat ini, dapat diartikan secara kiasan untuk menjelaskan bahwa besi diciptakan untuk memberi manfaat bagi manusia. Tapi ketika kita mempertimbangkan makna harfiah kata ini, yakni "secara bendawi diturunkan dari langit", kita akan menyadari bahwa ayat ini memiliki keajaiban ilmiah yang sangat penting.
Ini dikarenakan penemuan astronomi modern telah mengungkap bahwa logam besi yang ditemukan di bumi kita berasal dari bintang-bintang raksasa di angkasa luar.
Logam berat di alam semesta dibuat dan dihasilkan dalam inti bintang-bintang raksasa. Akan tetapi sistem tata surya kita tidak memiliki struktur yang cocok untuk menghasilkan besi secara mandiri. Besi hanya dapat dibuat dan dihasilkan dalam bintang-bintang yang jauh lebih besar dari matahari, yang suhunya mencapai beberapa ratus juta derajat. Ketika jumlah besi telah melampaui batas tertentu dalam sebuah bintang, bintang tersebut tidak mampu lagi menanggungnya, dan akhirnya meledak melalui peristiwa yang disebut "nova" atau "supernova". Akibat dari ledakan ini, meteor-meteor yang mengandung besi bertaburan di seluruh penjuru alam semesta dan mereka bergerak melalui ruang hampa hingga mengalami tarikan oleh gaya gravitasi benda angkasa.
Semua ini menunjukkan bahwa logam besi tidak terbentuk di bumi melainkan kiriman dari bintang-bintang yang meledak di ruang angkasa melalui meteor-meteor dan "diturunkan ke bumi", persis seperti dinyatakan dalam ayat tersebut: Jelaslah bahwa fakta ini tidak dapat diketahui secara ilmiah pada abad ke-7 ketika Al Qur'an diturunkan.
Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui." (Al Qur'an, 36:36)
Meskipun gagasan tentang "pasangan" umumnya bermakna laki-laki dan perempuan, atau jantan dan betina, ungkapan "maupun dari apa yang tidak mereka ketahui" dalam ayat di atas memiliki cakupan yang lebih luas. Kini, cakupan makna lain dari ayat tersebut telah terungkap. Ilmuwan Inggris, Paul Dirac, yang menyatakan bahwa materi diciptakan secara berpasangan, dianugerahi Hadiah Nobel di bidang fisika pada tahun 1933. Penemuan ini, yang disebut "parité", menyatakan bahwa materi berpasangan dengan lawan jenisnya: anti-materi. Anti-materi memiliki sifat-sifat yang berlawanan dengan materi. Misalnya, berbeda dengan materi, elektron anti-materi bermuatan positif, dan protonnya bermuatan negatif. Fakta ini dinyatakan dalam sebuah sumber ilmiah sebagaimana berikut:
"…setiap partikel memiliki anti-partikel dengan muatan yang berlawanan … … dan hubungan ketidakpastian mengatakan kepada kita bahwa penciptaan berpasangan dan pemusnahan berpasangan terjadi di dalam vakum di setiap saat, di setiap tempat."
Semua ini menunjukkan bahwa unsur besi tidak terbentuk di Bumi, melainkan dibawa oleh meteor-meteor melalui ledakan bintang-bintang di luar angkasa, dan kemudian "dikirim ke bumi", persis sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut. Jelas bahwa fakta ini tak mungkin diketahui secara ilmiah pada abad ke-7, di saat Al Qur'an diturunkan.(http://www.2think.org/nothingness.html, Henning Genz – Nothingness: The Science of Empty Space, s. 205)

Kini, relativitas waktu adalah fakta yang terbukti secara ilmiah. Hal ini telah diungkapkan melalui teori relativitas waktu Einstein di tahun-tahun awal abad ke-20. Sebelumnya, manusia belumlah mengetahui bahwa waktu adalah sebuah konsep yang relatif, dan waktu dapat berubah tergantung keadaannya. Ilmuwan besar, Albert Einstein, secara terbuka membuktikan fakta ini dengan teori relativitas. Ia menjelaskan bahwa waktu ditentukan oleh massa dan kecepatan. Dalam sejarah manusia, tak seorang pun mampu mengungkapkan fakta ini dengan jelas sebelumnya.
Tapi ada perkecualian; Al Qur'an telah berisi informasi tentang waktu yang bersifat relatif! Sejumlah ayat yang mengulas hal ini berbunyi:
"Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu menurut perhitunganmu." (Al Qur'an, 22:47)
"Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu." (Al Qur'an, 32:5)
"Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun." (Al Qur'an, 70:4)
Dalam sejumlah ayat disebutkan bahwa manusia merasakan waktu secara berbeda, dan bahwa terkadang manusia dapat merasakan waktu sangat singkat sebagai sesuatu yang lama:
"Allah bertanya: 'Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?' Mereka menjawab: 'Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung.' Allah berfirman: 'Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui'." (Al Qur'an, 23:122-114)
Fakta bahwa relativitas waktu disebutkan dengan sangat jelas dalam Al Qur'an, yang mulai diturunkan pada tahun 610 M, adalah bukti lain bahwa Al Qur'an adalah Kitab Suci.

PEMIKIRAN KONTRVERSI NASR HAMD ABU ZAYD

NASR HAMD ABU ZAYD

Biografi Nasr Hamid Abu Zaid
Nashr Hamid Abu Zayd lahir pada tanggal 10 Juli 1943 di Quhafa propinsi Tanta Mesir Bagian Barat. Saat berusia 8 tahun dia telah menghafal 30 juz. Pendidikan tingginya mulai S1, S2 dan S3 dalam jurusan Bahasa dan Sastra Arab di selesaikannya di Universitas Kairo dengan predikat Highest Honous. Pernah tinggal di Amerika selama 2 tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institut of Midlle Eastern Studies University of Pensylivania Philadelphia USA.
Setelah karya-karyanya dinilai kurang bermutu bahkan dinyatakan menyimpang dan merusak karena isinya melecehkan ajaran Islam, menghujat Rasulullah `, menodai al-Qur’an dan menghina para ulama salaf, ia dan istrinya pergi meninggalkan Mesir dan berdomisili di Belanda hingga sekarang. Di Belanda ia diangkat sebagai professor di bidang Bahasa Arab dan studi Islam dari Lieden University Kuno yang didirikan sejak tahun 1575 di Amsterdam Selatan.
Karya-karya Nasr Hamid Abu Zaid
Buku-buku Nashr Hamid Abu Zaid banyak menaruh perhatian pada aspek “teks” (nass), sehingga ia mengatakan bahwa peradaban Arab Islam adalah ‘peradaban teks’ (hadharah al-nass). Maka, ia banyak menulis buku-buku yang mengupas persoalan teks, seperti Mafhum al-Nas, Dirasah fi Ulum al-Quran, Naqd al-Khitab al-Din.
Karya-karyanya yang lain; Al-Ittijah al-Aqli fi Tafsir, Falsafat al-Ta’wil, Iskaliyat al-Qiraah wa Aliyyat at-Ta’wil, Al-Imam Al-Shafi’i wa ta’sis Aydiyulujiyyah al-Wasatiyah, Al-Mar’ah fi Khitab al-Azmah dan yang lain sampai 16 buku karya yang ia miliki.
Nasr Hamid juga pernah mendapatkan beberapa penghargaan dan gelar penghormatan, di antaranya; 1975-1977 dari Ford Foundation Fellowship at the American University in Cairo, tahun 1985-1989: Visiting Profesor, Osaka University of Foreign Studies Japan dan tahun 2002-2003; Fellow at the Wissenschatten College in Berlin.[1]
Teori al-Quran Nasr Hamid: al-Quran adalah produk budaya
Dalam menerapkan teori hermeuneutika dalam mengkaji al-Quran, Nasr Hamid menggunakan metode analisis teks bahasa sastra (nahj tahlil al-nusus al-lughawiyyah al-adabiyyah) atau Metodologi kritik sastra (literary criticism)[2]. Dalam pandangannya metode tersebut merupakan satu-satunya metode untuk mengkaji Islam, Nasr Hamid menyatakan:
“Oleh sebab itu, metode analisis bahasa merupakan satu-satunya metode manusiawi yang mungkin untuk mengkaji pesan (risalah), dan berarti memahami Islam.”[3]
Dengan Metode kritik ini Nasr Hamid berpendapat bahwa al-Quran walaupun ia merupakan kalam ilahi, namun al-Quran menggunakan bahasa manusia. Karena itu al-Quran tidak lebih dari teks-teks karangan manusia.
Nasr Hamid mulai mengenal teori-teori hermeneutika ketika berada di Universitas Pennsylvania, Philadelphia pada tahun 1978-1980. Dalam artikelnya di harian Republika (30/9/2004) Dr. Syamsudin Arif mencatat, bahwa Nasr Hamid memang terpesona dengan hermeuneutika, sebagaimana ia ungkap dalam biografinya yang ia beri judul Voice of an Exile: Reflections on Islam. Dalam bukunya tersebut Abu Zaid mengakui bahwa hermeneutika telah membuka cakrawala dunia baru kepadanya. Ia menyatakan:
I did a lot of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science ofinterpreting texts, opened up a brandnew world for me.
Artinya:
“Aku banyak membaca sendiri, khususnya di dalam bidang filsafat dan hermeneutika. Hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks, telah membuka cakrawala dunia baru kepadaku.”
Mengomentari pemikiran Nasr Hamid tersebut, Dr. Syamsudin Arif mengatakan:
“Orang macam Abu Zaid ini cukup banyak. Ia jatuh ke dalam lubang rasionalisme yang digalinya sendiri. Ia seperti istri Aladin, menukar lampu lama dengan lampu baru yang dijajakan oleh si tukang sihir”.[4]
Sekembali dari Amerika, Nasr Hamid menyelesaikan disertasi Doktornya pada tahun 1980 dengan judul: Falsafah al-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil AI-Qur’an `inda Muhy al-Din ibn `Arabi (Filsafat Hermeneutika: Studi Terhadap Hermenutika Al-Qur’an menurut Ibn Arabi). Ia mengklaim bahwa dirinyalah yang pertama kali menulis tentang hermeneutika di dalam bahasa Arab dengan tulisannya al-Hirminiyutiga wa Mu’dilat Tafsir al-Nas (Hermeneutika dan Problema Penafsiran Teks) pada tahun 1981. Di dalam karya tersebut, Nasr Hamid memaparkan secara ringkas berbagai teori penafsiran yang telah dilakukan oleh Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Emilio Betti, Hans Georg Gadamer, Paul Ricoeur, dan Eric D. Hirsch.[5]
Setelah akrab dengan literatur hermeuneutika Barat, Nasr Hamid kemudian membahas mengenai hakikat teks, yang merupakan persoalan mendasar dalam hermeuneutika, di antara masalah yang ia dengungkan adalah anggapannya bahwa teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang bentuknya sama dengan teks-teks yang lain di dalam budaya atau konsep al-Quran sebagai produk budaya (Muntaj Tsaqafi) dan memposisikan Nabi Muhammad ` sebagai “pengarang al-Quran”.
Untuk menerapkan konsep Muntaj Tsaqafi-nya, Nasr Hamid mendekonstruksi konsep al-Quran yang telah disepakati oleh umat Islam selama berbad-abad; yaitu konsep bahwa al-Quran adalah ‘kalamullah’ yang lafadz dan maknanya dari Allah I. Namun, kajian Nasr Hamid tersebut lebih mirip kepada Biblical Critism (kritik teks Bible) yang telah berkembang dalam tradisi Kristen, dari pada konsep kemakhlukan al-Quran-nya Muktazilah, Kaum Mu’tazilah memposisikan Al Qur’an sebagai kalam Allah I meskipun kalam Allah I itu di anggap sebagai makhluq yang diciptakan oleh Allah I sebagaimana Allah I menciptakan makhluq lain. Jadi kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Al Qur’an itu adalah tidak Qadim. Tapi Mu’tazilah sama sekali tidak berpendapat bahwa Al Qur’an adalah karya Muhammad sebagai produk budaya dan harapan orang-orang yang ada di sekitarnya seperti yang di kemukakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd. Maka salah jika ada yang berpendapat bahwa pemikiran Nasr Hamid berasal dari tradisi Islam.
Dalam tradisi Kristen, studi tentang Kritik Bible dan kritik teks Bible memang telah berkembang pesat. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of  Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini dan menulis satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Critism on the new Testament”.  Reginald H. Fuller, dalam bukunya yang berjudul A Critical Introduction to the New Testament, menulis;
“Itulah mengapa jika kita hendak memahami apa yang dimaksud teks-teks Perjamjian Baru sesuai maksud para penulisnya ketika pertama kali ditulis, kita harus terlebih dahulu memahami situasi historis pada saat ia ditulis pertama kali”.
Setelah itu, kalangan pemuka dan cendekiawan Kristen mulai mengarahkan studi mereka terhadap al-Quran, sehingga mereka menempatkan posisi al-Quran sama dengan posisi Bible. Studi Biblical Critism terhadap al-Quran ini mulai muncul sejak abad ke-19. Di antara sarjana Barat, orientalis dan Islamolog Barat yang menerapkan metode ini adalah; Abraham Geiger, Gustav Weil, William Muir, Theodor Noldeke, W. Montgomery Watt, Kenneth Cragg, John Wansbrough, dan yang masih hidup seperti Andrew Rippin, Christoph Luxenberg, Daniel A. Madigan, Haraid Motzki dan masih banyak lagi lainnya [6]
Orientalis yang termasuk pelopor awal dalam menggunakan Biblical critism ke dalam Al-Qur’an adalah Abraham Geiger (m. 1874), seorang Rabbi sekaligus pendiri Yahudi Liberal di Jerman. Pada tahun 1833, Geiger menulis Was hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen? (Apa yang telah Muhammad Pinjam dari Yahudi?). Di dalam karyanya tersebut, ia mengkaji AI-Qur’an dari konteks ajaran-ajaran Yahudi. Ia melihat sumber-sumber Al-Qur’an dapat dilacak di dalam agama Yahudi.
Setelah itu, berbodong-bondonglah para orientalis melakukan kajian kritis terhadap teks al-Quran, sebagaimana pada Bible, mereka menyamakan al-Quran dan Bible sebagai sebuah teks saja. Gerd R. Joseph Puin, seorang Orientalis pengkaji al-Quran telah menyarankan perlunya studi ke`sejarahan al-Quran, ia mengatakan:
“Begitu banyak kaum muslimin beranggapan bahwa al-Quran merupakan kata-kata Tuhan yang tidak pernah mengalami perubahan”.  Dan ia juga mengatakan: “Mereka (para cedekiawan) sengaja mengutip karya naskah yang menunjukkan bahwa Bible memiliki sejarah dan tidak langsung turun dari langit, namun sampai sekarang al-Quran masih berada di luar konteks pembicaraan ini. Satu-satunya cara menggempur dinding penghalang ini adalah mengadakan pembuktian bahwa al-Quran memiliki sejarah”.
Pendapat Nasr Hamid bahwa al-Quran adalah ‘produk budaya’ adalah problematik. Kapan al-Quran menjadi produk budaya? Jika al-Quran menjadi produk budaya ketika wahyu selesai, maka dalam rentang waktu wahyu pertama turun hingga wahyu selesai, al-Quran berada dalam keadaan pasif karena ia produk budaya Arab Jahiliyah. Namun, ini pendapat salah, karena ketika diturunkan secara berangsur-angsur al-Quran ditentang dan menentang budaya Arab Jahiliyah saat itu. Jadi, al-Quran bukanlah produk budaya, karena al-Quran bukanlah hasil kesinambungan dari budaya yang ada. Al-Quran justru membawa budaya baru dengan mengubah budaya yang ada.
Menurut Prof. Naquib al-Attas, bahasa Arab al-Quran adalah bahasa Arab bentuk baru. Sejumlah kosa-kata pada saat itu, telah di-Islam-kan maknanya.            Al-Quran mengislamkan dan membentuk makna-makna baru dalam kosa kata bahasa Arab. Kata-kata penghormatan (muruwwah), kemuliaan (karamah), dan persaudaraan (ikhwah), misalnya, sudah ada sebelum Islam.
Tapi, kata-kata itu di Islamkan dan diberi makna baru, yang berbeda dengan makna zaman jahiliyah. Kata ‘karamah’, misalnya, yang sebelumnya bermakna ‘memiliki banyak anak, harta, dan karakter tertentu yang merefleksikan kelelakian’, diubah al-Quran dengan memperkenalkan unsur ketakwaan (taqwa). Contoh lain, juga pada ‘ikhwah’, yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan kesukuan. Diubah maknanya oleh al-Quran, dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar keimanan, yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah.
Nabi Muhammad ` sebagai pengarang al-Quran
Studi Nasr Hamid selanjutnya adalah analisa terhadap corak sebuah teks yang dengan hal itu dapat diketahui kondisi pengarang teks tersebut. Pendapat Nasr Hamid ini ia adopsi dari tokoh hermeneutika modern, Frederich Schleirmacher yang merumuskan teori hermeuneutikanya berdasarkan pada analisa terhadap pengertian tata bahasa dan kondisi (sosial, budaya dan kejiwaan) pengarangnya.
Karen Armstrong telah meresume pandangan Schleirmacher terhadap Bibel sebagai berikut:
Bahwa Bibel adalah sangat penting bagi kehidupan kaum Kristen, karena ia adalah satu−satunya sumber informasi tentang Yesus. Tapi, karena penulis−penulis Bibel terkondisi dalam lingkungan sejarah dimana mereka hidup, maka adalah sah−sah saja untuk mengkritisi dengan cermat karya mereka.
Schleirmacher mengakui bahwa kehidupan Yesus adalah wahyu suci, tetapi para penulis Bibel adalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa terjebak dalam dosa. Karena itulah, mereka mungkin saja berbuat kesalahan. Karena itulah, menurut Schleirmacher, tugas para sarjana Bibel adalah membuang aspek−aspek kultural dari Bibel dan menemukanintisarinya yang bersifat abadi. Tidak setiap kata dalam Bibel adalah otoritatif, karena itu, kata Schleirmacher, seorang penafsir harus mampu membedakan mana ide−ide yang marginal dan ide inti dalam Bibel.[7]
Dari sini kita dapat dengan mudah mengetahui pengaruh penafsiran kaum Liberal Yahudi dan Kristen terhadap Nasr Hamid. Setelah itu Nasr Hamid tampil cerdik, dengan menempatkan Nabi Muhammad ` sebagai penerima wahyu pada posisi semacam “pengarang al-Quran”, dia menulis dalam bukunya Mafhum al-Nash:
“Bahwa al-Quran yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada seorang Muhammad yang manusia. Bahwa, Muhammad, sebagai penerima pertama, sekaligus penyampai teks adalah bagian dari realitas dan masyarakat. Ia adalah buah dan produk dari masyarakatnya. Ia tumbuh dan berkembang di Makkah sebagai anak yatim, dididik dalam suku Bani Sa’ad sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan Badui. Dengan demikian, membahas Muhammad sebagai penerima teks pertama, berarti tidak membicarakannya sebagai penerima pasif. Membicarakan dia berarti membicarakan seorang manusia yang dalam dirinya terdapat harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya. Intinya, Muhammad adalah bagian dari sosial budaya dan sejarah masyarakatnya”.[8]
Pendapat Nasr Hamid Abu Zayd  ini merusak konsep dasar Al Qur’an yang dianut sebagian besar umat Islam, bahwasanya Muhammad hanyalah sebagai penyampai wahyu saja, beliau tidak merubah sedikitpun yang diterimanya dari Allah I. Beliau pun Ma’shum artinya terjaga dari kesalahan. Al Qur’an menyebutkan:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3)
Artinya:
“Dan Dia (Muhammad `) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang di wahyukan kepadanya”. (QS. Al Najm:3)
Dengan menyebut al-Quran sebagai cultural product dan menempatkan posisi Nabi Muhammad ` sebagai pengarang al-Quran, maka Nasr Hamid telah melepaskan posisi al-Quran sebagai kalamullah yang suci dan menghilangkan sakralitas al-Quran dan menjadikan al-Quran hanya teks manusiawi atau hasil pengalaman individual yang diperoleh nabi Muhamamad ` dalam waktu dan tempat tertentu yang latar belakang sejarah sangat mewarnai pemikirannya.
Dalam buku terbitan PT Gramedia yang ditulis oleh tiga personel Islam Liberal yaitu Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie, dan Ulil Abshar Abdalla yang berjudul “Metodologi Studi al-Quran” disebutkan secara jelas tentang penolakan mereka terhadap pemahaman dan keyakinan  umat Islam bahwa al-Quran adalah kalamullah. Kaum Liberal menganggap bahwa al-Quran adalah kata-kata Muhammad `, ditulis dalam buku tersebut:
“Muhammad bukan sebuah disket, melainkan orang yang cerdas, maka tatkala menerima wahyu, Muhammad ikut aktif memahami dan kemudian mengungkapkannya dalam bahasa Arabnya sendiri. Karena itu, menurut Nasr Hamid Abu Zaid tidak bertentangan jika dikatakan bahwa al-Quran adalah wahyu Tuhan dengan teks Muhammad (Muhammadan text).”
Menurut Dawam Raharjo, perbedaan pandangan terhadap konsep al-Quran apakah kalamullah atau kata-kata Muhammad merupakan perbedaan utama antara metode Tafsir klasik dengan metode Hermeuneutika, ia mengatakan: “Metode Hermeuneutika ini berbeda dengan penekanan tafsir al-Quran tradisional yang bertolak dari kepercayaan bahwa al-Quran itu adalah kalam  ilahi. Dalam pengertian itu, Tuhan tidak dipandang sebagai pengarang, sebagaimana manusia yang mengarang puisi atau prosa. Dalam menafsirkan al-Quran, para penafsir tidak melihat latarbelakang social Tuhan yang memengaruhi perkataan Tuhan. Sedangkan dalam hermeuneutika, penafsir teks berusaha memahami teks dengan mempelajari pengarangnya, bahkan pembacanya, ketika teks itu diciptakan atau ditafsirkan kemudian.”
Ia juga menyatakan: “Disinilah perlunya metode hermeuneutika, yang mencoba memahami teks berikut dengan mempelajari konteks, sehingga para penafsir bisa menemukan esensi makna suatu ayat yang mungkin saja keliru sebagaimana pernah diwacamakan oleh Muhamamad Abduh.”[9]
Pendapat-pendapat Nasr Hamid juga banyak diikuti oleh IAIN, banyak dosen dan mahasiswa UIN yang secara terang-terangan mengusung pendapat Nasr Hamid, seperti seorang dosen di IAIN Surabaya bernama Suhalwi Ruba, dihadapan mahasiswanya ia menuliskan lafal Allah I pada secarik kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya dengan sepatu, sambil mengatakan: “al-Quran dipandang sakral secara substansi,tapi tulisannya tidak sakral”. Menurut Suhalwi, al-Quran sebagai kalam Allah I adalah makhluk ciptaan-Nya, sedangkan al-Quran sebagai mushaf adalah budaya karena bahasa Arab, huruf hijaiyah dan kertas merupakan hasil cipta manusia.

[1] Henri Shalhuddin, al-Quran dihujat, (Jakarta: al-Qalam, 2007), cet. Ke-2, hal. 9
[2] Sebelum Nasr Hamid, beberapa Intelektual Muslim Mesir seperti Thha Husain, Amin al-Khuli (1895-1966), Muhammad Ahmad Khalaf Allah (1916-1998) dan Shukri Muhammad ‘Ayyad (1921-1999) sudah mengaplikasikan metode kritik sastra terhadap AI-Qur’an. Lihat Adnin Armas, MA, Metodologi Bible dalam Studi al-Quran,(Jakarta: Gema Insani, 2005) cet. Ke-1, hal. 22 menukil dari Yusuf Rahman, The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zayd: An Analytical Study of Nis Method of lnterpreting the Qur’an (Montreal: Disertasi Doktoral di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, 2001). Kritik sastra ini ketika diterapkan dalam Bible, menggunakan satu pendekatan khusus yang disebut studi sumber (source critism). Kritik sumber pertama kali muncul pada abad ke-17 dan ke-18 M ketika para sarjana Bibel menemukan berbagai kontradiksi, pengulangan perubahan di dalam gaya bahasa, dan kosa kata Bibel. Mereka menyimpulkan kandungan Bibel akan lebih mudah dipahami. jika sumber-sumber yang melatarbelakangi teks Bibel diteliti.
[3] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nas: Dirasah fi ‘Ulum AI-Qur’an (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1994), cet.ke-2, hal. 27
[4] Adian Husaini, MA dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeuneutika dan Tafsir al-Quran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2007), hal. 36-38
[5] Adnin Armas, MA, Metodologi Bible dalam Studi al-Quran, (Jakarta: Gema Insani, 2005) cet. Ke-1, hal. 30
[6] Adnin Armas, MA, Metodologi Bible dalam Studi al-Quran, (Jakarta: Gema Insani, 2005) cet. Ke-1, hal. 36
[7] DR. Adian Husaini, Murid−murid Nasr Hamid Abu Zayd di Indonesia,http://newsgroups.derkeiler.com/Archive/Soc/soc.culture.indonesia, diakses 6/6/2010
[8] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1997 M), hal. 59
[9] Dr. Adian Husaini, Hermeuneutika dan cara berfikir Muslim dalam Majalah ar-Risalah (Vol. IX no 12, Juni 2010) hal. 33

Gender dalam pandangan Quraisy Syihab

PENAFSIRAN QURAISY SYIHAB TENTANG AYAT-AYAT GENDER


A.    Pendahuluan
Dalam dua dekade ini, kesetaraan gender mulai banyak dikaji di kalangan akademisi Indonesia.Kajian tentang masalah perempuan ini muncul lebih disebabkan oleh rasa keprihatinan terhadap realitas posisi perempuan dalam berbagai lini kehidupan.Posisi perempuan selalu dikaitkan dengan lingkungan domestik yang berhubungan dengan urusan keluarga dan rumah tangga, sementara posisi laki-laki sering dikaitkan dengan lingkungan publik, yang berhubungan dengan urusan-urusan di luar rumah.Dalam struktur sosial seperti ini, posisi perempuan yang demikian itu sulit mengimbangi posisi laki-laki.Perempuan yang ingin berkiprah di lingkungan publik masih sulit melepaskan diri dari tanggung jawab di lingkungan domestik.Beban ganda seperti ini dikarenakan tugasnya sebagai pengasuh anak sudah merupakan persepsi budaya secara umum.
Begitu pula budaya di beberapa kalangan, hubungan-hubungan tertentu laki-laki dan perempuan dikonstruksi oleh mitos.Mulai mitos tulang rusuk asal-usul kejadian perempuan sampai mitos-mitos di sekitar menstruasi.Mitos-mitos tersebut cenderung mengesankan perempuan sebagai the second creation dan the second sex.[1]Pengaruh mitos-mitos tersebut mengendap di alam bawah sadar perempuan sekian lama sehingga perempuan menerima kenyataan dirinya sebagai subordinasi laki-laki dan tidak layak sejajar dengannya.[2]
Ironisnya, bahwa posisi perempuan di dalam masyarakat kurang disadari oleh kaum perempuan sendiri.Bahkan tidak jarang sekelompok perempuan merasa nyaman dengan kondisi tersebut walaupun sekelompok lainnya merasa prihatin.Demikianlah, sehingga dominasi laki-laki dalam peran publik dan domestikasi perempuan merupakan pola hubungan yang niscaya terjadi antara laki-laki dan perempuan di masyarakat.Oleh sebab itu, tidak heran kalau kemudian hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang sudah bersifat alami atau kodrati.Anggapan umum seperti inilah yang ditolak oleh feminisme selama kurang lebih dua dekade ini.
Pola hubungan ini, yakni posisi perempuan yang lemah dan posisi laki-laki yang kuat, di berbagai kelompok masyarakat dalam lintasan sejarah selalu ditemukan.Sehubungan dengan ini, dapatlah kita identifikasikan pola hubungan tersebut berdasarkan ciri-ciri universal dalam berbagai kelompok budaya sebagai berikut.
Dalam masyarakat primitif, umumnya peran sosial ekonomi terpola pada dua bagian, yaitu pemburu untuk kaum laki-laki dan peramu untuk kaum perempuan.Berarti hal ini menandai bahwa kaum laki-laki memperoleh kesempatan lebih besar untuk memperoleh pengakuan dan prestise di wilayah publik.Sedangkan dalam masyarakat hortikultura, pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin tidaklah terlalu tampak, karena perempuan dianggap dapat dan mampu untuk melakukan usaha sebagaimana laki-laki.Perempuan dalam masyarakat hortikultura memperoleh kedudukan lebih tinggi bila dibanding dengan kelompok masyarakat primitif.Namun secara umum, peran politik dalam masyarakat ini masih tetap didominasi kaum laki-laki.
Selanjutnya, peralihan masyarakat hortikultural ke masyarakat agraris membawa perubahan sosial yang penting.Dalam masyarakat agraris ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan sangat terasa.Kaum perempuan pada umumnya tersisih dari peranan produksi secara ekonomis, dan produksi lebih didominasi oleh kaum laki-laki.Sehingga dalam masyarakat ini berkembang pola yang disebut dengan “lingkungan publik-domestik”.Di mana lingkungan publik didominasi laki-laki sedangkan perempuan ditempatkan dalam lingkungan domestik.
Sedangkan dalam masyarakat industri, kaum perempuan kembali mendapatkan tempat untuk terlibat dalam kegiatan perekonomian, namun secara umum substansi pola publik-domestik masih dipertahankan, karena partisipasi perempuan masih dihargai lebih rendah daripada laki-laki.Tegasnya, dalam masyarakat industri, pembagian kerja secara seksual masih menonjol.Masyarakat industri mengacu kepada orientasi produksi.Maka perempuan dianggap the second class karena fungsi reproduksinya mereduksi fungsi produksinya. Pola relasi gender ini masih berlangsung tidak seimbang, dan dengan demikian status kedudukan perempuan masih tetap lemah.
Pola hubungan ini merupakan akumulasi dari berbagai faktor dalam perjalanan sejarah panjang umat manusia: sosial, ekonomi, budaya, politik termasuk pula penafsiran terhadap teks-teks keagamaan. Feminisme mengkaji secara kritis berbagai macam pola hubungan laki-laki dan perempuan yang ada dan berkembang di masyarakat dengan menggunakan paradigma kesetaraan laki-laki dan perempuan. Salah satu tema kajian feminisme yang menarik adalah kajian kritis tentang konsep kesetaraan gender dalam al-Qur’an. Tema kajian tersebut merupakan prinsip pokok dalam ajaran Islam, yakni persamaan antara manusia, baik laki-laki dan perempuan, maupun antara bangsa, suku dan keturunan.
Dalam beberapa ayat al-Qur’an, masalah kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan ini mendapat penegasan. Secara umum ini dinyatakan oleh Allah dalam surat al-Hujurât ayat 13 bahwa semua manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit dan perbedaan-perbedaan yang bersifat given lainnya, mempunyai status sama di mata Allah. Mulia dan tidak mulia mereka di mata Allah ditentukan oleh ketaqwaan, yaitu prestasi yang dapat diusahakan. Begitu pula  pahala yang mereka raih dari usaha mereka tidaklah dibeda-bedakan, bahkan kesetaraan tersebut ditegaskan secara khusus sebagaimana yang tersurat dalam surat al-Ahzâb ayat 35:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Begitu pula dalam surat al-Nisâ’ ayat pertama Allah menyatakan bahwa perempuan adalah salah satu unsur di antara dua unsur yang mengembangbiakkan manusia.Ayat ini juga menunjukkan adanya persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal-hal yang termasuk kekhususan umat manusia.
Namun demikian, dalam beberapa ayatnya, muncul problem kesetaraan, terutama dalam penafsiran terhadap teks-teks tertentu. Dalam surat ini ada beberapa tema yang sering diperdebatkan oleh banyak kalangan, termasuk kalangan feminis. Salah satu tema tersebut adalah tentang penciptaan perempuan dalam al-Nisâ ayat 1, sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Sebagian besar ulama menafsirkan kata nafs wâhidah dengan Adam, sedangkan kata zawjdiartikan dengan Hawa, yakni isteri Adam yang diciptakan dari tulang rusuknya.[3]
Sedangkan Muhammad ‘Abduh dan Rasyîd Ridhâ, dalam Tafsîr al-Manâr, menolak penafsiran tersebut di atas. Karena menurut mereka, surat al-Nisâ ayat 1 secara lahir tidak menyatakan bahwa kata nafs wâhidah adalah Adam, dan juga tidak ada dalam al-Qur’an nash yang mendukung pemaknaan tersebut. Untuk itu, mereka cenderung memaknai kata nafs wâhidahsebagai materi yang dengannya diciptakan Adam dan isterinya (Hawa).Tampaknya ‘Abduh dan Ridhâ ingin memperjuangkan hak-hak perempuan.
Namun berbeda dengan Quraish Shihab, di dalam bukunya Tafsir Al-Mishbah, terkesan tidak ingin ikut campur dalam perdebatan antara kedua belah pihak di atas. Di dalam tafsirnya, Shihab memaparkan penafsiran kedua belah pihak tentang frase min nafs wâhidah wa khalaqa minhâ, serta menunjukkan inti dari polemik tersebut. Kemudian ia berusaha mendialogkan pendapat kedua belah pihak dengan titik tekan pada keserasian al-Qur’an (munâsabah). Shihab menulis:
Perlu dicatat sekali lagi bahwa pasangan Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam, maka itu bukan berarti bahwa kedudukan wanita-wanita selain Hawa demikian juga, atau lebih rendah dibanding dengan lelaki. Ini karena semua pria dan wanita anak cucu Adam lahir dari gabungan antara pria dan wanita, sebagaimana bunyi surah al-Hujurât di atas, dan sebagaimana penegasan-Nya, “Sebahagian kamu dari sebahagian yang lain”(Q.S. Ali ‘Imrân [3]:195). Lelaki lahir dari pasangan pria dan wanita, begitu juga wanita.Karena itu, tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara keduanya.Kekuatan lelaki dibutuhkan oleh wanita dan kelemahlembutan wanita didambakan oleh pria.

Melihat tulisannya, dapat dipahami bahwa Shihab tidak mengakui adanya perbedaan dari segi kemanusiaan, namun perbedaan antara laki-laki dan perempuan tersebut bersifat given.Dari perbedaan inilah timbul komunikasi positif (hubungan saling menyempurnakan) antara keduanya dalam bingkai kemitraan. Bisa jadi, asumsi peneliti, kesetaraan yang ia  maksud adalah kemitraan.
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan tiga rumusan masalah, yaitu: pertama, bagaimana penafsiran Shihab terhadap ayat-ayat yang menyangkut persoalan perempuan dalam surat al-Nisâ’, khususnya tentang asal kejadian dan status perempuan, warisan, poligami, dan kepemimpinan dalam rumah tangga di dalam Tafsir Al-Mishbah?.Kedua, apa spesifikasi penafsiran Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah dibandingkan dengan penafsiran para mufasir sebelumnya?.Ketiga, sejauhmana latar belakang kehidupan Shihab berpengaruh terhadap penafsirannya?.

B.     Biografi M.Quraish Shihab dan Tafsir al-Misbah
1.    Riwayat Hidup
Nama lengkap Qurais Shihab adalah Muhammad Quraish Shihab, ia lahir pada tanggal 6 Februari 1944, di kabupaten Sidendeng Rappang, Sulawesi Selatan, sekitar 190 kilometer dari Ujung Pandang.[4]Ayah Qurais Shihab bernama Abdurrahman Syihab (1905-1986).Ia juga seorang ulama tafsir, tamatan Jam’iyyat al-Khair Jakarta, sebuah lembaga pendidikan Islam tertentu di Indonesia yang mengedepankan gagasan-gagasan Islam Modern. Selain seorang guru besar Tafsir, sang ayah juga pernah mendukung jabatan Rektor di IAIN Alauddin Ujung Pandang, dan tercatat sebagai salah seorang pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI) Ujung Pandang.
Quraish Shihab memulai aktifitas keilmuannya dari kampung halamannya sendiri, yaitu dengan menamatkan pendidikan Sekolah Dasarnya di Ujung Pandang. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang dan belajar agama Islam  di Pondok Pesantren Dar al-Hadis al-Faqihiyyah
Setelah itu, Quraish Shihab berangkat ke Kairo Mesir pada tahun 1958 M. untuk melanjutkan studinya di al-Azhar dan diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar.Tampaknya hal ini merupakan obsesi yang sudah lama ia impikan, yang kemunculannya barangkali dipengaruhi oleh ayahnya dilingkungan al-Azhar.
Inilah sebagian karir intelektualnya dimatangkan selama kurang lebih 11 tahun. Pada tahun 1967, ia berhasil mendapatkan gelar Lc (S1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan magisternya di Fakultas yang sama dan selesai pada tahun 1969 dengan mendapat gelar MA (master Of Art)untuk spesialisasi bidang tafsir al-Qur’an dengan tesis berjudul “al-I’jaz al-Tasyri’iyah al-Qur’an al-Karim.”
Setelah menyelesaikan studi strata dua tersebut,Quraish Shihab kembali ke Ujung Pandang dan dipercaya untuk menjadi wakil Rektor bidang Akademika dan kemahasiswaan di IAIN Ujung Pandang. Tidak hanya itu, Quraish Shihab juga diserahi jabatan lain, baik di dalam kampus, seperti Koordinator pengurus Tinggi Swasta (wilayah VII Indonesia bagian Timur), maupun luar kampus, seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang, Quraish Shihab juga sempat melakukan berbagai peelitian, antara lain penelitian dengan tema “Penerapan Kerukunan Hidup umat beragama di Indonesia Timur” pada tahun 1975 dan “Masalah Wakaf di Sulawesi Selatan “pada tahun 1978.[5]
Pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke kairo, untuk melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar. Pada tahun 1982,ia berhasil meraih gelar dokter dalam ilmu – ilmu al-Qur’an dengan disertainya yang berjudul “al-Duran li al-Biqa’I : Tahaqiq wa Dirasah”. Bahkan, ia lulus dengan yudisium summa cum laude yang disertai dengan penghargaan tingkat satu (mumtāz mārtabat al-syaraf al-ula)[6] dengan prestasi ini, Ia tercatat sebagai orang pertama dari Asia Tenggara yang meraih gelar tersebut[7].
Pada tahun 1984,Quraish Shihab kembali lagi ke Indonesia dan ditugaskan untuk mengajar di Fakultas Ushuluddin dan Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Karena keilmuannya yang mumpuni, maka pada tahun 1995, Quraish Shihab dipercaya untuk menduduki Jabatan Rektor di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.Jabatan Rektor pada IAIN yang di anggap sebagai “kampus pembaharu” ini, jelas merupakan posisi strategi untuk merealisasikan gagasan – gagasan pembaharuannya.Salah satu obsesinya ialah melakukan penafsiran dengan menggunakan pendekatan multidisiplin, yaitu sebuah pendekatan yang melibatkan sejumlah ilmuwan dari berbagai bidang spesialisasi.Sebab, pendekatan seperti inilah yang dianggap mampu mengungkap lebih banyak petunjuk-petunjuk dari al-Qur’an.
Tidak hanya itu, di luar kampus Quraish Shihah juga dipercaya untuk menduduki jabatan–jabatan penting, seperti ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat dan asisten ketua umum Ikatan Cendekiawan Muslim Ulama Indoneia (ICMI), anggota lajnah Penelitian al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia (1989), anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (Sejak 1989) dan ketua Lembaga Pengembangan Pendidikan Nasional.[8]
Kegiatan tulis menulis, bagi Quraish Shihab, merupakan hal yang tidak bisa ditinggalkan dari aktivitasnya. Hal ini tampak dari berbagai tulisannya yang diterbitkan di berbagai jurnal, surat kabar, maupun buku. Di antara karyanya dalam bentuk buku adalah:
a.       Fatwa-fatwa: Seputar al-Qur’an dan Hadis (Bandung:Mizan,1999)
b.      Fisafat Hukum Islam (Jakarta:Depag,1987).
c.       Hidangan Ilahi Ayat-ayat Tahlil (Jakarta:Lentera Hati,1997).
d.      Membumikan al-Qur’anFungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat(Bandung:Mizan,1992).
e.       Mukjizat al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib(Bandung :Mizan,1997).
f.       Pandangan Ulama Masa lalu dan Cendekiawan Kontemporer “Jilbab Pakaian wanita Muslimah”(Jakarta : Lentera Hati,2006).
g.      Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung : Pustaka Hidayah,1994).
h.      Tafsir al-Manar: Keistimewaan dan Keserasiannya (Ujung Pandang):IAIN Alauddin, 1984).
i.        Tafsir al-Misbah : Pesan,Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta :Lentera Hati,2000).
j.        Tafsir al-Qur’an al-Karim: Tafsir surat-surat pendek Berdasarkan urutan turunnya Wahyu (Bandung Pustaka Hidayah,1997).
k.      Wawasan al-Qur’an : Tafsir mawdui’iy atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung : Mizan, 1996).

2.    Seputar Tafsir al-Misbah
Di dalam Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menguraikan latar belakang ditulisnya Tafsir al-Misbah, di antaranya adalah: pertama, untuk memudahkan umat Islam dalam memahami kandungan al-Qur’an. Sebab, sebagian umat Islam mengagumi pesona bacaan al-Qur’an ketika dilantunkan,seakan-akan kitab suci ini hanya diturunkan untuk di baca. Padahal, bacaan hendaknya disertai dengan kesadaran akan keagungan al-Qur’an, serta tazakkur dan tadabbur.Al-Qur’an mengecam mereka yang tidak menggunakan akal dan kalbunya untuk berfikir dan menghayati pesan-pesan Alquran,sebagai golongan yang telah terkunci hatinya.[9]Kedua, adanya kerancuan pemahaman yang terjadi di kalangan umat Islam terhadap surat-surat tertentu, seperti tradisi membaca Yasin, al-Waqi’ah dan lain-lain. Mereka mampu membaca ayat-ayat dari surat tersebut, tetapi tidak mampu untuk memahami apa yang dibacanya meski mereka telah mengkaji terjemahannya. Kesalahan semakin menjadi-jadi dengan sebab membaca buku-buku yang menjelaskan keutamaan surat-surat al-Qur’an atas dasar hadis-hadis lemah. Menjelaskan tema-tema pokok surat-surat al-Qur’an atau tujuan utama yang berkisar di sekeliling ayat-ayat dari surat itu, akan membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar.[10] Dari salah satu permasalahan diatas Quraish Shihab berupaya menulis Tafsir al-Misbah, karena menurutnya telah terjadi kerancuan pemahaman yang terjadi di tengah masyarakat muslim dalam memahami kandungan surat. Padahal yang terpenting adalah memahami tujuan surat atau tema pokok surat guna memperoleh pesan utama dari setiap surat. Menghidangkan tema-tema pokok al-Qur’an dan menunjukkan betapa serasi ayat-ayatnya dalam setiap surat dengan temanya, akan ikut membantu menghapus kerancuan yang melekat atau hinggap di bentuk orang banyak.[11]
Jumlah keseluruhan volume Tafsir al-Misbah mencapai XV volume.Tahap pertama penerbitannya dilakukan pada tahun 2000 dengan menghasilkan volumeI dan II. Selanjutnya, volume III dan IV pada tahun 2001, kemudian disusul volume V-X pada tahun 2002, dan terakhir volume XI-XV pada tahun 2003. pada setiap volume, cakupan dan jumlah surat dikandung di dalamnya berbeda-beda.
Untuk lebih lengkapnya, dapat dilihat pada tabel berikut:

No
Volume
Isi
Jumlah
halaman
1
2
3
4
5
6
7

8

9

10

11


12


13




14







15
I
II
III
IV
V
VI
VII

VIII

IX

X

XI


XII


XIII




XIV







XV





QS.al-Fatihah dan QS. Al-Baqarah
QS. Ali Imran dan QS. Al-Nisa
QS. al-Maidah
QS. al-An’am
QS. al-A’raf, QS. al-Anfal, QS. al-Taubah
QS. Yunus, QS. Hud, QS. Yusuf, ar-Rad
QS. Ibrahim, QS. al-Hijr, QS. An-Nahi, dan al-Isra
QS. al-Kahfi, QS.Maryam, QS.Taha,dan QS.al-Anbiya
QS.al-Hajj, QS.al-Mu’minun, QS.an-Nur dan QS.al-Furqan
QS. asy-Syu’ara, QS. an-Naml QS. al-Qasas dan QS. al-Ankabut
QS. ar-Rum, QS.Luqman, QS. as-Sajdah, QS. al-Ahzab, QS. Saba, QS.  Fatir,dan QS. Yasin
QS. as-Saffat, QS. Sad, QS. az-Zumar, QS.Gafir, QS. Fussilat, QS. asy-Syura,dan QS.az Zukhruf
QS. ad-Dukhan, QS. al-Jasiyah, QS. al-Ahqaf, QS. Muhammad, QS. al-Fath, QS. al-Hujurat, QS.an-najm, QS. al- Qamar, QS. ar-Rahman, QS. al-Waqi’ah, QS. al-Hadid, QS. al-Mujadalah, dan QS. al-Hasyr
QS. al-Mumtahnah, QS. as-Saff, QS. al-Jumu’ah, QS. al-Munafiqun, QS. at-Tagabun, QS.  at-Talaq, QS. at-Tahrim, QS. Tabaraq. QS. al-Qalam, QS. al-Haqqah, QS. al-Ma’arij, QS. Nuh, QS. al-Jinn, QS. al-Muzzammil, QS. al-Muddassir, QS. al-Qiyamah, QS. al-Insan, QS. al-Mursalat, QS. an-Naba, QS. an-Nazi’at, QS.’Abasa,
QS.. at-Takwir QS. al-Infitar, QS. al-Mutaffifin, QS. al-Insyiqaq, QS. al-Buruj, QS. at-Tariq, QS. al-‘Ala, QS. al-Gasyiyah, QS. al-Fajr, QS. al-Balad, QS. asy-Syams QS. al-Lail, QS. ad-Duha, QS. asy-Syarh, QS.at-Tin, QS. al-‘Alaq, QS. al-Qadr, QS. al-Bayyinah, QS. az-Zalzalah, QS. al-’Adiyah, QS. al-Qari’ah, QS. at-Takasur, QS. al-‘Asr, QS. al-Humazah, QS. al-Fil, QS. Quraisy, QS. al-Ma’un, QS. al-kausar, QS. al-Kafirun, QS. Tabbat, QS. al-Ikhlas, QS. al-Falaq, dan QS. an-Nas
Total
624
659
257
366
765
611
585

524

554

547

582


601


586




695







644











8600

Dalam penyajian tafsir ini, sistematika penyusunan yang digunakan Quraish Shihab adalahtartib mushafi, artinya menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an sesuai dengan susunan ayat-ayat dalam mushaf, ayat demi ayat, dan surat demi surat, yang dimulai dari surat al-Fatihah dan seterusnya.
Dalam setiap penyajian surat yang akan ditafsirkan, Quraish Shihab terlebih dahulu memberikan penjelasan yang bentuk pengantar. Pengantar tersebut memuat penjelasan sebagai berikut:pertama, penyebutan jumlah ayat dan tempat turunnya surat (Makkiyah dan Madaniyyah) serta ayat-ayatyang tidak termasuk katergori tersebut.[12]Kedua, penjelasan yang berkaitan dengan penamaan surat, nama-nama lain dari surat tersebut, serta alasan penamaannya.[13]Terkadang disertai dengan keterangan tentang ayat-ayat yang diambil dan dijadikan nama surat tersebut.[14]Ketiga, tema Pokok atau tujuan dan pendapat-pendapat ulama tentang hal tersebut.[15] Keempat, munasabah antara surat sebelum dan sesudahnya.[16]Kelima, nomor surat berdasarkan urutan mushaf dan turunnya, kadang disertai nama-nama surat yang turun sebelumnya maupun sesudahnya.Keenamasbab al-Nuzul surat, jika ada.[17]
Selanjutnya dari setiap ayat yang ditafsirkannya, Quraish Shihab menjelaskan makna kosa kata, munasabah antara dan asbab al-Nuzul nya jika memang ada.Setelah selesai menjelaskan maksud dari ayat-ayat yang ditafsirkan yang terdapat dalam satu surat, Quraish Shihab baru menyimpulkan pokok kandungan surat tersebut yang kemudian diakhiri dengan catatan wa Allah a’alam.
Tafsiral-Misbah ini memakai metode tahlili, karena dalam melakukan penafsiran, M. Quraish Shihab memberikan perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam al-Qur’an mushaf utsmani.

C.    Penafsiran M. Quraish Shihab tentang Ayat-ayat Gender
1.    Penciptaan
Dengan merujuk kepada beberapa ayat Al-Qur’an, penciptaan manusia dapat dikategorikan kepada empat macam cara: (1) Diciptakan dari tanah (penciptaan Nabi Adam AS); (2) Diciptakan dari (Tulang Rusuk) Adam (Penciptaan Hawa); (3) Diciptakan melalui seorang ibu dengan proses kehamilan tanpa ayah secara biologis (penciptaaa nabi ‘Isa AS); dan (4) Diciptakan melalui kehamilan dengan adanya ayah secara biologis dan hukum, atau minimal secara biologis semata (penciptaan manusia selain Adam, Hawa dan ‘Isa).
Berikut ini adalah beberapa ayat yang berbicara tentang empat macam cara penciptaan di atas:pertama, penciptaan Nabi Adam, ayat yang menceritakan penciptaan Adam yaitu;Al-Fathir 35:11, ash-Shaffat 37:11,  Al-Mukminun 23:12, Al-Hijr 15:26, Ar-Rahman 5:14, dan Ali Imran 3:59.Kedua, penciptaan Hawa, ayat yang menjelaskan hal tersebut adalah; An-Nisa, 4:1, Al-A’raf 7: 189, dan  Az-Zumar 3: 196.Ketiga, penciptaan Nabi Isa, yaitu surat Maryam 19 :16-22. Keempat, penciptaan Manusia lewat proses reproduksi, ayat yang menceritakan proses tersebut adalah:As-Sajadah  32: 7-9, Al-Mukminun 23 12-14, Al-Mursalat 77: 20-23, Ath-Thariq 86: 5-7, dan Al-Qiyamah 75: 36-40.
Menurut Quraish Shihab, ungkapan نفس واحدة tidak mempunyai kemungkinan lain, kecuali dalam pengertian Adam.atas dasar analisis munâsabah antara ungkapan kata itu dengan ungkapan “wa batstsa minhumâ rijâlan katsîran wa nisâ`” yang jika dilihat dari tema pokok ayat ini tentang perkembangbiakan manusia tidak mungkin dipahami di luar konteks perkembangan manusia berasal dari pasangan Adam dan Hawa. Namun, meski نفس واحدة mengacu kepada Adam, tidak berarti bahwa Hawa diciptakan dari Adam sendiri, melainkan dari “jenis” Adam (من جنسها), karena sebagaimana dikutipnya dari pendapat al-Thabâthabâ’î tidak ada petunjuk sama sekali dalam nash ayat tersebut bahwa Hawa diciptakan dari Adam. Sedangkan, hadis yang menjelaskan keterciptaan perempuan dari tulang rusuk bengkok hanya secara metafor.Atas dasar ini, penafsiran Quraish Shihab tentang nafs wâhidah memiliki persamaan dengan penafsiran mayoritas ulama, seperti al-Biqâ’î, al-Suyûthî, dan Ibn Katsîr. Akan tetapi, pada kata minhâ, penafsirannya berbeda dengan penafsiran kelompok ulama ini, dan memiliki persamaan dengan al-Thabâthabâ’î, ‘Abduh, Abû Muslim al-Ishfahânî, dan salah satu ta’wil yang dikemukakan oleh al-Qaffâl.[18]
Patut dicatat bahwa penafsiran Quraish Shihab tampak mengalami pergeseran. Dalam “Membumikan” al-Qur’an, kata nafs wâhidah ditafsirkan sebagai “jenis yang sama”. Sedangkan dalam Tafsir al-Mishbâh kata ini ditafsirkannya sebagai Adam as.dan kata “minhâ” sebagai jenis penciptaan yang sama dengan Adam.
Posisi pemikiran Quraish Shihab ini sama dengan penafsiran al-Thabâthâ’î. Bahkan, basis argumennya tentang korelasi kata nafs wâhidah dengan ungkapan wa batstsa minhumâ rijâlan katsîran wa nisâ` yang bertolak dari tujuan surah dan argumennya berkaitan dengan kata “minhâ” sebagai “jenis” yang sama dengan penciptaan Adam as. ditimba oleh Quraish Shihab dari tokoh ini.[19] Jadi, pemikiran Quraish Shihab yang semula sama dengan ‘Abduh bergeser ke al-Thabâthabâ’î.
2.    Poligami
Secara bahasa poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan.[20] Istilah ini bersifat umum, dapat digunakan untuk laki-laki yang punya isteri lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan dan bisa juga digunakan untuk perempuan yang punya suami lebih dari satu pada waktu yang bersamaan, berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah saw. Dalil yang digunakan dari Al-Qur’an untuk membolehkannya adalah Surat An-Nisa’ ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Dalil dari hadis antara lain adalah riwayat berikut ini :
“Dari Ibn Syihab ia berkata, telah sampai kepada ku berita bahwa Rasulullah SAW berkata kepada seorang laki-laki dari Tsaqif yang telah masuk Islam sedang di sisinya ada sepuluh orang isteri tatkala ats-Tsaqafi itu masuk Islam : “Peganglah empat orang diantara mereka, dan ceraikan yang lainnya” (H.R. Malik, ta-Tirmidzi dan Ibn Majah, teks hadits dari Maliki)[21]
“Dari harits ibn Qais, berkata Musaddad ibnm ;Umairah dan berkata Wahab al-Asai, ia berkata: “Aku masuk Islam, sedang aku mempunyai delapan orang isteri, maka aku sebut yang demikian kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda; “pilihlah empat orang di antara mereke” : (H.R. Abu Daud)[22]

Dapat dipahami dari dua hadits di atas, bahwa sebelum Rasulullah  saw. diutus, poligami dalam masyarakat Arab dibebaskan tanpa batas. Contohnya Ghailan ibn Salamah ats-Tsaqafi dan al-Harits ibn Qias masing-masing memiliki sepuluh dan delapan orang isteri.Lalu datang Islam membatasi maksimal empat dalam waktu yang bersamaan.
Satu-satunya syarat yang disebutkan dalam ayat yang dikutip di atas yang membolehkan seorang laki-laki boleh beristri lebih dari satu adalah apabila yakin dapat berlaku adil memperlakukan isteri-isterinya, dan keyakinan itu tentu saja didukung oleh realitas obyektif yang ada pada diri laki-laki itu, tidak hanya sekedar keyakinan.Yang penulis maksud dengan realitas obyektif adalah memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang konsep adil dalam berpoligami, menurut Islam, memiliki harta kekayaan yang dapat memenuhi kewajibannya memberi nafkah secara adil kepada isteri-isterinya. Menurut Sayyid Sabiq, suami wajib berlaku adil terhadap isteri-isterinya dalam masalah makanan, tempat tinggal, dan pakaian dan giliran bermalam bersama masing-masing mereka dan kewajiban-kewajiban yang bersifat materi lainnya. Jika seseorang hanya yakin dapat berlaku adil dengan dua isteri saja, haram bagi dia Kawin yang ketiga kalinya, begitu seterusnya.[23]
Demikianlah laki-laki dibolehkan melakukan poligami, sementara itu, Islam tidak mengizinkan seorang perempuan untuk melalukan poliandri.Sejauh ini tidak ada seorang ahli fiqih pun yang berpendapat bahwa perempuan boleh mempunyai suami lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan, menikah lagi dalam masa iddah pun tidak dibolehkan. Seorang perempuan yang sudah di cerai oleh suaminya, baru boleh di lamar laki-laki lain setelah habis masa iddahnya, dan selama masa iddah itu mantan suaminya tidak rujuk kepadanya. Pertanyaan yang muncul dalam perspektif kesetaraan gender adalah, apakah ketentuan seperti ini tidak bersifat diskriminatif terhadap perempuan?Mengapa hanya laki – laki yang diperbolehkan beristri lebih dari satu, perempuan tidak?Apakah tidak semestinya laki-laki juga tidak dibolehkan punya istri lebih dari satu?Betulkah laki-laki dapat berlaku adil kepada istri-istrinya, bukankah ada ayat yang menyatakan (Q.S. An-Nisa’ 4:129)
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
129. dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dalam menjelaskan ayat ini, bagi Quraish Shihab, cara terbaik memahami ayat di atas adalah: pertama, dengan menempatkan ayat itu dalam konteks siapa yang dituju. Keterangan ‘Aisyah sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhârî, Muslim, dan lain-lain bahwa ayat ini berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pemeliharaan seorang wali, dan hartanya bergabung dengan harta wali.Wali tersebut menyukai kecantikan dan harta anak yatim itu dan ingin menikahinya tanpa memberinya mahar yang sesuai.[24]
Kedua, berdasarkan tuntutan berlaku adil terhadap anak yatim sebagai aksentuasi ayat ini, maka penyebutan “nikahilah wanita yang kamu sukai dua, tiga, dan empat” adalah dalam konteks penekanan terhadap perintah berlaku adil. Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seorang yang melarang orang lain makan makanan tertentu, dan untuk menguatkan larangan tersebut dikatakannya: “Jika Anda khawatir akan sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang ada di hadapan Anda”. Perintah menghabiskan makanan, tentu saja, hanya menekankan perlunya mengindahkan larangan tidak memakan makanan itu. Jadi, perintah dalam ayat ini sama sekali tidak mengandung anjuran, apalagi kewajiban berpoligami.[25]
Ketiga, konteks sosio-historis masyarakat Arab.Ayat ini, menurut Shihab, tidak membuat regulasi tentang poligami, karena telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama dan tradisi masyarakat sebelum turunnya ayat ini.[26]
Tentang persoalan “keadilan”, bagi sebagian feminis muslim seperti Musdah Mulia, poligami dilarang atas dasar efek-efek negatif yang ditimbulkannya (harâm li ghayrih) karena al-Qur’an bertolak dari pengandaian syarat keadilan terhadap para istri yang tidak mungkin terwujud. Klaim ini didasarkan QS.al-Nisâ`/4: 129:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Menurut Quraish Shihab, ada ulama yang menyamakan “keadilan” pada al-qisth (تقسطوا) dan al-‘adl (تعدلوا). Sebagian ulama lagi membedakan keduanya bahwa kata pertama adalah berlaku adil antara dua orang atau lebih dengan cara yang bisa diterima oleh kedua belah pihak. Sedangkan, kata kedua adalah berlaku adil dengan cara yang mungkin tidak bisa diterima oleh kedua belah pihak.[27] Jika diterapkan pada ayat ini, maka para suami tidak akan bisa berlaku adil dengan keadilan yang bisa diterima para istri. Beberapa feminis menolak poligami sebagai solusi atas berbagai masalah perempuan, karena al-Qur’an bertolak dari pengandaian tentang keadilan sebagai syarat yang tidak bisa terwujud.
3.  Kewarisan
Disamping masalah perkawinan,hal lain yang diterangkan secara rinci hukumnya di dalam al-Qur’an adalah masalah kewarisan. Rincian itu terdapat dalam Surat an-Nisa ayat 11-12 dan 176, tetapi sebelumnya, ayat 7 lebih dahulu dikemukakan satu prinsip pokok dalam pembagian warisan dari harta peninggalan kedua orang tua dan karib kerabat mereka masing-masing, yaitu:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.

Pada saat ayat ini turun, sistem pembagian warisan pada masyarakat arab bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan. Kaum perempuan dan juga anak-anak samasekali tidak mendapat warisan dari peninggalan suami atau orang tua mereka. Alasan mereka:“Bagaimana mungkin kami akan memberikan warisan kepada orang yang tidak pernah menunggang kuda, tidak pernah memanggul senjata dan tidak pernah berperang melawan musuh”.[28]
Pandangan seperti diatas tetap diikuti oleh orang-orang yang telah masuk Islam sekalipun, sampai kemudian ada yang mengadukan persoalan mereka kepada Rasulullah SAW, seperti yang dilakukan oleh janda Sa’ad ibn ar-Rabi’ dan janda Hawan ibn Tsabit.
Dalam kasus yang pertama, janda sa’ad ibn ar-Rabi’ mengeluh kepada Rasulullah SAW bahwa dua anak perempuan Sa’ad sama sekali tidak medapatkan warisan dari harta peninggalan bapak mereka. Semua harta peninggalan diambil oleh saudara laki-lakinya, tanpa tersisi sedikitpun untuk kedua anak perempuannya.Padahal mereka sangat membutuhkan harta tersebut untuk biaya pernikahan.[29]
Dalam kasus yang kedua,Hakkah, janda Hasan ibn Tsabit penyair yang terkenal itu, melaporkan nasibnya dan lima anak perempuannya kepada Rasulullah SAW. Setelah Hasan meninggal dunia,beberapa ahli waris dari keluarga Hasan meninggal dunia, beberapa ahli waris laki-laki dari keluarga Hasan datang mau mengambil semua harta peninggalan almarhum, padahal Hasan datang mau mengambil semua harta peninggalan almarhum, padahal Hasan meninggalkan seorang isteri dan lima orang anak perempuan yang membutuhkan harta peninggalan dari suami dan bapak mereka. Dua kasus itulah yang melatar belakangi turunnya Surat an-Nisa ayat 11 dan 12 merinci pembagian warisan baik untuk ahli waris baik laki-laki maupun perempuan dengan status mereka masing-masing.[30]
Dalam dua ayat tersebut diuraikan secara terperinci ketentuan pembagian warisan, siapa-siapa yang berhak mendapatkan warisan, berapa bagian masing-masing, kapan seseorang dapat bagian warisan yang tepat, kapan pula dapat warisan berdasarkan kelebihan harta, serta kapan seseorang memperoleh hak warisan berdasarkan dua sistem tersebut (tetap dan kelebihan), siapa-siapa ahli waris yang terhalang haknya oleh ahli waris yang lain berdasarkan kedekatan hubungan darah atau kerabat, baik secara keseluruhan maupun sebagian, dan ketentuan-ketentuan lain tentang warisan.[31]Bagian masing-masing ahli waris dalam dua ayat itu tidak hanya disebutkan secara global tetapi terperinci dengan menggunakan angka-angka pecahan seperti 1/8, 1/6, 1/4, 1/3, 1/2, dan 2/3.
Khusus mengenai hak waris kaum perempuan, dalam dua ayat diatas dijelaskan dengan terperinci dalam berbagai variasi, status dan keberadaan ahli waris lain dengan bagian yang variatif pula. Misalnya sebagai ibu, dia dapat 1/6 jika  yang meninggal punya anak, dan 1/3 jika yang meninggal tidak punya anak. Sebagai isteri,dia dapat  1/8 jika yang meninggal punya anak dan 1/4 jika yang meninggal tidak punya anak. Sebagai anak, dia dapat 1/2  jika seorang diri, 2/3 bersama-sama dengan anak-anak laki-laki jika bersama dengan anak laki-laki. Semua pembagian itu setelah dikurangi untuk pembayar hutang dan wasiat ahli waris.[32]Menjadi persoalan dalam masalah kesetaraan gender adalah ketentuan yang terdapat pada awal ayat 11 yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Kenapa anak laki-laki mendapatkan dua bagian anak perempuan?Apakah doktrin ini tidak bersifat diskriminatif terhadap perempuan?
Menanggapi ayat tersebut, Quraish Shihab lebih jauh menjelaskan indahnya syariat Islam dalam soal waris dan menepis kritikan sebagian feminis.Menurutnya, kekeliruan yang terjadi dalam memahami teks seperti dialami kalangan feminis sebagai kekeliruan metodologis, seperti memahami persoalan juz`î terlepas dari prinsip umumnya dan memahami teks terlepas dari konteks. Shihab mengatakan:
Dapat dipastikan bahwa kritik-kritik itu diakibatkan oleh titik tolak yang keliru antara lain karena memandang ketentuan-ketentuan tersebut secara parsial, dengan mengabaikan pandangan dasar dan menyeluruh ajaran Islam. Memang memandang masalah juz`î terlepas dari induknya pasti menimbulkan kekeliruan, seperti juga kekeliruan memahami suatu teks atau ucapan terlepas dari konteksnya.Bahkan, pemahaman demikian bukan saja mengundang kesalahpahaman atau kesalahan, tetapi juga dapat menggugurkan sekian banyak prinsip.[33]
Dalam bukunya, Perempuan, Shihab mengkritik pandangan negatif terhadap isu-isu gender dalam al-Qur’an sebagaimana layaknya memandang tahi lalat di wajah yang jika titik hitam itu saja yang dipandang tentu terlihat tidak menarik, atau bahkan buruk. Akan tetapi, jika pandangan tertuju kepada wajah secara keseluruhan, titik hitam itu justru menjadi faktor keindahan dan kecantikan.[34]Dalam konteks formula 2:1 sebagai persoalan juz`î, lalu mana yang disebut Shihab sebagaiushûlî?Menurutnya, setiap peradaban menciptakan hukum sesuai dengan pandangan dasarnya tentang wujud, alam, dan manusia.Prinsip dasar Islam (ushûlî) adalah pandangan dasarnya yang menyeluruh tentang wujud, alam, dan manusia, berisi nilai-nilai sebagai hasil seleksi nilai-nilai yang ada atau menciptakan yang baru.Dalam konteks waris, prinsip dasarnya laki-laki dan perempuan adalah dua jenis manusia yang harus diakui, suka atau tidak suka, berbeda.[35] Sangat sulit menyatakan keduanya sama, lewat pembuktian agama maupun ilmu pengetahuan. “Mempersamakannya hanya akan menciptakan jenis manusia baru, bukan lelaki bukan pula perempuan”, tegasnya.Perbedaan (distinction) itulah yang menyebabkan perbedaan fungsi, seperti patokan umum “fungsi utama yang diharapkan menciptakan alat”.Pisau dibikin tajam karena berfungsi untuk memotong.Sebaliknya, bibir gelas dibikin halus karena berfungsi untuk minum. Fungsi apa yang akan diharapkan akan menentukan seperti apa alat itu dibikin. Laki-laki dan perempuan memiliki kodrat, fungsi, dan tugas yang berbeda.Karena perbedaan inilah “alat” (hak) untuk keduanya juga berbeda.[36]
Dalam konteks perbedaan itu, laki-laki diwajibkan membayar mahar dan menanggung nafkah istri dan anak-anaknya, berbeda dengan perempuan. Dengan analogi “perimbangan”, Shihab menjelaskan, jika “fungsi” (kewajiban) yang sesuai dengan kodratnya itu kemudian diimbangi dan memenuhi rasa keadilan dengan memberi laki-laki “alat” (hak) waris dua kali bagian perempuan, maka perimbangan ini memenuhi rasa keadilan. Bahkan, secara matematis, al-Qur’an tampak lebih berpihak kepada perempuan yang lemah. Mengutip al-Sya’râwî,[37]ia menjelaskan bahwa laki-laki membutuhkan istri, tetapi ia harus membelanjainya, bahkan harus mencukupinya. Sebaliknya, perempuan juga membutuhkan suami, tetapi ia tidak wajib membelanjainya, bahkan ia harus dicukupi keperluannya. Jika laki-laki harus membelanjai istrinya, atas dasar keadilan dengan pembagian rata, bagian yang diterimanya dua kali lipat itu sebenarnya ditetapkan al-Qur’an untuk memenuhi keperluan diri dan istrinya.Seandainya, laki-laki tidak wajib membelanjai istrinya, tentu saja, setengah dari bagiannya sudah dapat memenuhi keperluan dirinya. Di sisi lain, perempuan dengan satu bagian itu dapat memenuhi keperluannya, seandainya ia belum menikah, dan jika telah menikah ia dibelanjai oleh suaminya, sehingga satu bagian yang diperolehnya bisa disimpan. Jadi, dua bagian untuk laki-laki dibagi habis, sedangkan satu bagian perempuan masih utuh.[38]
4. Kepemimpinan
Setelah terlaksananya akad nikah, sepasang suami isteri akan hidup bersama dalam sebuah rumah tangga. Ibarat bahtera, mereka berdua akan mengarungi lautan kehidupan kehidupan untuk mencapai pulau yang menjadi tujuan bersama. Mereka akan bekerjasama, bahu membahu, melaksanakan segala tugas kehidupan dan mengatasi segala rintangan untuk mencapai keluarga bahagia. Supaya kerjasama dapat berlangsung dengan baik haruslah ada salah seorang di antara mereka berdua yang memegang kemudi.Persoalannya sekarang adalah, siapa yang memegang kemudi itu, suami atau isteri?
Para ulama umumnya, baik fuqaha’ maupun mufasir berpendapat bahwa suamilah yang bertindak menjadi pemimpin.[39] Dalil yang mereka kemukakan adalah surat An-Nisa ayat 34. dalam ayat itu dinyatakan secara eksplisit bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan. Lengkapnya ayat itu berbunyi sebagai berikut:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

Quraish Shihab menafsirkan ayat ini bahwa iatidak menolak kepemimpinan perempuan selain di rumah tangga. Meski ia menerima pendapat Ibn ‘Âsyûr tentang cakupan umum kata “al-rijâl” untuk semua laki-laki, tidak terbatas pada para suami, tetapi uraiannya tentang ayat ini ternyata hanya terfokus pada kepemimpinan rumah tangga sebagai hak suami. Dengan begitu, istri tidak memiliki hak kepemimpinan atas dasar sesuatu yang kodrati (given) dan yang diupayakan (nafkah).Sekarang, persoalannya mungkinkah perempuan mengisi kepemimpinan di ruang publik?
Pertama, berbicara hak berarti berbicara kebolehan (bukan anjuran, apalagi kewajiban).Ayat di atas tidak melarang kepemimpinan perempuan di ruang publik, karena konteksnya dalam kepemimpinan rumah tangga. Shihab mengungkapkan:tidak ditemukan dasar yang kuat bagi larangan tersebut. Justru sebaliknya ditemukan sekian banyak dalil keagamaan yang dapat dijadikan dasar untuk mendukung hak-hak perempuan dalam bidang politik.Salah satu yang dapat dikemukakan dalam kaitan ini adalah QS.at-Taubah [9]: 71: “Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah auliyâ` bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang makruf, mencegah yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya.Mereka itu akan dirahmati Allah; sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Mahabijaksana”.[40]
Argumen ini sama dengan apa yang dikemukakan Justice Aftab Hussain bahwa prinsip yang mendasari kebolehan perempuan menjadi pemimpin di ruang publik adalah “prinsip yang berlaku dalam segala hal adalah kebolehan, sampai ada dalil yang menunjukkan ketidakbolehan”.[41]Kedua, di samping tidak ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur’an larangan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin dalam ruang publik, hadis-hadis Nabi juga “diam” dari larangan itu.

D.    Kesimpulan
Dari uraian di di atas jelaslah bahwa penafsiran Quraish Shihab mempunyai penafsiran tersendiri, yang tidak sepenuhnya mengikuti pandangan para mufasir tradisional ataupun mufasir kontemporer.Ia, misalnya, menafsirkan kata nafs wâhidah sebagai Adam as. dan pasangannya adalah Hawa. Namun,ia tidak setuju bahwa istri Adam, Hawa, diciptakan dari Adam sendiri, melainkan dari “jenis” Adam. Dengan begitu, ia berada pada posisi tengah antara arus penafsiran tradisional dan penafsiran kontemporer semisal; ‘Abduh. Kecenderungan yang kurang lebih sama juga dapat dilihat pada tema-tema lainnya. Penafsiran ini selangkah lebih maju dibandingkan para mufasir sebelumnya.
Latar belakang kehidupan Shihab berpengaruh terhadap penafsirannya. Pemikirannya terhadap satu ayat dalam Al-Qur’an tak lain karena pemikiran tersebut sesungguhnya merupakan satu bagian dari usahanya untuk mendekatkan teks dengan realitas kontemporer. Bahkan M.Quraish Shihab dalam bukunya membumikan Al-Qur’an menjelaskan bahwa pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya umat.Sekaligus penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikirannya.




DAFTAR PUSTAKA


Ali, Mukti A., (Pemp. Red.,), Ensiklopedi Islam, Jakarta, Departemen Agama RI, Buku II, 1993
Abdul Wahid, Ramli, ‘Ulumul Quran, Yogyakarta, Rajawali Pers,cet. I, 1993
Aceh, Abu Bakar, Sejarah Al-Qur'an, Solo, CV. Ramadhani, 1986
Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: studi atas pemikiran Hukum Fazlurrrahman,Bandung, Mizan, 1989
al-Zamakhsari, Imam Mahmud bin Umar, Tafsir al-Kasysyaf, Bairut, Dar al-Ma’rifat, tt.,
al-Zarqani, Muhammad ibn al-Azhim., Manahilu al-Irfanfi ‘Ulum al-Qur’an, Isa al-Bab al-Halabi, tt,
Al-Thabary, Ibn Ja’far Muhammad, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wili Ayyi AlquranBeirut: Dar al-Fikr, 1405/1983
al-Thabathaba’i, Muhammad Husain, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Beirut: Mu’assasah al-‘Alami li al-Mathbu’at, 1403 H/1983 M.
Al-Wahidi, Abu Al-Husayn Ali ibn Ahmad, Asbab al-Nuzul Alquran. t.tp: Dar as-Saqafah al-Islamiyah, 1404 H./1984 M.
Al-Siba’i, Mustafa.,Wanita; al-Jami’ al-Shaghir, Dar al-Fikr, tth.
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Quran, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet, ke- 2, 1998
Baljon, JMS, Modern Muslim Quran Interpretation, Leiden, E. J. Brill, 1968
Kasir Ibn, Tafsir, Bairut, Dar al-Fikr, 1992
Mutahhari, Murtada, TheRights Of Women in Islam, Wofis, 1981
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan 1996
--------, Tafsir al-Mishbah: Pesan , Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, cet. III, 2005
Tim Penyusun, Kamus Besar Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, cet. I., 1988
Yunus, H. Mahmud, Tafsir Quran Karim Bahasa Indonesia, Jakarta, Pustaka Mahmudiyah, cet. 5, 1954
Zakariya, Abi al-Husayn Ahmad bin Faris bin, Mu’jam Maqayis al-Lughah. Kairo: Maktabah al-Khanji, 1981


[1] Diantara kisah tersebut misalnya dikatakan:” Adam dibuang dari syurga yang penuh bahagia, ditipu melalui wanita. Iblis menggoda Hawa dan Hawa menggoda Adam.Lih.Muhammad ibn al-Azhim al-Zarqani, Manahilu al-Irfanfi ‘Ulum al-Qur’an, Isa al-Bab al-Halabi, tt, jilid II, hlm. 14
[2] Kondisi ini terdapat diseluruh dunia, sehingga Will Durrant dalam bukunya The Pleasures of Philosophy sebagaimana dikutip Muthahhari, mengatakan – sampai sekitar tahun 1900 kaum wanita hampir tidak mempunyai suatu hak apapun yang harus dihormati kaum pria menurut hukum. Lihat. Murtada Mutahhari, The rights of women in Islam, Wofis, 1981, hlm. 30
[3] Ibn Kasir, Tafsir, Bairut, Dar al-Fikr, 1992, hlm. 553. Bahkan al-Zamakhsari yang dianggap sebagai mufassir Mu’tazilah yang rasionalpun menganut paham ini. Lih. Pula al-Zamakhsari, Tafsir al-Kasysyaf, Bairut, Dar al-Ma’rifat, tt., hlm. 492
[4] Agoes MD,”Dr.M.M. Quraish Shihab; Ulama Intelek”, Femina,No.14/XXIV (11-17 April 1996),hlm, 50. Lihat juga M. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung : Mizan, 1997),hlm. 6.
[5] M.M. Quraish Shihab, Membumikan….hlm. 6.
[6] Harun Nasution dkk, Ensiklopedi islam Indoesia (Jakarta : Djambatan,2002), hlm. 1039.
[7] M.M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an : Tafsir Madu’iy atas pel bagai Perwsonal
[8] Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi….hlm 1039.
[9] M.M.Quraish Shihab,Tafsir al-Misbah: Pesan,Kesan dan keserasian al-Qur’an,Vol.I (Jakarta: Lentera Hati,2000), hlm, vi. Lihat Q.S. Sad [38]:29.
[10]Ibid,hlm. x.
[11]Ibid.
[12] M.M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah… vol. 6, hlm 3.
[13]Ibid, vol I, hlm 1-9,85.
[14]Ibid, vil, III, hlm. 3
[15]Ibid, Vol I, hlm, 3-9
[16]Ibid, vol I, hlm, 4
[17]Ibid, Vol II, hlm.3
[18] Lihat uraian beberapa penafsiran yang berbeda ini dalam Ahmad Mushthafâ al-Marâghî,Tafsîr al-Marâghî (Mesir: Mathba’at Mushthafâ al-Bâbî al-Halabî wa Awlâdih, 1946), juz  4, h. 175-176
[19] Lihat al-Thabâthabâ`î, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur`ân (Teheran: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, t.th.), juz 4, 144-145.
[20] Tim Penyusun kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), hlm.693.
[21]Muwatha’ Malik Kitab ath-Thalaq, Bab Man Jama’ a ath-Thalaq, Hadits Nomor 1071 : Sunan at-Tirmidzi, Kitab an-Nikah, Bab Man Jaa fi ar-Rajul Yuslimu a’ indahu ‘Syru Niswa, Hadits Nomor 1047 ; Sunan Ibn Majah, Kitab An-Nikah bab ar-Rajul Yuslimu wa’indahu Aktsar min ‘Arba ; Niswa, Teks yang dikutip dari Maliki. Dalam teks at-Tirmidzi disebutkan nama laki-laki dari Tsaqif itu adalah Ghailan ibn Salamah ats-Tsaqafi. Dalam teks ibn Mjaah juga disebutkan nama hailan ibn Salamah, akan tetapi tanpa ats-Tsaqafi.
[22]Sunan Abi Daud, Kitab ath-Thalaq, Bab Man Aslama wa ‘indahu Nisa’ ktsar min Arba’ au Ukhtan, Hadits Nomor 1914.
[23] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah
[24]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. II, h. 340-341.
[25]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. II, h. 341. 
[26]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 2, h. 341.
[27] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 2, h. 338.
[28] Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, Hukum Waris, terjemahan Abdul Hamid Zakhwan (solo: Pustaka Mantiq, 1994), hlm. 19.
[29]Ibid,hlm. 20.
[30]Yunahar llyas, feminisme dalam kajian Tafsir Al-Qur’an, Klasik dan Kontemporer (Yoqyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm.100.
[31]Dalam hadis dijelaskan bahwa jumlah wasiat tidak boleh melebihi sepertiga harta peninggalan dan tidak boleh wasiat untuk ahli waris.
[32] Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan…. IV:275.
[33] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 2, h. 368.
[34] M. Quraish Shihab, Perempuan, h. 259.
[35]Lihat QS. Âli ‘Imrân: 36. 
[36] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 2, h. 368-369.
[37]Argumen selengkapnya dari al-Sya’râwî tentang kesetaraan hak dalam ayat ini, sebagaimana dirujuk oleh Quraish Shihab, dapat dilihat dalam Tafsîr al-Sya’râwî, juz 4, h. 2025.
[38] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. II, h. 369.  
[39] Lihat Dindin Syafruddin, “Argumen Supremasi atas perempuan, Penafsiran Klasik Q.S al-Nisa’ : 34’ dalam Jurnal Ulumul Qur’an, edisi khusus nomor 576, Vol, V tahun 1994,hlm, 4-10.
[40] M. Quraish Shihab, Perempuan, h. 346.
[41] Justice Aftab Hussain, Status of Women in Islam, (Lahore: Law Publishing Company, 1987), h. 201.